Danau Ranu Kumbolo sedemikian menarik di kalangan para pendaki gunung di Indonesia bahkan di dunia bukan saja karena pesonanya yang menghipnosis namun juga danau ini memang memiliki jejak purbakala yang bernilai sejarah.
Menurut catatan sejarah, seorang raja bernama Kameswara dari Kediri pernah melakukan perjalanan mencari air suci atau istilah Sansekertanya Tirta Yathra dengan menyusuri lereng Semeru dan berakhir di Ranu Kumbolo.Â
Sang raja kemudian menggoreskan jejaknya pada bongkahan batu andesit berangka tahun 1182 masehi di pinggiran ranu (danau, red) yang kemudian dikenal dengan nama Prasasti Ranu Kumbolo.
Hingga sekarang batu prasasti itu tetap terpelihara dengan baik. Oleh pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dibuatkan pagar pelindung.Â
Sebagian umat Hindu terutama Hindu Tengger masih menganggap batu itu keramat. Itu terlihat dari banyaknya sesaji yang berserakan di dalam area batu prasasti Ranu Kumbolo.
Ranu Kumbolo berada pada ketinggian 2400 meter di atas permukaan laut (m dpl). Kondisi danau dan alam sekitarnya masih relatif terjaga kelestariannya bila dibandingkan dengan dua cerukan lainnya yakni Ranu Regulo dan  Ranu Pani(e).
Beberapa ratus meter meninggalkan danau yang luasnya kira-kira 14 hektar itu, menuju padang savana Oro-oro Ombo atau puncak Mahameru, para pendaki terlebih dulu melewati medan menanjak yang di kalangan pendaki dinamakan Tanjakan Cinta. (1)
Air Ranu Kumbolo masih jernih dan bersih serta terhindar dari polutan sehingga bisa langsung diminum meski tanpa direbus terlebih dulu.
Sejak di pos pendataan, petugas tak bosan-bosannya mengingatkan agar pendaki tidak menebang pohon secara serampangan. Akar pepohonan sekitar Ranu Kumbolo merupakan reservoir (tandon air, red) sekaligus berperan menjaga kelestarian Ranu Kumbolo itu sendiri.
Pembuatan api unggun dengan menebang kayu pohon hutan meski sekecil apapun harus seijin petugas, kecuali kondisi cuaca yang sangat ekstrim.
Setiap pendaki yang akan mengambil air harus terlebih dulu melepas alas kakinya dan tak boleh menginjakkan kaki ke dalam air danau.Â
Kemudian membuat kubangan atau lubang kecil dari pinggir danau kira-kira berjarak 1 sampai 2 meter. Air danau yang meresap masuk ke dalam lubang yang dibuat tadi itulah yang diambil untuk minum, masak dan keperluan lain.
Ketika mengambil air danau dengan menggunakan dry bag (tas kedap air) atau botol bekas air mineral seharusnya tidak meninggalkan sampah apakah itu berupa botol plastik tadi atau sampah lainnya di sekitar danau. Sampah harus di bawa kembali saat turun gunung. (2)
Belum mendaki Semeru katanya, jika tidak berfotoria dengan setangkai flora unik di kawasan savana Oro-oro Ombo.
Kawasan savana itu menjadi habitat Verbena brassiliensis yakni tanaman berwarna ungu nan cantik, sepintas menyerupai lavender namun sejatinya Verbena merupakan tanaman parasit yang mudah tumbuh dan berkembang melalui bijinya.
Sistem perakarannya sangat kuat, hal itu memungkinkan memenangkan kompetisi air dan unsur hara dengan tanaman lain yang tumbuh di dekatnya. Bagi para pendaki Semeru, Verbena merupakan flora unik sekaligus favorit. (3)
Gunung Semeru yang tingginya mencapai 3676 m dpl itu bukan sekedar ajang pelampiasan passion para pendaki melainkan juga menjadi sumber eksplorasi ilmu pengetahuan.
Jenis bebatuan, flora dan fauna yang ada di gunung akan menjadi objek penelitian yang sangat berharga bagi umat manusia. Apalagi seperti Gunung Semeru yang oleh sebagian orang khususnya masyarakat Suku Tengger masih dianggap keramat.
Wah.. kita nggak bisa serampangan kalau main-main ke sana. Saya pikir bukan untuk Gunung Semeru saja, kepada semua gunung kita juga harus "sayang" dan pastinya berlaku adil. (4)
Meski di atas gunung bukan berarti para pendaki Semeru bisa buang "hajat" dan pipis seenaknya. Buang hajat di sembarang tempat bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan menjadi "ranjau darat" bagi penjelajah Semeru lainnya.
Untuk menjaga lingkungan Gunung Semeru, khususnya Ranu Kumbolo dan beberapa titik penting lainnya agar tetap bersih dan terjaga kelestarian alamnya, maka pengelola TNBTS telah menyediakan beberapa toilet sederhana.
Toilet Semeru dirancang khusus, dindingnya terbuat dari plat seng gelombang dengan kerangka dalam dari pipa bundar. Plat seng dilapisi cat berwarna hijau tua. Bagian atasnya hanya dinaungi bahan semacam jaring paranet.
Toilet ala Semeru itu hanya berupa lubang berbentuk persegi, berukuran kira-kira 20 X 20 sentimeter persegi, tanpa air penyekat seperti disain toilet di rumah kita. Bisa dibayangkan, begitu pendaki ndodok karena saking kebeletnya langsung saja kotorannya bablas ke lubang penampungan yang ada di bawahnya.
Masyarakat Jawa menyebut toilet ala Semeru itu dengan istilah jumbleng. Kalau jumbleng di daerah pedesaan, lubang penampungan tinjanya kadang digunakan untuk memelihara ikan lele. Saya belum tahu apakah toilet ala Semeru itu juga dimanfaatkan untuk memelihara ikan lele.Â
Meski sangat sederhana dan mungkin dari sudut pandang kesehatan lingkungan kurang memenuhi syarat namun keberadaan toilet ala Semeru itu sudah cukup membantu para pendaki.
Saran saya, sebaiknya plat seng dan kerangka pipa besi menggunakan bahan-bahan yang anti karat agar tahan lama mengingat upaya perbaikan toilet itu tak mungkin dilakukan sesering mungkin karena letaknya yang jauh di lereng gunung.
Yang perlu diperhatikan oleh pengelola Semeru dan diwaspadai para pendaki ialah bahwa lubang penampungan tinja (semacam septic tank) harus didisain sedemikian rupa agar tidak merembes menuju Danau Ranu Kumbolo. (5)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H