Budiyanto duduk mengaso di kursi penumpang bajajnya yang parkir di depan Stasiun Juanda, Kota Jakarta. Panas terik matahari membuat es di gelasnya meleleh dengan cepat, udara Jakarta yang ikut memanas pun berhasil meneteskan bulir keringat di dahi pak Budi. Namun semangatnya tak ikut meleleh bak es di gelasnya ataupun keringat di dahinya itu.
Meski stasiun terlihat penuh, tak ada satupun penumpang yang menghampirinya. Padahal sudah empat jam ia menunggu di pangkalan padat itu.
Di tengah pertumbuhan start up penyedia ojek yang menjadi fase kemacetan jalan yang makin menggila, ada cerita berbeda dari orang-orang yang kurang beruntung.
Mereka yang tidak masuk dalam pusaran kemudahan pesan antar lewat aplikasi di ponsel. Mereka yang memilih bertahan dalam sistem konvensional, bukan karena tidak ingin memanfaatkan kesempatan. Tapi memang keterbatasan.
Sistem yang penuh terobosan dan terorganisir jelas memudahkan. Namun, pernahkan nasib mereka kita pikirkan?
Bila sepi penumpang seperti hari ini, pria 62 tahun itu berkeliling sekitar Monas, Masjid Istiqlal, hingga Pasar. Namun kini, ia tak lagi berkeliling. “Bahan bakar semakin mahal, sudah tak ada lagi pemasukan” ujarnya.
Benar saja, bahan bakar gas yang dari dulu telah dikampanyekan sebagai bahan bakar yang efisien dan ramah lingkungan menjadi hal yang mempermudah bagi para sopir bajaj, termasuk Pak Budi.
“Kalau saya pakai bahan bakar gas nggak sampai Rp 20.000 untuk dipakai seharian, tapi kalau pakai bensin, hanya 2 jam pemakaian sudah habis, mbak” tuturnya.
Sayangnya, fakta bahwa minimnya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) membuat operasional kendaraan roda tiga itu terpaksa menggunakan bahan bakar bensin. Kondisi ini tidak ideal bila mengingat rencana pemkot menghadirkan bajaj sebagai angkutan ramah lingkungan.
Sepekan ini Pak Budi memilih mengetem saja di dekat Stasiun Juanda. Ia menanti penumpang turun. Tapi hingga sore itu belum ada yang membutuhkan jasa bajaj Pak Budi.