Klithok…klithok…klithok… terdengar suara khas dari sesuatu yang diputar-putar, benda yang menghasilkan bunyi unik itu tentu saja mengundang perhatian siapa saja yang ada di sepanjang jalan itu tak terkecuali saya. Benda itu hanyalah sebuah mainan anak-anak dan semua dari kita rata-rata sudah pernah melihatnya.
Dari kejauhan tampak seorang pria dengan tangan kanan sedang memegang stir sebelah kanan sepeda ontel yang bagian belakangnya penuh dengan Ayam-ayaman sementara tangan kirinya terlihat aktif memutar-mutarkan mainan yang menghasilkan bunyi khas itu. Mainan berbunyi khas tadi hanyalah alat bantu agar orang tertarik membeli ayam-ayaman.
“Nek wis payu kabeh lagek muleh mas (kalau sudah habis terjual baru pulang mas, red)” ungkapnya kepada saya siang kemarin (06/03). Pria yang sudah bercucu itu terbilang tangguh dan ulet dalam berjualan. Gaya berjualannya tidak pasif di rumah atau lapak tertentu melainkan berkeliling dari desa ke desa, bahkan tak jarang ia harus keluar Kota Lamongan untuk menghabiskan ayam-ayaman dagangannya.
Asal tahu saja, ayam-ayaman yang dijajakan Pak Lampit itu merupakan mainan untuk anak-anak yang terbuat dari daun pohon siwalan atau ada yang menyebutnya pohon lontar. Pohon siwalan banyak kita temukan di daerah-daerah yang berada di piggir pantai utara Pulau Jawa, seperti Kota Gresik, Lamongan, Tuban dan Rembang di Jawa Tengah.
Untuk sebuah ayam-ayaman ia jual dengan harga 5 ribu rupiah. Kadang bila dagangannya belum habis terjual, ia obral ayam-ayaman itu dengan harga 3 sampai 4 ribu rupiah perbijinya. “Sakno, arek-arek TK sangune gak akeh (kasihan, anak-anak TK uang sakunya tidak banyak, red)” ujarnya sambil melayani siswa-siswa TK yang tertarik dengan ayam-ayaman kreasinya.
Bila berhari-hari meninggalkan rumah dan keluarganya, ia sampai harus mbambung (seperti gelandangan, red) tidur di sembarang tempat, sering tidur di emperan toko, di masjid atau di mana saja yang penting dagangannya habis terjual dan ia kembali ke rumah dengan membawa uang untuk menafkahi keluarga tercinta. “Aku turune sak paran-paran (saya tidurnya di sembarang tempat, red) sambungnya memelas.
Mainan ayam-ayaman kreasi Lampit itu terlihat sangat unik bahkan sebagian anak-anak jaman sekarang dimana gaya hidup dan keseharian mereka sudah diwarnai gadget dan smartphones namun masih tetap saja melirik ayam-ayaman yang bersahaja itu.
Menurut Lampit untuk memproduksi ayam-ayaman modalnya juga tidak banyak. “Bondo satus ewu iso dadi sewu ayam-ayaman (modal seratus ribu bisa menghasilkan seribu ayam-ayaman, red)” jelentrehnya.
Sekedar diketahui, bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat ayam-ayaman antara lain : daun lontar, bambu, tali rafia dan pewarna (cat). Sepintas terlihat sangat mudah cara membuatnya, namun untuk bagian roda diperlukan ketelatenan ekstra untuk menganyamnya sebab ayam-ayaman itu dilengkapi roda agar bisa ditarik dengan tali rafia, seperti halnya mainan mobil-mobilan saja.
Di sini peran orang tua, guru dan masyarakat luas untuk mengajak dan mengenalkan kembali mainan tradisional bagi anak-anak jelas sangat diperlukan. Perjuangan Lampit berkeliling dari daerah ke daerah tak sebatas hanya untuk menafkahi keluarganya, iapun secara tak langsung juga turut mempromosikan dan melestarikan mainan tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H