Tibalah masa Reformasi dengan diangkatnya Presiden B.J. Habibie. Di masa kekuasaannya yang singkat Presiden Habibie menyempatkan diri menerbitkan Inpres No. 26 Tahun 1999 yang berisi pembatalan aturan-aturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, juga penghapusan istilah pribumi dan non-pribumi dalam penyelenggaraan pemerintah.
Kemudian, setelah Presiden Habibie selesai bertugas di Istana Negara dan digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Beliau menyempurnakan kesetaraan hak warga negara dengan konsep kemerdekaan ala Gus Dur yang nonrasial. Terbitlah Inpres No. 6 Tahun 2000 yang mencoret Inpres No. 14 Tahun 1967. Akhirnya, jiwa pluralis Gus Dur membara demi kemanusiaan atas perdamaian Indonesia.
Penantian etnis Tionghoa untuk memeluk kembali jati dirinya tercapai dengan sapa Gus Dur di tengah mereka. Pembebasan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa tentunya menjadikan Gus Dur sebagai panglima bagi mereka.
Hari raya Imlek yang vakum selama lebih dari tiga dekade akhirnya menyala untuk pertama kalinya pada 9 April 2001. Pada hari itu juga Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif, hari libur istimewa yang diberikan kepada suatu umat beragama yang tersurat dalam Keppres No. 9 Tahun 2001. Kemudian, satu tahun ke depan hari raya Imlek ditingkatkan menjadi hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan terbitnya Keppres No. 19 Tahun 2002.
Memang ada beberapa tokoh pembebas kekangan etnis Tionghoa di Indonesia, tapi yang paling besar jasanya membangunkan barongsai adalah Gus Dur beserta konsep kemerdekaan yang Beliau dirikan. Terlebih adanya desakan untuk masyarakat pribumi menyatu kembali pada etnis Tionghoa.
Toh, masyarakat Indonesia juga akan bersikap senang hati. Barongsai yang telah tidur lama kembali bangun dengan lega karena tidak akan ada lagi yang mengintai saat ia menari. Menurut kepercayaan tradisional Tiongkok, singa barongan menandakan keberanian, kekuasaan, kebijaksanaan dan keunggulan. Bukankah itu juga nilai lebih untuk Indonesia? Meskipun berbeda keyakinan, tapi Gus Dur hadir menghargai kebudayaan dan adat istiadat etnis Tionghoa.
Peci dan Sarung Bapak Tionghoa Indonesia
Jangan heran menyaksikan Gus Dur tampil dengan berbagai kontroversi, kadang berupa ahliyah (perbuatan), tak jarang berupa qouliyah (ucapan). Saking kontroversinya, komunitas Tionghoa Semarang menyematkan gelar penghormatan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Penghargaan tersebut tak lepas dari usaha Gus Dur melepas beban pengekangan yang etnis Tionghoa pikul.
Tak kalah kontroversinya, dicetak pula buku yang berjudul Bapak Tionghoa Indonesia (2012) karya Akhmad Fikri A. F. yang berkover merah dengan teduhnya wajah Gus Dur sebagai pembela kaum minoritas di Indonesia, tak ketinggalan dikenakannya pakaian khas Tionghoa oleh Gus Dur. Yang menarik pula Gus Dur tetap mengenakan peci.
Gus Dur yang potretnya berada di samping wakil presiden hanya 21 bulan mampu meluruskan berbagai masalah. Sosok Gus Dur yang tak senang diskriminasi apalagi terhadap kaum minoritas, mengajarkan dan mengingatkan kepada masyarakat sekaligus muridnya, bahwa perdamaian itu indah bagi kita yang mau saling toleransi. Sekilas dawuh Gus Dur, "Jika kita Muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak puasa".
Wallahu a'alam bishshawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H