Peluhnya menetes, mata penuh harapnya itu berbinar, tersenyum kecil seraya menawarkan jasa antarnya pada siapapun yang lewat hingga gelap menjemput.
Di tengah terpaan debu dan gelapnya malam Jakarta, ia kembali turun dari bajajnya dan memesan segelas kopi hitam supaya tak mengantuk, katanya.
“Dulu hidup saya tak sesusah ini” ucapnya tiba-tiba
Dengan pandangan yang merunduk mengisyaratkan pilu, ia melanjutkan ceritanya.
“Saya menjual nasi goreng keliling bareng anak saya sebelum Covid melanda. Selain tak lagi kuat jalan jauh sambil dorong gerobak besar, resep itu milik almarhum anak saya. Jujur saya gak pede kalau harus jualan sendiri, gak ada yang bantu dorong gerobak ataupun nyicip rasanya”
“Andai saya masih muda, saya akan mengandalkan usaha nasi goreng itu sampai tua. Namun sayangnya, lidah lansia sudah tak begitu bagus. Makanan tak enak pun bisa saya lahap dengan seribu komentar memuji masakannya. Tapi beda dengan lidahnya orang lain, kan” imbuhnya.
Masalah pendapatan, dan kekuatan fisik yang kian melemah menjadi alasan Pak Budi memilih menjadi Sopir Bajaj saat ini. Sebenarnya, ia tak bisa bergantung pada pendapatannya sebagai sopir bajaj. Begitu juga sebelumnya, penghasilan yang ia dapat dari berjualan nasi goreng tak semenguntungkan itu.
Mungkin faktor minimnya stasiun pengisian bahan bakar gas yang membuat hidupnya semakin sulit. Diakuinya, bahwa lokasi SPBG yang ada sangat jauh sehingga menyulitkannya.
“Kalau saya meminta mudah-mudahan pemerintah mau memberikan solusi pada orang-orang tua yang terdampak seperti kami. Mungkin dengan cara menambahkan SPBG yang dapat dijangkau”
Lebih dari itu, ia berharap warga sekitar bisa memilih untuk menaiki bajaj yang ada, daripada menggunakan layanan ojek online.
Karena pandemi telah mengubah hidup orang-orang di seluruh dunia, membatasi kehidupan mereka di rumah dan penderitaan tanpa akhir. Virus Covid-19 masuk dalam kehidupan dengan banyak ketidakpastian, kebingungan, dan ketakutan.