Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tragedi Pulomas dan Orang Batak

2 Januari 2017   15:39 Diperbarui: 2 Januari 2017   21:53 10571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megapolitan - Kompas.com

Akibat dari prilaku kelompok Medan yang menyekap seisi rumah di dalam kamar mandi sehingga  menewaskan 6 orang dalam tragedi berdarah di Pulomas, Jakarta Timur, maka orang Batak pada umumnya, khususnya penyandang marga Butarbutar, Sinaga, Sitorus dan Situmorang pun kena getahnya dihujat.

Generalisasi ini memang memprihatinkan tapi mau bilang apa lagi, ada api tentunya karena adanya asap. Padahal tidak semua orang Batak adalah penjahat keji. Namanya juga manusia, tentu saja ada yang baik, banyak pula yang jahat. Kebaikan dan kejahatan adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya di dunia yang fana ini.

Pelaku perampokan dengan kekerasan di Pulomas memang patut dikutuk karena kekejian mereka. Namun marilah kita semua berpikir yang rasional, di bumi pertiwi ini kejahatan dilakukan tanpa memandang suku dan agama. Namanya juga manusia. Sudahlah berhenti menggeneralisasikan suku tertentu identik dengan kejahatan.

Masyarakat kita memang sudah terbiasa hidup dengan menggeneralisasikan suku tertentu. Anda tentunya masih ingat kerusuhan Ketapang? Penyebabnya hanya satu, yaitu isu SARA. Kerusuhan itu terjadi di Ketapang, Jakarta Pusat, yang dikenal sebagai Tragedi Ketapang. Kerusuhan itu timbul secara sporadis di seantero Jakarta akibat dipicu oleh selentingan isu bahwa ada Masjid yang diserang dan dirusak oleh orang Ambon.

Kenapa para provokator itu menghembuskan isu orang Ambon? Itu karena akibat dari generalisasi dalam masyarakat kita yang sudah melekat dalam alam bawah sadar bahwa orang Ambon identik dengan kekerasan, premanisme, Debt Collector, tukang pukul, centeng lahan sengketa dan lain sebagainya. Akibatnya fatal, kerusuhan itu merebak dengan cepat di seantero Jakarta bagaikan ranting kering yang terbakar.

Kerusuhan itu berlangsung secara sporadis dalam kurun waktu dua hari berturut-turut. Puluhan Gereja, sekolah-sekolah Katolik, termasuk fasos maupun fasum di ibukota luluh lantak dihancurkan massa yang murka hanya lantaran selentingan isu bernuansa SARA yang menggeneralisasikan suku tertentu.

Oleh sebab itu, melalui tulisan ini aku mengajak kita semua untuk berpikir yang rasional dan dewasa dengan melepaskan paradigma menyesatkan bahwa suku tertentu identik dengan kejahatan. Kejahatan timbul karena ada penyebabnya, salah satunya yaitu kesenjangan perekonomian di negeri ini yang pincang, Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin melarat. Ini realita.

Kondisi yang macam begini ini adalah PR bagi pemerintah untuk menerapkan keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan data Apindo, tiap tahun 2,5 juta orang Indonesia butuh pekerjaan. Jika pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam kisaran 6%, maka pemerintah hanya mampu menyerap sekitar 1,5 juta tenaga kerja.

Sisanya yang satu juta orang itu tentu saja tidak kebagian, sehingga akhirnya jadi pelaku kejahatan untuk memenuhi tuntutan hidup mereka dan anak istri hari lepas hari, mulai dari bayar kontrakan, makan minum sehari-hari, biaya sekolah anak, semuanya butuh uang.

Faktor lainnya yaitu kesempatan bagi para anak negeri untuk mengenyam pendidikan tinggi pun sangat sulit diraih karena biaya sekolah dan Universitas yang, mungkin saja, sengaja dibuat mahal. Negeri yang beradab yaitu negeri yang menerapkan biaya pendidikan dan biaya kesehatan yang murah. Bilamana perlu biaya pendidikan dibuat gratis jika pemerintah berkomitmen ingin mencerdaskan bangsa.

Realitanya, hanya golongan menengah keatas yang mampu mengenyam pendidikan tinggi di negeri ini, sisanya kaum miskin dan kaum pinggiran paling mampu hanya mengenyam pendidikan sampai SMA saja. Padahal negara kita bukan negara yang miskin-miskin amat. SDM bangsa kita adalah yang terbaik di Asia Tenggara.

Itulah sebabnya jangan heran kalau pelaku kejahatan di negeri ini mayoritas dilakukan oleh kaum pinggiran yang tak punya kemampuan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan menikmati kesetaraan level perekonomian di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini.

Tusan ini juga bukan menyalahkan pemerintah seolah-olah pemerintah punya andil sehingga terjadinya kejahatan di negeri ini. Bukan itu pointnya. Pemerataan pembangunan dan kesejahtetaan rakyat tak semudah membalik telapak tangan. Butuh peran semua pihak dan elemen bangsa demi terciptanya cita-cita bangsa sesuai yang termaktub dalam UUD 1945.

Kejahatan mengakibatkan intelektualitas dan moral manusia mati suri dan membusuk di alam kubur. Darah kematian yang mengalir akibat tajamnya tusukan pisau ketidakadilan di negeri ini dimana sekelompok orang dengan perut yang kenyang hidup bergelimang harta berdampingan dengan kaum yang terpinggirkan yang dilanda kemelaratan.

Akhir kata, turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas tragedi yang menimpa keluarga korban. Tuhan yang memberi nafas kehidupan, Tuhan pula yang mengambilnya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan, dan amal bakti mereka semasa hidup didunia yang renta ini diperhitungkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun