[caption caption="Dari depo sampah siap diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)"][/caption]
Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang paling padat penduduknya. Urutan pertama diduduki oleh China (Tiongkok) dengan jumlah penduduk hampir mencapai 1,5 miliar jiwa. Peringkat kedua dan ketiga dipegang India dengan jumlah penduduk 1,21 miliar jiwa, kemudian Amerika Serikat berpenduduk sebanyak 421 juta jiwa.
Indonesia berada di nomer empat dengan penduduk berjumlah 270 juta jiwa. Jumlah penduduk yang sangat besar itu tentu merupakan modal yang tak terkira bagi suatu negara tak terkecuali Indonesia yang kita cintai ini. Penduduk yang jumlahnya banyak menjadi sumber tenaga kerja potensial sekaligus ancaman bagi negara itu bila tidak cukup tersedia lapangan pekerjaan di sana.
Dengan lain perkataan, Indonesia tidak cuma kaya akan sumber daya alam tapi juga kaya akan penduduk. Selain sebagai tenaga kerja potensial, jumlah penduduk yang berlimpah juga menimbulkan masalah tersendiri salah satunya berupa bertumpuknya jumlah sampah yang ada.
Menurut informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dalam sehari saja jumlah sampah yang menumpuk di seluruh Indonesia sebanyak 175.000 ton, dalam setahun mencapai 64 juta ton dengan asumsi perorangnya menghasilkan sampah sebanyak 0,7 kilogram.
Dalam soal sampah Indonesia memang menjadi salah satu negara penyumbang sampah terbesar di muka bumi ini. Jakarta saja sebagai ibu kota menyumbang sampah sebanyak 6000 ton dalam sehari belum lagi kota-kota besar lainnya. Bali cukup fantastis yakni 10.725 ton sampah setiap harinya sementara Palembang menghasilkan sampah 1200 ton per hari. Diperkirakan pada tahun 2019 mendatang jumlah sampah di Indonesia mencapai 67,1 juta ton.
Selama ini banyak daerah di Indonesia (hampir 90%) menerapkan cara konvesional dalam pengelolaan sampah di daerahnya. Pengelolaan dengan cara mengangkut dan menimbunnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak 69%. Mengubur sampah sebanyak 10%. Dengan cara pengomposan dan daur ulang sebanyak 7%. Sistem pengelolaan dengan cara membakar hanya 5% dan sisanya yang tidak dikelola sebanyak 7%. Dengan cara seperti ini menimbulkan masalah tersendiri untuk penyediaan lahan TPA. Pada tahun 2020 kebutuhan akan lahan TPA diperkirakan akan meningkat menjadi 1610 hektar.
[caption caption="Lahan untuk TPA dan depo sampah semakin meningkat setiap tahun jika tidak dikelola di pabrik"]
Puluhan juta ton sampah yang menumpuk setiap tahunnya itu ternyata persentase terbesar, sekitar 48% berasal dari sampah rumah tangga. Selanjutnya 24% berasal dari pasar tradisional, 9% dari kawasan komersial dan sisanya dari tempat lain seperti fasilitas umum, perkantoran dan sekolahan.
Sampah yang menggunung apalagi jika jumlahnya mencapai jutaan ton pasti menimbulkan masalah yang serius. Gundukan sampah secara estetis menjadi kurang sedap dipandang mereka yang melihatnya. Belum lagi masalah bau dan berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya. Musim hujan seperti sekarang ini memungkinkan cairan sampah meresap (infiltrasi) masuk ke dalam pori tanah, hal itu bisa merusak tanah atau meresap masuk ke dalam sumur-sumur warga yang bermukim tidak jauh dari TPA.
Cara pengelolaan sampah dengan konsep “kumpul—angkut—buang” yang selama ini diterapkan oleh berbagai kota dan kabupaten di seluruh Indonesia mestinya dirubah menjadi pengelolaan di tingkat rumah tangga (sumber sampah). Prinsip reduce, reuse dan recycle (3R) mulai diterapkan dan dikampanyekan. Tak hanya prinsip 3R, tanggung jawab produsen, daur ulang material, daur ulang energi, pemrosesan akhir sampah di TPA yang berwawasan lingkungan juga mulai digalakkan.
Sampah di Indonesia yang melimpah bahkan sampai puluhan juta ton pertahunnya sebenarnya merupakan sumber energi yang tak pernah habis alias terbarukan. Jumlahnya semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk yang diikuti dengan meningkatnya aktivitas perekonomian. Beberapa kota di Indonesia seperti Bali, Palembang, Gresik, Bantar Gebang Bekasi sudah menerapkan teknologi pengolahan sampah menjadi energi alternatif berupa energi listrik.
Di Palembang misalnya, pemerintah setempat telah membangun pembangkit listrik berkapasitas 500 mega watt yang menggunakan bahan bakar dari sampah. Demikian pula dengan di Bali, untuk 1000 ton sampah yang diproses di pabrik pengolahan sampah pulau itu mampu menghasilkan energi sebesar 35 mega watt. Pabrik pengolahan sampah di Pulau Dewata itu seharinya mampu menghasilkan listrik sebesar 850 mega watt.
Penggunaan teknologi pembakaran sampah untuk menghasilkan energi listrik juga sudah dikembangkan oleh PT. Semen Indonesia (dulu PT. Semen Gresik) dengan kapasitas pembakaran 240 ton perharinya. Energi listrik yang dihasilkan disalurkan untuk kebutuhan operasional PT. Semen Indonesia.
Teknologi pengolahan (pembakaran) sampah untuk menghasilkan energi alternatif berupa listrik sebenarnya sudah sejak lama diterapkan di negara-negara barat yang notabene sudah maju teknologinya. Di Indonesia penerapannya belum merata di seluruh wilayah, itupun masih terjadi pro dan kontra seputar pembangunan pabrik yang mengolah sampah rakyat itu.
Pemanfaatan energi apakah itu listrik juga panas dengan membakar sampah kadang menimbulkan polusi udara yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia di sekitarnya. Gas dioksin SO2 yang ditimbulkan dalam jumlah sekecil apapun tetap bersifat toksik (beracun) bagi orang yang menghirupnya. Dioksin selama ini diketahui sebagai penyebab penyakit kanker pada manusia.
Pembangunan pabrik pengolah sampah tak jarang mendapatkan amukan warga yang tinggal di dekatnya karena abu pembakaran, bau tak sedap yang ditimbulkan juga suara gaduh dari mesin saat proses pengolahan sampah sedang berlangsung. Mengantisipasi hal itu sebagian pabrik pengolahan sampah melengkapi sistem prosesnya dengan cerobong asap berfilter. Cerobong asap dibuat lebih tinggi agar partikel (abu dan lainnya) yang dihasilkan tidak menerpa warga dan lingkungan di sekitarnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai amanah UU No. 18 tahun 2008 menegaskan agar setiap pabrik pengolah sampah yang selama ini biasa memakai cara zero waste yakni gabungan teknologi insinerasi (pembakaran) dan gasifikasi (pemanasan) hendaknya menerapkan teknik yang lebih ramah lingkungan atau sanitary landfill dimana pabrik pengolahan sampah ditempatkan di lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk agar aman bagi orang dan lingkungan di sekitarnya.
Setiap pabrik pengolahan sampah memiliki sistem proses yang bervariasi, tetapi umumnya dari setiap 500 – 700 ton sampah yang dibakar akan menghasilkan tenaga listrik sebesar 7 mega watt. Meski tidak sama persis sistem proses antara satu pabrik dengan pabrik pengolah sampah lainnya namun urutan kerjanya bisa dijelaskan secara sederhana berikut ini.
Sampah yang jumlahnya ratusan ton itu diturunkan dulu kadar airnya hingga menjadi separuhnya (45%). Pabrik-pabrik tertentu yang berteknologi canggih biasanya sudah dilengkapi sistem pemilahan sampah. Tapi ada juga yang tanpa dipilah-pilah, semua jenis sampah langsung dibakar. Proses penurunan kadar air sampah dilakukan dalam ruang khusus hampa udara, semacam bunker bawah tanah. Selanjutnya sampah dibakar dalam tungku pembakaran dengan kisaran suhu mulai ratusan derajad celsius (850 – 900 derajad celsius) hingga ribuan derajad celsius (6000 derajad celsius).
Sampah yang terbakar berfungsi untuk memanaskan air dalam boiler, berikutnya akan dihasilkan uap super panas. Uap super panas disalurkan dengan pipa khusus hingga mampu menggerakkan turbin yang telah dihubungkan dengan generator pembangkit. Generator yang berputar itu akan menghasilkan tenaga listrik. Uap super panas yang melewati turbin akan kehilangan panasnya dan selanjutnya di salurkan kembali ke boiler untuk dipanaskan, demikian seterusnya proses itu berjalan.
Di banyak negara maju, gas berbahaya hasil pembakaran sampah sebelum keluar dari cerobong asap diproses kembali untuk membersihkan dioksinnya agar tidak berbahaya lagi bagi manusia yang menghirupnya.
Sampah menggunung yang jumlahnya puluhan juta ton bahkan semakin meningkat setiap tahunnya itu pasti menjadi masalah serius bagi negara kita. Salah satu solusi inovatifnya ialah mengolah sampah dalam pabrik berteknologi ramah lingkungan (eco green) menjadi energi alternatif pengganti minyak bumi yang jumlahnya semakin menipis. Meningkatkan jumlah pabrik pengolahan sampah untuk mendapatkan energi listrik atau energi lainnya tidak menjadi masalah selama pendirian pabrik itu aman bagi manusia dan lingkungan di sekitarnya.
Bahan Bacaan :
01. http://www.kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/diktatsampah-2010-bag-1-3.pdf
02. http://www.menlh.go.id/rangkaian-hlh-2015-dialog-penanganan-sampah-plastik/
03. http://geotimes.co.id/2019-produksi-sampah-di-indonesia-671-juta-ton-sampah-per-tahun/
04. http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/02/sampah-di-jakarta-diperkirakan-capai-6-000-ton-per-hari
05. http://health.liputan6.com/read/831503/sampah-di-indonesia-paling-banyak-berasal-dari-rumah-tangga
06. http://nuralamsyah5.blogspot.co.id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H