Padahal dibayar saja enggak, Bir yang ku minum pun aku beli pakai uangku sendiri. Dan pula yang ngajak ngobrol duluan si bule itu, bukan aku. Namun cibiran dan sindiran orang-orang yang lalu lalang didepan kami, bikin hati ini jadi miris. Sebegitu murah kah Mawalu ini?
Kembali ke perikop pembahasan, kedua Kompasianer ini melihat dari sisi kebenaran yang berbeda. Ibaratnya dua sisi mata uang yang sama-sama bernilai dan berharga. Ada baiknya akur saja-lah, karena berdebat sampai jari keriting dan mulut berbusa pun, tetap saja kebenaran yang diyakini tak akan mampu mematahkan argumen masing-masing pihak.
Inilah indahnya berinteraksi di komunitas ini. Inilah pernak-pernik di Kompasiana ini. Ibaratnya permen Nano Nano, manis asam asin ramai rasanya. Jujur saja aku sudah kenyang dengan fenomena macam begini ini sejak pertama kali kenal komunitas ini. Bahkan menjadi korban pun sudah sangat sering ku alami.
Perbedaan pendapat dan perdebatan akan tulisan maupun komentar seseorang di Kompasiana ini akan selalu ada, tak ada matinya. Mati satu tumbuh seribu.
Namun yang terpenting adalah kritik yang dilontarkan karena atas dasar ketulusan untuk saling mengkoreksi, bukan karena berniat untuk mencari-cari kesalahan dengan motivasi untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap seseorang yang tak disukai.
Jadilah kuat seperti batu karang yang teguh, kalau dipuji enggak terbang ke awan-awan nun tinggi diatas sana, kalau dicaci enggak tumbang rata dengan tanah.
Damai itu indah. Ayo salaman, rangkulan, dan cipika cipiki ya. Kalau enggak mau, cipika cipiki sama Mawalu saja hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H