Mohon tunggu...
Mawaddah Perabawana
Mawaddah Perabawana Mohon Tunggu... Lainnya - Ù…

Aku seorang penakut. Lalu, Pram pernah berkata "menulis adalah sebuah keberanian"

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korelasi Tuntutan Hukum Pidana Mati Terhadap Psikologis Korban Asusila

22 Agustus 2022   20:22 Diperbarui: 24 Agustus 2022   10:14 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Medio 2021, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut menerima laporan atas kasus yang telah berlangsung sejak lama. Yakni, kasus asusila berupa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dengan tersangka Herry Wirawan. Yang mana para korbannya adalah santri putri yang diasuh oleh tersangka sendiri.

Tercatat, korban berjumlah 21 santri putri yang belajar di Rumah Tahfidz Al-Ikhlas Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru. Saking lamanya kasus ini berlangsung yaitu sejak tahun 2016, sejumlah 9 bayi telah dilahirkan.

Sejak terungkapnya kasus tersebut, pihak yang menangani kasus tidak langsung mempublikasikan dengan mempertimbangkan kondisi mental para korban dan keluarga. Hingga, pada akhir 2021 kasus tersebut mulai dipublikasikan dan membuat ramai arus media utama serta media sosial.

Pada 15 Februari 2022, Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup berdasarkan putusan No. 989/Pid.Sus/2022/PN/Bdg kepada terdakwa. Akan tetapi, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding berupa hukuman mati dengan pertimbangan: Pertama, tidak adanya tanggung jawab terhadap anak-anak yang telah lahir akibat ulah dari terdakwa. Kedua, kesehatan mental para korban yang juga membebani para orang tua korban. Ketiga, perangkap para korban yang berkedok pendidikan Islam telah memunculkan stigma miring orang tua terhadap lembaga pendidikan serupa di Indonesia. Dan merambat hingga tercorengnya citra agama Islam.

Muncul polemik akibat tuntutan hukum pidana mati terdakwa Herry Wirawan. Meskipun, terdakwa memiliki kesempatan untuk mengajukan kasasi menolak hukuman terberat di Indonesia tersebut. Berbagai silang pendapat saling bertanya, apakah hukuman mati adil bagi pelaku maupun korban? Bagaimana relevansinya terhadap hak asasi manusia dan perspektif Islam? Dan apakah hukuman mati yang benar-benar diinginkan oleh para korban untuk sang pelaku?

Hukum Pidana Mati di Indonesia

Hukuman mati adalah satu isu yang banyak mengundang kontroversi tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga dalam lingkup internasional. Di Indonesia, hukuman pidana mati dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964. Hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara menembak mati.

Hukuman mati tergolong salah satu pidana pokok yang terdapat dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada beberapa kejahatan yang diancam hukuman mati, di antaranya pembunuhan, narkotika, dan beberapa kasus berat lainnya. Lalu, apakah tindakan asusila berupa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur termasuk ke dalam ancaman hukuman mati?

Pada kasus Herry Wirawan ini, terdakwa dituntut hukuman mati sesuai dengan pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5), jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun  2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke dua atas Undang-Undang  Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Berdasar pada kronologi kasus, yakni terjadi dalam rentang waktu yang lama hingga hampir 5 tahun, dengan korban yang sangat banyak, serta motiv kejahatan yang mampu membungkam para korban. Tentu saja, terdakwa perlu dijatuhi hukuman berlapis.  Para orang tua korban dan masyarakat menginginkan terdakwa dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Inilah hukum pidana terberat di Indonesia, hukuman mati.

Hukuman Mati dalam Perspektif Islam

Baca juga: Cerita Ilusi

Negara Indonesia memang bukan negara kekhalifahan, di mana pemimpin dan hukum yang tegak wajib bersandar pada syariat Islam tanpa penolakan. Indonesia adalah negara demokrasi yang memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa, dan itulah yang mendasari setiap individu masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akan tetapi, para pendiri dan leluhur bangsa Indonesia yang mayoritas Islam dan lekat pula akan budaya Islam Nusantara, telah menciptakan relevansi antara Islam dan Indonesia melalui berbagai aspek, salah satunya hukum.

Perlu diketahui, hukum yang dijalankan di Indonesia merupakan implementasi dari hukum Islam yang bersifat dinamis sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman, walaupun tidak mencakup keseluruhan. Tonggaknya ialah sila pertama Pancasila yang menjalin pada sila-sila setelahnya, sehingga memunculkan hakikat bangsa Indonesia yang tidak bertolak belakang pada syariat Islam. Di sisi lain, hal ini tentu tidak menutup perspektif agama non-Islam. Hukum Indonesia bersifat transparan dan masyarakat Indonesia dapat mengetahui serta menganalisisnya secara langsung.

Hukuman mati berdasar hukum Islam diperbolehkan jika terkait dengan hukum hudud (sanksi yang telah ditetapkan oleh Allah) meliputi qishash, hudud, dan ta'zir. Had (bentuk tunggal atau mufrod dari hudud) sendiri mencakup had zina, mencuri, membangkang, hingga murtad. Dari macam-macam had yang telah ditetapkan dalam Islam, apakah kasus asusila berupa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur termasuk dalam kejahatan yang diancam hukuman mati?

Pendalaman kasus Herry Wirawan sampai pada jenis kasus yang terjadi, apakah ini termasuk kasus pemerkosaan atau perzinaan? Sebab antara pemerkosaan dan perzinaan terdapat perbedaan yang signifikan. Apabila yang terjadi adalah tindak pemerkosaan, berarti muncul pihak pelaku dan korban, di mana korban mengalami pemaksaan dan kekerasan.

Akan tetapi, jika yang terjadi adalah perzinaan, maka pelaku adalah kedua belah pihak yang terlibat tanpa ada korban, dengan kata lain pelaku melakukan tindakan dengan adanya dasar tanpa paksaan dan saling menikmati.

Berdasar kronologi kasus yang diungkapkan oleh Diah Kurniasari selaku ketua P2TP2A Garut, motiv lain kasus Herry Wirawan ini juga melakukan eksploitasi dan pemberdayaan terhadap korban. Di satu sisi korban dipaksa dan dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu kejinya, namun di sisi lain korban juga diberdayakan dengan jaminan pendidikan komplet dengan biayanya.

Sejauh tindakannya tersebut, pelaku mampu membungkam para korban dan menyimpan busuknya bangkai di dalam lembaga pendidikan Islam. Melalui konsep "guru adalah panutan bagi murid", pelaku berhasil mempengaruhi para korban dalam waktu yang lama, bahkan hingga lahir anak ke dua dari salah satu korban. Sebegitu patuhnya para murid terhadap sang guru, sang predator seks. Itulah laqob yang disematkan pada pelaku.

Ulama mengkategorikan pemerkosaan sebagai perzinaan, maka hukumannya ialah had zina. Bagi pelaku yang belum menikah hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika pelaku sudah menikah, maka hukumannya adalah rajam. 

Dalam kasus pemerkosaan, maka yang dikenai hukuman hanya pelaku saja, sedang korban dikecualikan. Al-Qur'an surah al-An'am ayat 145 menjelaskan "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Benarkah Hukuman Mati yang Diinginkan Korban Terhadap Pelaku?

Tentu saja, para korban menginginkan kasus tersebut tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Namun apa boleh buat? Seolah kaca yang jatuh kemudian pecah, para korban ingin kembali utuh, tetapi para orang tua ikut tertatih, semua tidak bisa kembali utuh.

Tuntutan hukum pidana mati yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat ditolak oleh Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Buah dari hukuman mati yang diharapkan mampu membuat jera para pelaku tindak asusila dianggap gagal dan melanggar Hak Asasi Manusia.

Komnas HAM menganggap, hukuman mati telah merenggut hak asasi manusia yang mutlak ada sejak manusia itu lahir. Hak hidup setiap orang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun (non derogable rights). Begitu pula dengan Komnas Perempuan yang menganggap hukuman mati bukanlah problem solving yang tepat.

Kasus dengan hukuman serupa terus terjadi, seolah tidak ada jera yang mengancam para pelaku dan masyarakat. Sehingga, tidak ada penurunan kasus yang terhitung dalam kurun waktu yang lama. Selain itu, pihak Komnas Perempuan juga meyakinkan dengan adanya rehabilitasi untuk pelaku dan pendampingan untuk memulihkan mental korban, maka kedua belah pihak (pelaku dan korban) telah memperoleh keadilan. Tentu bukan menjadi masalah, jika pihak Komnas Perempuan nantinya akan berhasil menengahi kasus ini.

Kasus Herry Wirawan yang merusak kehidupan para korban perlu diselesaikan dengan pengembalian hak-hak para korban yang telah direnggut. Akibat ulah terdakwa, beberapa korban trauma saat mendengar nama pelaku terlebih melihatnya. Apabila hukuman mati dijalankan, kemungkinan-kemungkinan yang diduga oleh pihak terkait dan masyarakat umum dapat saja terjadi. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi mengabulkan banding dari Jaksa Penuntut Umum berdasar pada pendalaman kasus serta pertimbangan yang terus diperhitungkan.

Berdasar pada kasus serupa, kondisi mental korban yang benar-benar rusak menjadi pertimbangan hukum yang tepat untuk pelaku. Kasus Herry Wirawan yang memiliki dosis over sepatutnya memang layak dihukum mati. Akan tetapi, kembali lagi pada pertimbangan terkait hak asasi manusia yang perlu dipertahankan dan pembenahan moral pelaku serta mental korban yang masih dapat diusahakan.

Apabila terdakwa dihukum mati, para korban akan merasa sedikit pulih sebab tidak adanya kemungkinan kasus dapat terjadi kembali dari pelaku. Namun, bagaimana dengan kemungkinan kasus serupa dengan pelaku yang tidak terduga? Tetap saja, korban akan mengalami depresi dan trauma berkepanjangan hidup di lingkungan manapun, kondisi sosial yang tentu saja tidak normal, dan masa depan suram yang terus menghantuinya.

Sebagai korban yang kini telah menjadi seorang ibu memikul beban yang ada pada anak tanpa ayah tersebut. Lagi-lagi, keluarga ikut repot, belum lagi perasaan malu yang ditanggung selama hidup, seolah kehidupannya dipukuli dengan hukuman sosial. Lalu, pelaku diadili tidak lagi di dunia.

Hukum yang menjadi kebutuhan mutlak seluruh manusia perlu diperjelas dan ditempatkan secara adil. Oleh sebab itu, berdasar hukum negara dan Islam semua telah diatur sedemikan adil demi kemaslahatan manusia di muka bumi.

Kompleksitas masalah yang terus muncul membuat hukum harus bersifat dinamis tanpa bertolak belakang pada dasar hukum asal. Begitu pula dengan kasus asusila berupa pemerkosaan oleh terdakwa Herry Wirawan dengan kronoligi yang berlapis. Meskipun, para korban tidak lagi dapat dipulihkan secara normal seluruhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun