Apa yang diungkapkan Florence melalui Path adalah hal yang kita lihat saban hari di status-status FB. Ribut sama suami/istri, posting di FB. Ribut sama kakak/adik, teman, pacar, orang tua, teman kerja maupun atasan, posting status di FB secara cetar membahana dan mengharu biru perasaan bagi yang membacanya.
Sementara kalau dihitung-hitung, berapa biaya bayar Internet, setrum listrik yang terbuang percuma, belum lagi rugi waktu, capek hati, capek pikiran. Kalau cuma begini ini, posting status setiap menit jelas tak ada guna gananya. Heran saja aku dengan mereka-mereka itu. Entah kepuasan apa yang diperoleh dengan prilaku macam begitu itu di media-media sosial.
Apa yang dialami oleh Florence adalah pelajaran yang sangat berharga bagi para pengguna dunia maya supaya otak kanan mereka terbuka sedikit bahwa apa yang kita tulis dan apa yang kita komeni harus dipertanggungjawabkan. Mungkin saja Florence terlalu blak-blakan, terlalu jujur, polos nian apa adanya, namun siapa sangka kepolosannya itu justru berakibat fatal bagi hidupnya dan memporak-porandakan masa depannya.
Kalau di agama Kristen ada istilah hukum tabur tuai. Siapa menabur angin, ia menuai badai. Mungkin tanpa sengaja Florence telah menabur angin, sehingga ia menuai badai yang memporak-porandakkan hidupnya. Ternyata hukum tabur tuai itu ada benarnya juga, ku kira hanya untuk menakut-nakuti saja.
Mungkin pula Florence ini sudah terbiasa memposting status-status akar kepahitan macam begitu itu di media-media sosial, sehingga tanpa ia sadari luapan emosinya melalui postingannya di Path tentang Jogja itu adalah puncak dari apa yang selama ini sering ia lakukan di media-media sosial sehingga menjadi malapetaka dan nightmare yang menggerogoti hidupnya hari lepas hari.
Mengacu dari kasus yang menimpa Florence, aku justru bertanya-tanya dalam hati, kalau saja seandainya kondisinya terbalik, apakah warga Jogja juga akan mengalami hal yang sama seperti seperti yang dialami Florence?
Kultur tiap daerah di negeri zamrud khatulistiwa ini memang berbeda satu sama lain. Kultur orang Jawa yang berbudi pekerti halus dan menyimpan banyak misteri jelas jauh berbeda dengan kultur orang Sumatera yang kasar, meledak-ledak, jujur, polos, dan apa adanya ketika mengungkapkan sesuatu.
Apa yang diungkapkan Florence itu jelas-jelas salah, namun yang bikin aku terheran-heran, masa hal sepele ini bisa sampai heboh begini. Yang jelas, ini pasti ada provokatornya, membesar-besarkan masalah kecil, mengheboh-hebohkan sesuatu yang tak penting-penting amat. Yang begini ini tipikal karakter bangsa kita, masih terbelakang dan senang bukan kepalang mengurusi hal yang sepele dan remeh temeh macam. Begitu itu. Jujur saja aku terpaksa harus bilang begitu.
Bukan bermaksud membenarkan tindakan penghinaan dan cemoohan terhadap suku tertentu, namun jujur saja aku bilang aku belum pernah melihat orang Batak yang tersinggung berat dan lapor Polisi ketika ada suku tertentu yang bilang Dasar Batak.
Padahal kalau mau jujur, ungkapan itu makna negatifnya sangat luas dan dalam, lebih dalam dari sekedar menghina suku tertentu bodoh, tolol, miskin, dan tak berbudaya itu.
Saran aku buat Polda DIY, sudahlah tak usah lebay lah, masa begitu saja pakai acara penahanan segala. Pentingkah ini? Florence sudah dihakimi secara massal, sanksi sosial sudah memporak-porandakan hidupnya. Masa depannya pun sudah hancur lebur. Apa masih kurang puas?
Padahal yang bersangkutan sudah minta maaf dan berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatannya yang menyinggung perasaan orang banyak. Namanya juga orang khilaf yang sudah minta maaf, masa masih ditahan segala? Lebay amat sih? Kurang kerjaan atau bagaimana ini?
Bilamana Polda DIY menjerat Florence dengan dalil UU ITE berdasarkan pasal 43 ayat 6 itu, maka penyidik (melalui penuntut umum) wajib meminta penetapan Ketua PN Jogja dalam tempo waktu 1x24 jam sebelum dilakukan penahanan. Masa yang begini ini harus dikasi tahu sih?
Kewenangan penahanan memang berada pada Polda setempat, namun kasus Florence ini jelas-jelas diluar ranah pidana. Jadi bukan asal main tahan saja.
Ini jelas-jelas tindakan super lebay dari Polda DIY yang nihil prestasi itu. Kasus cebongan dulu telah mencoreng muka Polda DIY, apa itu tak cukup dijadikan pelajaran? Apa itu tak cukup dijadikan batu pijakan?
Dalam hidup yang fana ini, setiap insan manusia punya kelebihan dan kekurangan. Ada yang temperamennya emosional, ada pula yang panjang sabar dan welas asih. Tak ada manusia yang sempurna didunia yang renta ini, kecuali malaikat sorgawi yang menyamar jadi manusia.
Mbok ya kalau orang sudah minta maaf dan mengakui kesalahannya dan berjanji tak akan mengulangi, tak usah lah sok gaya pakai acara penahanan segala. Tak usah pakai trik cari muka segala. Dengan Surat Pernyataan saja sudah cukup bikin si Florence itu tobat tujuh turunan.
Kalau mau dihitung-hitung, apa sih prestasi yang dilakukan oleh Polda DIY? Tak ada sama sekali alias tong kosong nyaring bunyinya. Kecuali prestasi memindahkan tahanan Decky cs dan Juan Manbait ke lapas cebongan itu sehingga mereka aman ketika dibantai oleh Kopassus.
Yang jelas, semuanya sudah terlambat. Nasi sudah jadi bubur. Dan mirisnya, bubur itu malah ditambah kecap manis dan saos tomat oleh Polda DIY. Rasanya memang nikmat sekali bagi mereka, namun pahit bagi Florence dan sanak keluargaya.
Persatuan warga Batak dan marga Sihombing harus turun tangan ini. Jangan biarkan saudari kita yang sudah babak belur dan hancur masa depannya itu tambah sengsara dan sekarat dibalik jeruji besi. Dan pula, masa tak ada Polisi yang orang Batak di Polda DIY itu? Ayo dong bantu saudarimu disitu. Jangan diam saja.
Namun bagaimanapun juga, ini pelajaran yang berharga bagi para tukang sengak di dunia maya, belajarlah dari kasus Florence itu. Karena ada tertulis, siapa yang menabur angin, maka akan menuai badai. Kalau mau begitu, pakai akun tuyul siluman abal-abal saja macam aku ini. Maka aman lah Anda. Kalau pakai akun asli, ya begini ini akibatnya. Kan konyol itu.
Kalau mau jujur, seharusnya Mawalu ini yang lebih pantas dibully ramai-ramai dan dilaporkan ke Polisi. Sudah banyak korban aku di dunia maya, baik di Facebook maupun di Kompasiana. Apa yang dilakukan Mawalu lebih sadis dari apa yang dilakukan oleh Florence. Yang diposting Florence itu belum ada apa-apanya, masih seujung kuku jari kelingking.
Dan bilamana suatu saat nanti Mawalu dijebloskan ke Penjara, maka yang terbayang dalam benak aku dari balik jeruji besi, yaitu jerit histeris tangisan isteri dan putri tercinta serta tawa ngakak dan ucapan syukur dari orang-orang yang mengutuk aku (*).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H