[caption caption="Tolong antar kami bang"] [/caption]Pukul delapan pagi waktu Jakarta Kereta Api ekspress malam Kertajaya he..he..he.. sampai juga di Stasiun Jatinegara. Meski semalam nyaris nggak bisa tidur karena posisi bangku kelas ekonomi yang tegak namun kami sangat bersyukur karena berada di gerbong 1 yang kondisinya lumayan bagus.
Gerbong masih dalam kondisi nyis (baru). Bangkunya baru, lantai gerbong berkarpet baru dan terlihat tanpa noda bekas makanan atau apapun. Begitu masuk gerbong, hawa dingin air condition menyapa sekaligus menyusup ke dalam sekujur tubuh kami, terasa nyaman. Suasana dalam kereta yang sejuk membuat kami sedikit terbantu meski nggak bisa bobo dengan normal seperti kalau sedang tidur di rumah sendiri.
Dengan sedikit sempoyongan saya menenteng barang bawaan untuk bergegas keluar stasiun. Di luar sudah menunggu para sopir taksi, tukang ojek dan pengemudi bajaj untuk menawarkan jasanya. Di luar pagar stasiun terlihat lima atau enam angkot bercat biru muda (mungkin M 02) lengkap dengan sopirnya sedang ngetem, menunggu kalau-kalau ada penumpang kereta yang berminat menggunakan angkotnya.
[caption caption="Selfi Sukesih dalam bajaj"]
“Wis numpak bajaj wae mas (sudah naik bajaj saja mas)” kata istriku memutuskan.
Naik taksi jelas mahal, begitu pikir kami. Pengalaman terdahulu membuat kami menimbang-nimbang. Pernah suatu ketika kami naik taksi dari Stasiun Jatinegara menuju rumah kakak di Rawamangun, sebenarnya jaraknya nggak terlalu jauh sih. Dasar akal-akalan sang sopir taksi, selama perjalanan taksi mutar-mutar nggak sampai-sampai.
Sang sopir berkilah dengan bermacam-macam alasan untuk memperlama perjalanan agar biaya argo membengkak, padahal kami itu tahu betul jalan menuju ke Rawamangun dari Stasiun Jatinegara. Sekarang jadi agak trauma naik taksi apalagi kalau uang lagi pas-pasan.
“Ke Rawamangun berapa bang” tanyaku kepada pengemudi bajaj.
Setelah tawar-menawar akhirnya sopir bajaj bersedia mengantar kami dengan tarif relatih murah yakni 20 ribu rupiah. Coba saja kalau naik taksi minimal tarifnya 50 ribu.
Kami belum tertarik naik ojek online karena kami bertiga dan barang yang kami bawa cukup banyak. Naik angkot mungkin lebih murah tapi nggak bisa mengantar kami sampai di depan rumah. Akhirnya alat transportasi berupa bajaj itulah yang kami pilih.
[caption caption="Sopir bajaj"]
Bajaj sepintas terlihat sebagai sebuah alat transportasi kampungan. Modelnya unik, suaranya berisik dan kapasitas angkutnya hanya cukup untuk 2 atau 3 orang yang notabene berbadan ramping.
Naik bajaj mengingatkan saya akan alat transportasi bernama bemo roda tiga yang kala itu populer dan biasa mangkal di Stasiun Joyoboyo Surabaya. Kabarnya di pinggiran Jakarta, bemo roda tiga juga masih diperbolehkan beroperasi.
Kendaraan bajaj juga mengingatkan saya pada tayangan sinetron fenomenal berjudul Bajaj Bajuri yang dibintangi almarhum Mat Solar. Sinetron komedi itu bercerita tentang keseharian penarik bajaj yang hidupnya sederhana karena penghasilannya kurang memadai. Halangan dan tantangan hidup ia hadapi, meski hanya berprofesi sebagai sopir bajaj tapi hidupnya tentram.
Sebagai alat transportasi umum bajaj mungkin tidak secekatan taksi, angkot atau ojek motor online. Apalagi belakangan ini mendapatkan saingan baru berupa membanjirnya ojek online tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para penarik bajaj itu.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, nyatanya bajaj masih tetap eksis. Bajaj bukan sekedar alat transportasi yang unik dari segi penampilan, lebih dari itu ia telah memiliki segmen pengguna tersendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H