Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi, Dari Solo Menuju Istana Negara. Mumpung Masih Bisa Loncat, Loncat Saja Terus. Besok-besok Loncat Kemana Lagi?

15 Maret 2014   22:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu kawanku mencak-mencak enggak karuan. Ia marah dan kecewa lantaran Jokowi nyapres. Dari dulu sebelum Jokowi jadi orang nomor satu di DKI Jakarta, kawanku ini adalah fans fanatiknya Jokowi.

Ia bahkan menjadi salah satu team suksesnya Jokowi, sekalipun tak dibayar, karena ia mempercayakan impiannya menuju Jakarta baru melalui pundaknya Jokowi.

Di media sosial, setiap hari ia bercerita tentang Jokowi. Bilamana ada yang mendriskreditkan Jokowi, tanpa basa-basi akan digempurnya dengan komentar yang bisa mencapai sepuluh paragraph lebih. Ia pengguna dunia maya yang aktif. Ia menggunakan wadah media sosial untuk mengekspresikan kecintaannya kepada Jokowi.

Emosinya sering meledak-ledak. Ia marah kalau ada yang menghina Jokowi, apalagi kalau ada yang bilang kalau enggak ada Ahok yang karakternya setangguh batu karang itu, Jokowi pasti tumbang rata dengan tanah.

Menurutnya Jakarta ini dihuni oleh setan-setan. Sekalipun Gubernurnya Malaikat, akan bakalan susah memberangusnya. Ia sering berkata silahkan mengejek Jokowi, jika itu membuat anda bahagia.

Tiba-tiba kemarin statusnya berubah drastis. Ia mencak-mencak enggak karuan. Ia kecewa, marah, dan kesal menjadi satu. Kawanku ini mengekspresikan kekecewaannya lantaran pencalonan Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia.

Jakarta ini belum beres, kok sudah loncat mau jadi Presiden. Menurut kawanku ini, prilaku Jokowi sudah mulai menunjukkan cara-cara otoriter yang terselubung yang dibungkus secara halus dan kasat mata.

Ia merasa kecele karena pada masa kampanye dulu, Jokowi berjanji untuk menyelesaikan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai 2019 nanti. Ia kecewa karena menurutnya pemimpin yang baik harus menepati janjinya, bukan mengingkarinya.

Ia marah besar dan merasa dikelabui. Sesuatu yang dimulai harus diselesaikan terlebih dahulu. Tak baik melepas tanggungjawab begitu saja. Ia menyesal dulu coblos Jokowi. Harapannya Jokowi memimpin Jakarta ini minimal sampai 2019. Ini belum apa-apa sudah mau jadi Presiden.

Menurutnya Jokowi sekarang sudah berubah. Ia khawatir kalau sudah jadi Presiden, Jokowi akan dengan mudahnya disetir oleh Megawati dan si Puan Maharani itu seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Karena Jokowi tipe pimpinan yang lugu, takut, dan setia kepada Partai.

Kawanku ini kecewa berat karena sudah terlalu banyak berharap kepada Jokowi yang terpaku pada satu patron politik. Ia marah pula kepada PDIP. Menurutnya Jokowi hanya diperalat dan jadi bonekanya PDIP untuk untuk meraup perolehan suara dalam menghadapi Pemilu Legislatif nanti.

Ia bilang Jokowi hanya dijadikan pendongkrak elaktabilitas partai, karena saat ini PDIP itu tak punya figur yang mumpuni. Memang tak ada aturan untuk menghukum ketidaksetiaan seseorang pada jabatan, selain sumpah atas nama UU dan atas nama Tuhan.

Apa artinya kesetiaan pada sumpah jabatan atas nama UU dan atas nama Tuhan, ketika kuantitas tak selesai di tunaikan meskpun kualitas telah mewarnai awal rajutnya kinerja Jokowi yang menjadi magnet di mata warga Jakarta.

Ia benar-benar kecewa. Ia kecewa karena dulu Jokowi telah komitmen dan berjanji akan membereskan masalah-masalah Jakarta. Ternyata Menuju Jakarta Baru hanya slogan belaka. Mumpung masih bisa loncat, loncat saja terus. Besok-besok loncat kemana lagi? Begitu kawanku ini bilang.

Ini Tanggapan Aku



Keberadaan Jokowi menjadi orang nomor satu di NKRI ini adalah keinginan seluruh masyarakat Indonesia. Jokowi milik semua orang, bukan hanya warga Jakarta saja. Justru jika Jokowi jadi Capres, maka persoalan Jakarta bisa cepat diselesaikan.

Kawanku ini lupa, atau mungkin ia tak tahu, atau jangan-jangan ia tak paham, bahwa persoalan Jakarta sejatinya adalah tanggungjawab Pemerintah Pusat. Selama ini fakta menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat tak begitu peduli atau bukan skala prioritas untuk mengurus ibu kota negara ini.

Yang pasti Jokowi tetap masih memikirkan permasalahan Jakarta kok. Kenapa sih harus pesimis? Masalah Jakarta adalah masalah bersama di negeri zamrud khatulistiwa ini.

Kita ambil contoh nyatanya saja deh, salah satu batu sandungan terlambatnya realisasi program-program Jokowi yaitu akibat APBD yang sulit sekali cair lantaran adanya unsur politis disitu. Dikala Jokowi sudah jadi Presiden, campur tangan Jokowi akan mencairkan gunung es yang membeku itu. Itu sudah pasti, dan itu fakta.

Bahaya Laten Opini Sesat



Anda jangan terbawa dengan opini yang sesat yang berseliweran bagaikan kutu yang beranak pinak. Bukankah kinerja dan ketulusan Jokowi sudah terbukti dengan menempatkan kepentingan umum diatas segalanya. Yang begitu itu yang harus kita dukung, bukan malah pesimis.

Pertanyaan aku, apakah waktu yang hanya sebentar itu mampu mengukur Integritas seseorang sebagai pemimpin? Apakah kuantitas bisa menghakimi seseorang apakah ia berkualitas apa tidak?

Lantas apakah lamanya orang bekerja pada suatu perusahaan bisa disebut sebagai loyalitas atau dedikasi? Sebaliknya pula, apakah singkatnya masa kerja seseorang bisa anda samakan dengan enggak berdedikasi jika hasil pekerjaannya itu berkualitas?

Silahkan anda jawab sendiri. Namun tentu saja persoalan antara kuantitas dan kualitas memang selalu menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung lerai terkait pencalonan Jokowi menjadi orang nomor satu di NKRI ini. Sosok Jokowi memang pantas dan layak memimpin bangsa ini sepuluh tahun kedepan.

Mungkin saja iya didalam lubuk hatinya yang paling dalam, Jokowi berat hati dan tak mampu menolak penunjukan Ketua Umum Partai tempatnya bernaung, namun kembali lagi kepada substansinya, bahwa ini semua demi kepentingan bangsa dan negara.

Bila Gunungnya Tinggi, Maka jurangnya Pasti Dalam



Pepatah Zen pernah mengatakan bila gunungnya sangat tinggi, maka jurangnya pun pasti dalam. Ini adalah hukum alam yang tak terbantahkan. Tak ada satupun gunung tinggi yang tak disertai dengan jurang yang dalam.

Begitu pula Jokowi. Anda harus legowo menerima hukum alam ini secara ikhlas, bukan justru pesimis terhadap kredibilitas gaya kepemimpinan seorang Jokowi yang sederhana, bersahaja, dan murah senyum. Ini sudah takdirnya menjadi pemimpin bangsa ini. Tak perlu anda sesali.

Sudahlah kawan, belajar menerima dan mengucap syukur atas segala perkara dalam hidup ini, tanpa perlu bersungut-sungut.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun