Mohon tunggu...
Mawaddah Perabawana
Mawaddah Perabawana Mohon Tunggu... Lainnya - م

Aku seorang penakut. Lalu, Pram pernah berkata "menulis adalah sebuah keberanian"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menilik Implementasi Nilai Kepesantrenan dalam Memoar Gus Dur

31 Desember 2021   00:09 Diperbarui: 31 Januari 2022   17:16 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Virdi Sedang Berziarah di Makam Gus Dur (Sumber: akun Twitter Virdika Rizky Utama)

Sebagai satu-satunya Presiden Indonesia yang bergelar santri, tentu Gus Dur tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk unjuk aksi menggoyangkan negara yang dipimpinnya. 

Dengan berbagai ahliyah (perbuatan) dan qauliyah (ucapan) yang mengundang respon kontroversi, sosok Gus Dur yang telah wafat 12 tahun silam masih eksis dalam kehidupan masyarakat Indonesia melalui media komunitas Jaringan GUSDURian contohnya.

Selain dalam komunitas, ada ribuan penggemar Gus Dur di luar sana dengan bukti terjualnya buku Menjerat Gus Dur (2019) karya Virdika Rizky Utama dengan jumlah yang fantastis, yakni hampir 100.000 eksemplar terjual dalam waktu hanya dua bulan. 

Di samping larisnya buku karya jurnalis muda tersebut dan maraknya acara bedah buku, seminar dan lainnya, disusul pula dengan terbitnya buku Goro-Goro Menjerat Gus Dur (2020) yang semakin memuaskan emosi pencinta Gus Dur.

Sungkan rasanya jika memuaskan emosi cinta terhadap Gus Dur hanya melalui membaca histori langkah-langkah menuju kursi Presiden, hingga terbuktinya konspirasi miring melalui tumpukan dokumen yang hampir jatuh pada tukang rongsok.

Lalu, sudah seberapa dalamkah kita menancapkan nilai-nilai mulia yang telah beliau persembahkan kepada rakyat sekaligus muridnya? Tinggal pilih mau jenis nilai apa yang kita inginkan, atau lebih tepatnya kita butuhkan. Mulai dari nilai kemanusiaan, politik, toleransi, kesederhanaan hingga sikap "gitu aja kok repot".

Santri di pesantren

Ada dua macam rakyat Indonesia dilihat dari segi pendidikan pesantrennya, yaitu santri dan non-santri.

Adapun Gus Dur adalah seorang santri yang menjadi panutan dari kalangan santri maupun non-santri, ini bukan hal biasa. Sebab, kalangan dari non-santri meliputi rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai perbedaan suku bangsa, kebudayaan, hingga lintas agama.

Banyak penuntut ilmu di dalam pesantren baik itu kiai ataupun santri biasa yang memiliki wawasan luas di luar pesantren. Tetapi, sangat sedikit orang yang berada di luar pesantren mengetahui nikmatnya kedamaian pesantren. 

Mungkin aneh apabila menceritakan kepada orang awam, bahwa banyak santri yang merengek-rengek gundah saat muwadda'ah apalagi boyongan dari pesantren, atau ada santri yang tak kenal bosan hidup bertahun-tahun di pesantren walau kerjaanya hanya menata sandal kiai.

Tidak akan ditemukan titik akhir berbagai kisah yang memanjakan batin bersumber dari pesantren. Selain ta'allum (belajar), santri juga mengemban amanah wajib sebagai penyempurna ilmunya melalui khidmah atau mengabdi. 

Khidmah sendiri dapat dilaksanakan melalui berbagai cara, ada yang menjadi tukang sapu, memasak untuk santri lain, mengasuh putra-putri kiai, menjadi guru, menjadi pimpinan pesantren, hingga menjadi Presiden pun termasuk khidmah atas ilmu.

Tidak perlu ditanyakan keluhuran ilmu yang Gus Dur kepal sebelum, saat, atau sesudah menjadi Presiden.

Saat duduk di kursi Presiden, beliau masih saja haus akan khidmah. Bahkan, setelah pemakzulan sukses pun Gus Dur masih menjaga khidmah-nya dengan menerapkan nilai-nilai kepesantrenan dalam langkahnya menuju jannah

Hanya kalangan santri yang dapat merasakannya. Agar selain dari santri dapat merasakannya, tidak sulit bagi para santri untuk berbagi. Siapa tahu, setelah mengetahui nilai kepesantrenan yang optimis Beliau genggam, akan bertambah ramai rakyat Indonesia yang mengenakan sarung sembari menenteng kitab. Ini termasuk dakwah yang tidak perlu dipikir lagi seberapa deras pahala yang mengalir.

Virdi Sedang Berziarah di Makam Gus Dur (Sumber: akun Twitter Virdika Rizky Utama)
Virdi Sedang Berziarah di Makam Gus Dur (Sumber: akun Twitter Virdika Rizky Utama)

Dakwah sedikit hingga sedikit-sedikit dakwah

Dakwah atau makna gampangnya mengajak menuju kebaikan, merupakan aktivitas setiap saat yang harus direalisasikan oleh santri sebagai buah dari menimba ilmu. Mengapa aktivitas? Sebegitu pentingkah dakwah di pesantren? Tidak hanya di pesantren, dakwah juga harus diterapkan di manapun dan kapanpun serta kepada siapapun.

Berbicara tentang dakwah, pemahaman orang awam yang terbayangkan adalah ceramah agama, mengajak masuk Islam dan berbagai kegiatan islamisasi lainnya.

Ketahuilah, Islam itu ramah bukan hanya monoton berdasar golongan apalagi keyakinan. Bahkan, Islam memperhatikan amal kecil apalagi besar.

Contoh, kita melihat seseorang tak dikenal membuang sampah sembarangan. Lalu apa yang harus dilakukan? Membuangkan sampah tersebut ke tempat sampah? Atau menegurnya terlebih dahulu, mengingatkan agar membuang sampah ke tempatnya.

Kedua pilihan tersebut sangat baik. Tetapi, saat kita membuangkan sampahnya tanpa mengingatkannya, maka dia dengan mudah mengulangi kebiasaan tersebut. Contoh di atas termasuk dakwah karena انظافة من الإيمان, anak TK pun hafal.

Kebiasaan-kebiasaan murah hingga mahal inilah yang biasa Gus Dur tenteng ke mana-mana hingga dibawa ke dalam Istana Negara, menggemingkan di depan rakyat, menyuratkan di berbagai karya tulis, tapi tak dibawa saat diusir dari kursi presiden, bahkan ditinggal nganggur setelah wafat.

Berbagai kalimat-kalimat dari Gus Dur berserakan di media sosial, ada yang bertema demokrasi, humanis, keadilan gender, agama, dan masih banyak lagi. Sangat mudah mencarinya di internet terlebih membacanya saja. 

Pertanyaannya, sudah sanggupkah kita para muridnya melanjutkan dakwah sang guru mulia tersebut? Mulailah dari perkara sepele! Gemingkan dakwah sedikit demi sedikit, tidak akan lama kebiasaan sedikit-sedikit berdakwah akan muncul.

Juang literasi di pesantren

"Jika kamu bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah". Memang keliru apabila memandang remeh wasiat dari Imam Al-Ghazali tersebut, sedang Gus Dur sebaliknya, beliau sukses menjalankan wasiat tersebut bahkan memindahtangankan kepada rakyatnya. Sebab, Gus Dur mengetahui bahwa tidak ada separuh orang Indonesia merupakan anak ulama besar apalagi anak raja.

Tidak heran melihat berbagai tulisan Gus Dur berhamburan, ada yang berupa kolom, esai, dan buku. Kelihaian Gus Dur dalam menulis tersebut tentunya hasil tempa dari ngangsu kaweruh sebelum akhirnya memulai kiprah menjadi jurnalis dan andil di berbagai media cetak.

Ketahuilah, di pesantren, budaya membaca dan tulis-menulis sangat eksis dengan berbagai kisah, terutama dari ulama terdahulu. Tidak adanya media sosial dan toko buku bebas di area pesantren membuat para santri haus akan membaca. 

Dalam keseharian mengaji para santri tak lepas dari buku dan pena yang siap memindahkan dawuh gurunya ke kertas. Membentuk antrean panjang meminjam buku, hingga menerbitkan buku karya sendiri, seperti buku-buku terbitan Pondok Pesantren Lirboyo, Pondok Pesantren Sarang, dan pesantren lainnya.

Sebagian dari banyak nilai-nilai kepesantrenan di atas yang Gus Dur hidupkan dalam kiprahnya menjadi figur ulama dan tokoh demokratis merupakan refleksi batin yang jangan pernah kita lupakan. Paling tidak, sebagai bentuk khidmah kepada Presiden mulia yang nyata berdiri di atas kebenaran.

Sejarahnya, Gus Dur yang potretnya berada di sebelah kanan Wakil Presiden hanya 21 bulan, tak patut apabila mengenakan sarung saat pidato di Istana Negara.

Toh, tak ada salahnya menjadikan "jas Presiden" sebagai formalitas pengabdian atas ilmu, guru, dan negara. Sebab, "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan". [K.H. Abdurrahman Wahid]

Wallahu a'lam bi al-shawab!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun