Dunia surat-menyurat mungkin belakangan ini mulai menyurut. Masyarakat semakin jarang menggunakan sarana yang disediakan PT. Pos Indonesia khususnya dalam hal surat-menyurat itu. Kini orang enggan berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan surat karena terlalu ribet prosesnya.
Bertele-tele memang, seseorang harus menulis pesan atau ungkapan hati terlebih dulu ke dalam secarik kertas, lalu menempelkan prangko seharga yang ia inginkan di pojok kanan atas halaman depan sampul (amplop) surat. Kemudian harus bersusah-payah mendatangi kantor pos terdekat atau bus surat untuk memasukkan surat tadi dengan harapan agar suratnya bisa segera sampai dan dibaca oleh si penerima.
Teknologi berkomunikasi melalui handphone dan saluran  internet sudah semakin memasyarakat ditambah lagi hadirnya berbagai merk smartphone lengkap dengan aneka fitur dan aplikasi serta terjangkau harganya tentu akan lebih kekinian dan mudah diadaptasi oleh masyarakat modern. Kini orang bisa dengan mudah dan leluasa berbicara (berkomunikasi) langsung lewat handphone.Â
Dengan saluran internet memungkinkan seseorang bisa ber-chating ria melalui sosmed (facebook, twitter, instagram, whatsapp dan lainnya) satu dengan lainnya secara real time. Tak heran bila surat-menyurat kini sudah dianggap tidak efektif lagi. Lalu bagaimana nasib PT. Pos Indonesia yang selama ini menangani urusan surat-menyurat, apakah merugi atau (maaf) bahkan bangkrut? Â
Saya termasuk salah satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang sempat ngefans dengan dunia surat-menyurat itu terutama saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan ketika kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jember - Jawa Timur. Waktu di SMA, acara surat-menyuratnya masih belum seberapa. Saya masih bersekolah dan tinggal bersama orang tua di Surabaya. Namun semenjak saya aktif menulis di rubrik kronik pelajar harian sore (cetak) Surabaya Post, yang namanya surat dari sahabat pena itu saling berdatangan.Â
Bahkan pernah suatu ketika seorang guru SMA menegur saya gegara banyak surat dari sahabat pena berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan alamat sekolah saya. Padahal saya sebelumnya tidak mengenal mereka dan tidak pernah sekalipun memberitahukan alamat sekolah kepada mereka. Apakah hal itu karena mereka melihat profil saya di koran Surabaya Post hingga menjadikan saya ngetop he..he..
Lulus dari SMA, saya melanjutkan pendidikan ke Universitas Jember (Unej). Kali ini saya hidup merantau jauh dari orang tua. Saya harus ngekos dan makan dari warung ke warung sesuai selera dan pastinya uang yang tersedia. Orang tua terutama almarhumah ibu termasuk yang protektif. Ibu selalu menanyakan keadaan saya begitu pula sebaliknya. Saya kuliah di Unej mulai tahun 1989 dan lulus tahun 1994, kurang lebih 5 tahun saya kuliah di sana.
Kadang di dalam surat itu juga disisipkan uang tambahan selain uang bulanan yang dikirim lewat wesel pos. Kalau ingat hal ini saya suka sedih, merasa sangat berdosa karena tidak bisa membalas budi baik kedua orang tua. Saya amat sangat terharu dengan perjuangan mereka. Kuliah itu sulit tapi masih lebih sulit perjuangan kedua orang tua dalam menguliahkan (menyekolahkan) anaknya hingga lulus.
Saya simpan dengan rapi semua surat dari ibu juga saudara-saudara kandung saya yang lain. Sudah bisa dibayangkan berapa jumlah surat berprangko dalam setahun yang saya terima dari ibu. Semua surat tetap tersimpan dalam amplopnya, sementara prangko saya lepas satu persatu kemudian dikumpulkan dalam sebuah album sederhana yang hingga kini masih saya simpan. Semua prangko dari surat-surat sahabat pena waktu SMA juga masih tersimpan dengan rapi. Saya juga meminta kepada ibu atau anggota keluarga lainnya untuk menyimpan semua prangko yang menempel pada setiap amplop surat yang saya kirimkan.
Hasrat untuk mengumpulkan (mengoleksi) prangko ini sebenarnya sudah mulai muncul waktu saya aktif surat-menyurat dengan teman-teman (sahabat pena) SMA.
Kantor pengajaran fakultas yang selama ini menjadi jujugan datangnya surat para mahasiswa dari berbagai daerah juga menjadi ajang perburuan prangko, nah di situlah kadang saya mendapatkan prangko dari mahasiswa yang menerima surat kiriman orang tua atau bahkan teman-teman mereka yang kuliah dari daerah atau negara lain. Singkat kata, agar mendapatkan koleksi prangko yang lengkap saya harus proaktif, tidak sekedar menunggu surat dari orang tua saja.
Umumnya koleksi prangko saya merupakan prangko-prangko yang sudah terpakai (used), itu telihat dari stempel pos yang masih membekas. Kebanyakan berasal dari dalam negeri, sebagian lagi berasal dari luar negeri. Kadang kalau ada uang lebih saya juga membeli prangko baru tapi asli (mint) untuk melengkapi koleksi.
Prangko used yang sudah dibersihkan kemudian diletakkan di atas kertas isap agar sisa airnya mengering. Tidak perlu dijemur terkena sinar matahari langsung agar prangko tidak melengkung. Setelah kering, prangko bisa ditata rapi ke dalam album. Agar tidak rusak, sebaiknya saat menata atau menempatkan prangko ke dalam album menggunakan alat penjepit atau pinset.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H