Membaca tulisannya mbak Ilyani yang kurang nyaman dengan opininya mbak Ifani di tulisannya tentang Kenapa Menganggap Bule Superior?, membuat tangan ku juga ikut-ikutan gatal ngompor dot com hehe. Mumpung aku juga pernah menulis hal yang macam begini ini disini, maka perkenankanlah aku urun rembug juga ya..
Mbak Ilyani mengecam opininya mbak Ifani yang menulis bahwa ia melihat seseorang yang berwajah mbak-mbak yang jalannya miring-miring karena memakai sepatu tinggi, karena biasanya memakai sandal di sawah. Menurut mbak Ilyani, itu adalah bentuk pernyataan yang melecehkan harkat dan martabat seseorang, bentuk rasis yang merendahkan orang lain, tanpa bukti yang sahih dan akurat.Ada betulnya juga pendapatnya mbak Ilyani. Namun jujur saja sebenarnya selama ini aku gerah juga sih lihat wanita-wanita Indonesia yang sebegitu jumawanya kalau lagi jalan sama bule. Apalagi di Jakarta ini, mereka pikir mereka sudah paling hebat, paling superior, dan diatas orang lain.
Aku pernah menegur seorang wanita Indonesia, pakai celana jeans yang super pendek dan super ketat, tattoo di punggung, rambut ikal dicat pirang kecoklatan, kukunya dicat warna-warni motif bunga, kulit legam kecoklatan mungkin saja karena sering berjemur di pantai kali ya. Ketika itu ia lagi sama pacarnya orang bule yang sudah bangkotan. Si bule bangkotan itu lagi tawar menawar mau beli korek gas Zippo di lantai dasar stand aksesoris di Plaza Semanggi.
Karena bahasa Inggrisnya si penjaga stand ini belepotan dan keukeuh dengan harganya, akhirnya membuat si bule mulai gerah. Sang wanita yang melihat doskinya mulai gerah, lantas membentak si penjaga stand aksesoris itu, heh! you kalau goblok ngomong sama gue, biar gue yang jelasin!
Setelah ia membentak wanita lugu penjaga stand yang sampai terkaget-kaget dan pucat pasi, lalu sok gaya ngedumel dalam bahasa Inggris, dan bilang what a stupid moron.
Dipikirnya orang-orang disekitarnya pada enggak ngerti itu bahasa Inggris kali ya. Cuma dia saja yang tahu, orang lain pada bego semua, orang lain pada kampungan semua. Saking emosinya, langsung saja ku tegur itu orang, ku bilang saja cangkem mu mbak, mbak. Lu bertingkah macam baru jadi orang kaya saja. Jadi orang, jangan songong. Dasar kampungan lu.
Setelah ku tegur wanita sombong itu, Lalu ku tegur pula si bule tua bangkotan yang sudah peot itu, dan bilang dengan agak keras where do you pick up this stupid yokel? Mereka berdua pun lantas cepat-cepat berlalu dari tempat itu.
Ya jadi memang begitulah realitanya kondisi wanita-wanita Indonesia saat ini yang sok keren karena merasa punya pacar bule, walaupun enggak semuanya demikian. Ada juga yang tulus hatinya dan lugu, namun karena memang sudah jodoh, mereka akhirnya di pertemukan juga oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Seperti kesaksiannya mbak Ilyani di tulisannya itu bahwa ia pernah membantu seorang wanita yang kurang bisa menulis untuk mengisi lembar Imigrasi ketika hendak ke London menemui suaminya. Menurut mbak Ilyani, ada juga yang saking lugunya sampai-sampai melepas sepatunya ketika hendak naik ke pesawat.
Disatu sisi aku sependapat dengan mbak Ilyani, namun disisi lainnya aku juga setuju dengan pernyataan mbak Ifani yang mungkin saja kesal dengan tingkah pola jumawanya wanita-wanita pemburu bule di jaman yang serba touch screen sekarang ini.
Fenomena konyol macam begini ini bukan hanya terjadi pada kaum wanita saja, kaum pria pun demikian. Kalau jalan sama wanita bule, dikira pria nakal. Padahal belum tentu semuanya begitu. Aku bahkan pernah disangka Gigolo hanya lantaran aku bertattoo, pakai kacamata hitam, bertelanjang dada, dan pakai celana Surfing Billabong ketika menemani wanita asal Kanada minum Bir di Pantai Kuta, Bali.
Padahal dibayar saja enggak, Bir yang ku minum pun aku beli pakai uangku sendiri. Dan pula yang ngajak ngobrol duluan si bule itu, bukan aku. Namun cibiran dan sindiran orang-orang yang lalu lalang didepan kami, bikin hati ini jadi miris. Sebegitu murah kah Mawalu ini?
Kembali ke perikop pembahasan, kedua Kompasianer ini melihat dari sisi kebenaran yang berbeda. Ibaratnya dua sisi mata uang yang sama-sama bernilai dan berharga. Ada baiknya akur saja-lah, karena berdebat sampai jari keriting dan mulut berbusa pun, tetap saja kebenaran yang diyakini tak akan mampu mematahkan argumen masing-masing pihak.
Inilah indahnya berinteraksi di komunitas ini. Inilah pernak-pernik di Kompasiana ini. Ibaratnya permen Nano Nano, manis asam asin ramai rasanya. Jujur saja aku sudah kenyang dengan fenomena macam begini ini sejak pertama kali kenal komunitas ini. Bahkan menjadi korban pun sudah sangat sering ku alami.
Perbedaan pendapat dan perdebatan akan tulisan maupun komentar seseorang di Kompasiana ini akan selalu ada, tak ada matinya. Mati satu tumbuh seribu.
Namun yang terpenting adalah kritik yang dilontarkan karena atas dasar ketulusan untuk saling mengkoreksi, bukan karena berniat untuk mencari-cari kesalahan dengan motivasi untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap seseorang yang tak disukai.
Jadilah kuat seperti batu karang yang teguh, kalau dipuji enggak terbang ke awan-awan nun tinggi diatas sana, kalau dicaci enggak tumbang rata dengan tanah.
Damai itu indah. Ayo salaman, rangkulan, dan cipika cipiki ya. Kalau enggak mau, cipika cipiki sama Mawalu saja hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H