Imlek, Cap Go Meh, klenteng, dan istilah-istilah lain yang berasal dari Cina tersebut bukan sesuatu yang asing di telinga orang Indonesia. Selain istilah tersebut, ada berbagai adat istiadat dan kebudayaan Tionghoa yang hadir dan tumbuh subur di Indonesia. Tempat-tempat bersejarah etnis Tionghoa pun berdiri megah menambah koleksi pariwisata di Indonesia.
Barongsai,Di balik ramahnya masyarakat Indonesia yang hidup berdampingan bersama etnis Tionghoa, ada sejarah pelik yang mengekang warga Indonesia asal negeri tirai bambu tersebut. Tak tanggung-tanggung, mereka yang memiliki nama asli Tionghoa rela bersalin dengan nama khas Indonesia agar hidup mereka tidak dibikin rumit.
Ketahuilah, hakikat Indonesia bukanlah negara yang tak peduli dengan harkat kemanusiaan, apalagi soal kesetaraan hak warga negara meski dari latar belakang keyakinan dan bangsa yang berbeda. Bukankah Indonesia memang negara yang memiliki berbagai macam suku bangsa?
Jika ada kekeruhan dalam segala sesuatu, pasti akan hadir kebeningan untuk memperjelas pandangan agar tidak buram dalam mengerti dan memahami hak-hak setiap manusia, baik dari segi kewarganegaraan hingga kebebasan beragama.
Bahkan, dalam Islam termaktub jelas dalam Q.S. Al-Kafirun ayat 6, bahwa yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Ayat yang mengajarkan kita bertoleransi di atas menjadikan seseorang yang kokoh imannya berani membebaskan jeratan etnis Tionghoa di Indonesia, mengingat bahwa jati diri Indonesia beserta kaki yang menapak di atasnya bukanlah pengekang hak sesama masyarakat Indonesia. Beliau adalah K.H. Abdurrahman Wahid, merupakan seorang intelektual yang "ditempa" dalam lingkungan pesantren, tentunya Beliau memiliki keyakinan yang bertolak belakang dengan etnis Tionghoa.
Ada proses yang panjang dan rumit menuju kebebasan dan kenyamanan hidup di Indonesia yang dijalani oleh etnis Tionghoa. Berawal dari masa sebelum Indonesia merdeka hingga hadir keputusan pembatasan berbudaya dan beragama terhadap etnis Tionghoa, semua berpatok dari dampak ketidakpahaman bahwa toleransi berbudaya dan beragama itu penting dalam membangun integrasi suatu bangsa.
Jeratan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa
Dua tahun sebelum Indonesia Merdeka yakni pada tahun 1943, hari raya Imlek yang merupakan tahun baru Cina dijadikan sebagai hari libur resmi yang tertulis dalam Osamu Seirei No. 26 Tanggal 1 Agustus 1943. Begitupun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya pada awal masa revolusi. Bahkan, Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat yang berisi perizinan mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok di setiap hari raya bangsa Tiongkok.
Tetapi, keadaan berpaling pada masa Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, tepatnya setelah peristiwa G30S/PKI. Perayaan Imlek menjadi terlarang diadakan di depan publik, pertunjukan barongsai harus sembunyi-sembunyi, radio dilarang memutar lagu-lagu Mandarin. Keputusan tersebut terbit dalam Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang mencakup eksistensi agama, kepercayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa.
Pedihnya lagi, etnis Tionghoa dipaksa hidup sebagai "bunglon" sesuai daerah tempat tinggal. Belum lagi munculnya kebijakan untuk menutup sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina. Padahal, Indonesia sendiri lahir dari tiga etnis yaitu Melayu, Astro-melanisia, dan Cina. Memang, etnis Tionghoa merupakan etnis dengan minoritas Islam, tetapi Islam tak membuat agama lain terjerat.
Gus Dur Menggugah Barongsai
Menahan rindu dalam diam dan menyimpan damainya kemeriahan Imlek, itulah yang dipendam oleh masyarkat etnis Tionghoa di Indonesia selama masa Orde Baru. Terlebih, masa Orde Baru berlangsung selama 32 tahun. Waktu yang tidak sebentar tersebut melatih kesabaran mereka hingga lengsernya Presiden Soeharto.
Tibalah masa Reformasi dengan diangkatnya Presiden B.J. Habibie. Di masa kekuasaannya yang singkat Presiden Habibie menyempatkan diri menerbitkan Inpres No. 26 Tahun 1999 yang berisi pembatalan aturan-aturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, juga penghapusan istilah pribumi dan non-pribumi dalam penyelenggaraan pemerintah.
Kemudian, setelah Presiden Habibie selesai bertugas di Istana Negara dan digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Beliau menyempurnakan kesetaraan hak warga negara dengan konsep kemerdekaan ala Gus Dur yang nonrasial. Terbitlah Inpres No. 6 Tahun 2000 yang mencoret Inpres No. 14 Tahun 1967. Akhirnya, jiwa pluralis Gus Dur membara demi kemanusiaan atas perdamaian Indonesia.
Penantian etnis Tionghoa untuk memeluk kembali jati dirinya tercapai dengan sapa Gus Dur di tengah mereka. Pembebasan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa tentunya menjadikan Gus Dur sebagai panglima bagi mereka.
Hari raya Imlek yang vakum selama lebih dari tiga dekade akhirnya menyala untuk pertama kalinya pada 9 April 2001. Pada hari itu juga Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif, hari libur istimewa yang diberikan kepada suatu umat beragama yang tersurat dalam Keppres No. 9 Tahun 2001. Kemudian, satu tahun ke depan hari raya Imlek ditingkatkan menjadi hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan terbitnya Keppres No. 19 Tahun 2002.
Memang ada beberapa tokoh pembebas kekangan etnis Tionghoa di Indonesia, tapi yang paling besar jasanya membangunkan barongsai adalah Gus Dur beserta konsep kemerdekaan yang Beliau dirikan. Terlebih adanya desakan untuk masyarakat pribumi menyatu kembali pada etnis Tionghoa.
Toh, masyarakat Indonesia juga akan bersikap senang hati. Barongsai yang telah tidur lama kembali bangun dengan lega karena tidak akan ada lagi yang mengintai saat ia menari. Menurut kepercayaan tradisional Tiongkok, singa barongan menandakan keberanian, kekuasaan, kebijaksanaan dan keunggulan. Bukankah itu juga nilai lebih untuk Indonesia? Meskipun berbeda keyakinan, tapi Gus Dur hadir menghargai kebudayaan dan adat istiadat etnis Tionghoa.
Peci dan Sarung Bapak Tionghoa Indonesia
Jangan heran menyaksikan Gus Dur tampil dengan berbagai kontroversi, kadang berupa ahliyah (perbuatan), tak jarang berupa qouliyah (ucapan). Saking kontroversinya, komunitas Tionghoa Semarang menyematkan gelar penghormatan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Penghargaan tersebut tak lepas dari usaha Gus Dur melepas beban pengekangan yang etnis Tionghoa pikul.
Tak kalah kontroversinya, dicetak pula buku yang berjudul Bapak Tionghoa Indonesia (2012) karya Akhmad Fikri A. F. yang berkover merah dengan teduhnya wajah Gus Dur sebagai pembela kaum minoritas di Indonesia, tak ketinggalan dikenakannya pakaian khas Tionghoa oleh Gus Dur. Yang menarik pula Gus Dur tetap mengenakan peci.
Gus Dur yang potretnya berada di samping wakil presiden hanya 21 bulan mampu meluruskan berbagai masalah. Sosok Gus Dur yang tak senang diskriminasi apalagi terhadap kaum minoritas, mengajarkan dan mengingatkan kepada masyarakat sekaligus muridnya, bahwa perdamaian itu indah bagi kita yang mau saling toleransi. Sekilas dawuh Gus Dur, "Jika kita Muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak puasa".
Wallahu a'alam bishshawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H