Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jokowi Jadi Presiden, Tomy Winata Terkapar

28 November 2014   15:17 Diperbarui: 4 April 2017   17:29 93606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_386830" align="alignnone" width="600" caption="Tomi Winata (Bisnis.com)"][/caption]Siapa yang tak kenal Tomy Winata? Pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang satu ini lihai dan licin bagaikan belut yang telah diolesi oli. Bagaikan raksasa yang berdiri mengangkang, jaringan bisnisnya menggurita disegala aspek perekonomian di negeri ini.

Saking tajirnya Tommy Winata ini, orang bilang uangnya itu mungkin saja sudah tak ada nomor serinya lagi. Namun bagaimanapun juga, patut kita akui keuletan dan kelihaian Tomy Winata dengan tangan dinginnya itu ia mengukir satu persatu unit bisnisnya bagaikan mengukir lekak-lekuk patung Jepara yang sulit dan rumit menjadi indah dan enak dilihat.

Semua unit bisnisnya dipoles sedemikian rupa menjadi sedemikian kinclongnya seperti tukang poles batu Bacan di Rawabening Jakarta yang lihai menghsluskan dan mengkilapkan batu bacan. yang saat ini sangat digemari dan diburu banyak orang karena telah menjadi tren di kalangan eksekutif muda dan kawula muda Jakarta.

Namun apa lacur, kali ini taipan cerdas yang disegani di negeri zamrud khatulistiwa ini terpaksa harus gigit jari dan terkapar tak berdaya setelah mimpi indahnya untuk meraup Margin Profit dari proyek jembatan Merak Banten dan Bakauheni Lampung itu gagal total ditangan Jokowi. Proyek itu justru di kunci oleh Jokowi. Impiannya pun tumbang seketika.

Rupanya Jokowi tak setuju dengan sistem jembatan yang menghubungkan Merak Banten dengan Bakauheni Lampung itu. Menurut Jokowi biayanya terlalu besar, dan balik modalnya pun butuh waktu yang sangat lama kurang lebih sekitar 30 tahun lamanya. Setidaknya itu menurut perhitungan Jokowi.

Sebagai negara Maritim, Jokowi lebih cenderung mengoptimalkan fungsi kelautan dengan mekanisme tol lautnya itu yang menghubungkan dermaga-dermaga disetiap pulau dengan kapal-kapal besar. Bukan dengan bikin jembatan untuk menghubungkan antar pulau.

Padahal Tomy Winata ini sudah menggelontorkan fulus yang sangat besar. Bayangkan saja untuk melakukan survey dan studi pra-kelaikan (Feasibility Study), ia sudah tekor sekitar 1,5 triliun rupiah. Investasi yang sebegitu besarnya justru kandas ditangan Jokowi. Pil yang paling pahit yang terpaksa harus ditelan Tomy Winata di era Jokowi saat ini.

Ya mau bagaimana lagi, namanya juga resiko bisnis. Untung rugi dalam bisnis merupakan resiko tak terduga yang sudah pasti dipahami dengan betul bagi pebisnis handal sekaliber Tomy Winata.

[caption id="attachment_350122" align="aligncenter" width="600" caption="Design Rancang Bangun Jembatan Selat Sunda (Tempo)"]

[/caption]Proyek raksasa sebesar 225 Triliun Rupiah itu kini hanya tinggal kenangan. Padahal kalau saja jembatan itu jadi, sudah pasti pulau Jawa dan Sumatera akan maju pesat. Transportasi jadi lancar, suplai logistik antar pulau bukan menjadi hambatan lagi tanpa perlu menunggu jadwal kapal Ferry bersandar di Dermaga, tanpa perlu antrian kendaraan-kendaraan pribadi, Kontainer, dan truk-truk besar yang berkilo-kilo meter jauhnya di pelabuhan Merak maupun di Bakauheni.

Sebenarnya gagasan untuk menghubungkan pulau Jawa dan pulau Sumatera dengan jembatan sudah ada sejak jaman Presiden pertama NKRI, yaitu Ir. Soekarno. Dengan latar belakang Insinyur yang ia milki, Soekarno menggagas mega proyek ini dengan sebutan Tri Nusa Bima Sakti sebagai grand desain pembangunan infrastruktur jalan nasional.

Namun entah kenapa, apakah karena dananya di era Soekarno dulu masih sangat minim ataukah mungkin saja ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi sehingga proyek itu akhirnya hanya sekedar jadi Master Plan saja.

Lalu pada jaman pemerintahan Habibie pasca tumbangnya Presiden Soeharto yang digulingkan oleh mahasiswa Reformasi, proyek jembatan selat Sunda mulai digulirkan lagi. Habibie sendiri yang memimpin langsung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1988 yang silam untuk mewujudkan rencana proyek peninggalan jaman Soekarno dulu.

Proyek jembatan sepanjang 29 Kilo Meter yang melintasi Selat Sunda itu sudah dihitung dengan cermat dan secara terperinci oleh Habibie. Dana yang dihitung secara teliti oleh Habibie untuk pembuatan jembatan itu sebesar 100 Triliun Rupiah. Namun apa daya, proyek impian itu gagal total akibat dihantam serangan badai puting beliung Krisis Moneter yang sangat dasyat sehingga memporak-porandakan perekonomian di seluruh pelosok negeri ini.

Setelah sekian lama terkubur impian para pemimpin bangsa ini untuk menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera dengan jembatan seperti di San Fransisco itu, akhirnya di jaman SBY dimunculkan lagi ke permukaan untuk merealisasikan proyek impian yang selalu kandas ditengah jalan itu.

Tomy Winata ditunjuk oleh pemerintahan SBY menjadi rekanan swasta melalui konsorsium Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS) yang merupakan salah satu anak perusahaan Artha Graha yakni PT. Bangungraha Sejahtera Mulia.

Bagi Anda yang belum tahu, PT. BSM ini adalah perusahaan swasta milik Tommy Winata yang bekerjasama sharing profit dengan BUMD Banten dan Lampung. Tomy Winata duduk sebagai komisaris utama, sedangkan Pemprov Banten dan Lampung hanya memiliki saham 2,5 persen saja di perusahaan bentukan Tomy Winata itu.

Sebagai seorang pengusaha handal yang banyak makan asam garam didunia persilatan proyek raksasa dalam negeri, Tomy Winata tak kehilangan akal. Proyek kelas ikan hiu ini harus ditangkap dengan cantik dan lincah.

Tomy Winata bukan pengusaha kelas ayam sayur. Sebagai jaminan bahwa proyek itu bukan hanya sekedar proyek NATO (Not Action Talk Only), Taipan cerdas ini menginginkan adannya payung hukum dan jaminan dari pemerintah agar ia bisa menjalankan proyek tersebut sampai rampung.

Maka lahirlah dari tangan SBY Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2011 tentang Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS) atau yang lebih dikenal dengan istilah Jembatan Selat Sunda (JSS) itu.

Selain menerbitkan Peraturan Presiden, Presiden SBY juga membentuk Tim 7 untuk membantu memfasilitasi pembangunan Jembatan Selat Sunda itu. Tim 7 tersebut terdiri dari Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Bappenas.

Harapan Presiden SBY, proyek itu sudah bisa dimulai (groundbreaking) pada tahun 2015 mendatang dengan jangka waktu pekerjaan selama 10 tahun sehingga sudah dapat dinikmati oleh masyarakat luas dan pelaku bisnis pada tahun 2025 nanti.

Namun sayang beribu sayang, hingga SBY lengser keprabon, nasib proyek raksasa itu justru tak jelas juntrungannya, terkatung-katung bagaikan daun kering yang jatuh luruh perlahan-lahan dari rantingnya dan hanyut di sungai yang landai.

Pemerintahan pun berganti, dan Jokowi naik tahta menjadi orang nomor satu di negeri ini. Atas nama pemerintah, tanpa basa-basi yang berkepanjangan, secara resmi Jokowi menghentikan proyek ratusan trilyun rupiah itu.

Tomy Winata pun nangis darah. Barangkali dalam hatinya ia ngedumel, et dah kepeng sudah habis trilyunan rupiah, eh ndilalah malah gagal maning, gagal maning. Semprul nian.

(Barangkali saja ngedumelnya begitu ya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun