Mohon tunggu...
Mawalu Si Pembully
Mawalu Si Pembully Mohon Tunggu... -

Banyak orang menulis bagaikan thriller psikologis dengan pola berpikir seperti orang epilepsi. Orang bebal ketika ditegur justru mengagulkan bebalnya itu dengan jumawa.

Selanjutnya

Tutup

Money

Bawang Mahal, Kedelai Mahal, Mobil Murah? Fenomena Konyol Apa Pulak Ini?

21 September 2013   17:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35 1976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang-ganjing dunia persilatan program Mobil Murah Ramah Lingkungan alias Low Cost Green Car (LCGC), mulai memanas. Saat ini Jokowi sebagai pionir penggagas penolakan mobil murah dinilai ngawur oleh Marzuki Ali karena menolak mobil murah dengan alasan hanya bikin macet Jakarta.

Menurut punggawa Partai Demokrat itu, masalah kemacetan adalah urusan pemerintah daerah yang harus diselesaikan dan tak bisa disangkutpautkan dengan rencana mobil murah yang akan mendatangkan banyak manfaat.

Masalah kemacetan itu adalah kewajiban pemerintah daerah, jangan dikaitkan dengan industrialisasi, itu namanya ngawur. Justru program mobil murah ini mendatangkan banyak manfaat, salah satunya buka kesempatan kerja. Jadi jangan dikaitkan dengan kemacetan, ungkap Marzuki diplomatis.

Wakil Presiden Boediono juga mendukung program mobil murah ini. Entah darimana cara menghitung rumusnya, Boediono memastikan bahwa mobil murah ini hanya menambah 3 persen dari jumlah kendaraan yang ada saat ini. Menurut Boediono yang low profile itu, kita tak perlu menghambat orang beli mobil. Kemacetan tak boleh diatasi dengan mengorbankan kepentingan industri yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian.


Rakyat Jelata Butuh Makan, Bukan Butuh Mobil Murah

Sebagai seorang rakyat jelata, terus terang aku juga terheran-heran dengan kengototan pemerintah pusat saat ini yang sebegitu menggebu-gebunya mencanangkan program mobil murah itu. Bukannya aku tak mendukung program Pemerintah, akan tetapi bagi aku sepertinya ada udang dibalik batu. Entah udangnya siapa, dan batunya apa, tak tahu pulak aku.

Bisa saja program mobil murah ini justru diperjuangkan oleh pejabat-pejabat yang pernah menjadi duta dagang Indonesia, alias calo. Mereka yang pernah menjadi pengurus industri otomotif, dan yang keluarganya pemegang lisensi penjualan mobil murah. Itulah sebabnya anda jangan heran akan banyak Pejabat publik yang mencoba memanfaatkan isu mobil murah ini untuk kegiatan populis.

Menurut pemahaman aku, daripada urusin itu mobil murah, sebaiknya pemerintah fokus dulu kepada pemerataan pembangunan khususnya dibidang industri pertanian.

Ini supaya tak ada lagi fenomena konyol yang bikin negara lain terpingkal-pingkal kok bisa di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi itu, tanam kayu dan batu jadi tanaman, harga bawang bisa mahal, harga kedelai bisa melambung tinggi, tapi harga mobil dibuat murah. Logika kok dibolak-balik. Aneh kan?

Aku tak tahu apakah para pemangku kebijakan itu punya empati bahwa yang dibutuhkan rakyat banyak saat ini adalah sembako murah, bukan mobil murah. Tolong Pemerintah prioritaskan dahulu harga pangan yang mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat daripada memikirkan bagaimana memberikan masyarakat mobil murah yang sebenarnya tak ada juntrungannya sama sekali itu.


Potensi Kehilangan Pendapatan Pajak Negara

Kementrian Perindustrian telah menerbitkan Peraturan keringanan Pajak terkait mobil murah ini. Kebijakan Kementrian Perindustrian terkait pembebasan pajak PPnBM ini berpotensi kehilangan pendapatan Pajak negara yang sangat besar, artinya akan ada jumlah hitungan pajak yang hilang. Kita ambil contoh saja dalam lima tahun dengan asumsi penjualan sebesar 700 ribu sampai 1 juta mobil dalam lima tahun, dan PPnBM 10 persen, katakanlah nilainya Rp 10 juta per mobil, maka pajak yang hilang adalah sekitar 10 Triliun.

Coba anda bayangkan dengan nilai 10 Triliun itu, pemerintah sudah bisa bantu pengadaan ratusan ruas Monorail yang melingkari Jakarta, ribuan unit baru Busway, ratusan koridor Busway baru, dan besaran subsidi pemerintah yang meringankan beban rakyat bayar ongkos transportadi dari 10 Triliun itu. Sekalipun itu butuh waktu.

Yang begini ini namanya mimpi disiang bolong. Nafsu besar tenaga kurang. Para pemangku kepentingan di negara ini seolah-olah ingin menunjukan kepada dunia bahwa bangsa ini akan menjadi Mercusuar dunia, bangga diri bahwa bangsa ini sudah mulai maju.

Namun sayangnya mimpi itu masih sangat jauh, karena bangsa ini masih belum mampu jadi Mercusuar dunia, bangsa ini masih menjadi lampu teplok, yaitu lampu yang diisi minyak dan diteplok di dinding.


Sifat Dasar Manusia yang Tak Pernah Puas

Memang rasa dahaga manusia sampai dunia yang fana ini kiamat hancur berantakan pun tak akan pernah bisa terpuaskan. Ketika cuma mampu beli nasi putih sama kerupuk, kita sudah merasa itu makanan itu yang paling enak sedunia. Tapi, ketika ada rejeki lebih dan mampu beli lauk ayam, kita jadi tahu ternyata lauk ayam lebih enak dari kerupuk.

Selanjutnya, ketika sudah dapat rejeki lebih dan mampu beli kentang goreng dan steak daging sapi, maka manusia akan berupaya untuk dapat uang lebih banyak untuk memuaskan hasrat kedagingan. Sehingga pada akhirnya, kebutuhan pokok bukan lagi untuk mencukupi segala kekurangan, akan tetapi hanya untuk gaya-gayaan saja ikut-ikutan gaya hidup orang kaya. Persis seperti keinginan Pemerintah akan mobil murah itu.

Keberadaan mobil murah macam begini justru hanya akan meningkatkan konsumsi yang tak perlu dari rakyat kecil. Rakyat jelata yang seharusnya memperoleh fasilitas transportasi umum yang nyaman, aman, dan murah justru diracuni pemerintah supaya bisa punya mobil sehingga justru memberikan efek negatif memotivasi rakyat kecil supaya hidup mereka menjadi lebih konsumtif. Serius ini.


Masyarakat yang Maju adalah Mereka yang Mendahulukan Kebutuhan Prioritas

Almarhum Kakek aku dulu pernah bilang ke aku bahwa kalau negara ini mau menjadi besar, maju, dan makmur sentosa, maka ganti nama negara ini, ganti benderanya, ganti lagu kebangsaannya, ganti dasar negaranya, ganti ibukotanya, jadikan Indonesia negara bagian Amerika yang ke 51, maka bangsa ini dijamin akan maju dan makmur sentosa.

Setelah aku renungkan candaan almarhum kakek, ternyata ada benarnya juga. Coba tengok saja itu Suriname. Coba lihat itu orang-orang Jawa di sana. Kehidupan mereka sudah sangat maju dan beradab. Dan hidup mereka sudah bebas dari kungkungan tempurung yang masih membelenggu saudara-saudara mereka di tanah air.

Saat ini keturunan kuli kontrak dari Jawa yang dibawa Belanda ke Suriname termasuk kelompok etnik Jawa yang paling tinggi taraf hidupnya disana. Mereka sudah masuk kelompok kelas menengah keatas. Sedangkan saudara-saudara mereka yang di Jawa justru masih hidup dibawah taraf kemiskinan.

Orang Jawa di Suriname bisa berhasil masuk kelas menengah ketas karena didikan orang luar negeri yang lebih fokus pada tingkat kebutuhan yang lebih dibutuhkan daripada kebutuhan lain yang masih belum perlu dibutuhkan.

Selain itu, orang-orang Jawa Suriname sudah fasih bahasa Londo, sedangkan saudara-saudaranya yang di Jawa masih takut dekat-dekat dengan hal-hal yang berbau Londo, takut haram dan bisa masuk neraka. Itulah sebabnya bangsa tercinta ini susah sekali majunya karena masih banyak orang dengan pemikiran kerdil dan primitif saat ini.

Jujur saja orang luar negeri sudah lebih maju pemikiran mereka daripada kita-kita ini yang masih hidup miskin melarat, tapi sok gaya. Contohnya itu si Walikota Bogota itu. Ia justru bilang bahwa negara yang sudah maju dan beradab bukanlah negara yang golongan menengah ke bawah memiliki mobil, akan tetapi ketika golongan menengah ke atas memakai transportasi publik.

Contohnya Jepang dan Singapura. Rakyat kelas menegah keatas disana justru tak bernafsu punya mobil pribadi, karena mereka lebih menikmati transportasi umum yang cepat, nyaman, dan murah.

Sifat dasar manusia Indonesia memang memiliki kecenderungan ingin selalu tampil lebih daripada yang lain, bergaya wah, dan konsumtif. Itulah sebabnya jangan heran kalau pola berpikir para pemikir bangsa ini lebih mementingkan mobil daripada kebutuhan pangan untuk isi perut rakyatnya yang kelaparan dan sengsara yang butuh makanan untuk tetap bertahan hidup.


Terserah anda mau bilang apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun