Mohon tunggu...
Intan Maurissa
Intan Maurissa Mohon Tunggu... Jurnalis - Guru Pondok Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 2

MASA MUDA MASA YANG BERAPI-API

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kata tentang Kita

27 September 2019   11:59 Diperbarui: 27 September 2019   13:25 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jikalah takdir merupakan tegangan energi statis, dan nyawa sebagai motor penggeraknya, maka kehidupan tak ubahnya kumparan paling tidak stabil yang pernah digerakkan olehnya. Karena tekanan yang dihasilkannya sama sekali tidak memiliki pola. 

Naik turun tak mengenal arti validitas. Kehidupan terlalu congkak untuk menyuguhkan kita waktu untuk bersikap normal dan sederhana. Ia terus menyuntikkan arus positif yang menjenuhkan, maupun arus negatif yang melenakan. 

Menghadiahi ribuan teka-teki, sehingga seringkali manusia jengah dengan apa yang dipilihnya. Terkadang ragu dengan kebaikan bertopeng nista, atau yakin dengan kekejian berjubah sutra.

Namun, uniknya, dalam kehidupan yang runyam ini, Allah selalu sisipkan kesempatan pada kita untuk mencuri ketentraman ditengan kerusuhan, Memercikkan kebahagiaan ditengah kobar api permusuhan, dan menjaga kestabilan ditengah goncang perasaan. 

Namun, Allah Maha  Bergurau atas setiap titipannya. Karena terkadang, kita harus menjelma menjadi peri paling bijak bagi keadaan hati orang lain, dan iblis paling jahat bagi hati kita sendiri. Ya, kita selalu rela untuk tertusuk duri, demi mempersembahkan mawar untuk orang lain. Kita rela untuk runtuh, demi menjaga keutuhan orang lain. Itulah kita dengan segala kekurangan  kelebihan kita .

Pernahkah kita merasa rindu dengan ketenangan? pernahkah kita merasa rindu untuk lepas tangan?  Pernahkah kita merasa rindu untuk tidak memiliki peran? 

Mendambakan keadaan dimana kita difahami, kita dimengerti, kita dimaklumi, tanpa sibuk mengontrol semua hati agar tidak menyilang dalam pemahamannya, dimana kita hanya boleh duduk dan menonton sandiwara manusia lain, untuk sesekali bertepuk tangan atau menangis, untuk komentar atau memilih diam, untuk memuji atau mengritik, menyaksikan segalanya berevolusi tanpa merasa perlu untuk melibatkan diri sendiri dalam kehidupan orang lain, atau orang lain dalam kehidupan pribadi.

Tapi, bukankah itu pasif sekali?

Bahkan 'penonton' tidak berhak berbangga ketika sebuah sandiwara menemukan titik terang alurnya, meskipun 'penonton' memang tidak perlu bersedih ketika sebuah adegan kian menyakiti pemerannya. Maka, apa definisi kehidupan jika pemilik ruh tidak memiliki 'peran'?

Setiap kita tentu pernah berada pada titik terendah alur sandiwara. Ketika kita memutuskan untuk berhenti dan berkelana jauh mencari makna kehidupan yang lebih sederhana, untuk kemudian pulang tergugu dan sadar, bahwa nyatanya, sandiwara itulah inti dari kehidupan kita sebenarnya. 

Karena sejatinya, kita memang lahir karena orang lain, hidup untuk orang lain, dan mati dibantu orang lain.

Lantas, apakah rasa ingin bebas ini rindu? Atau hanya sembilu ego yang semu?

Maka, dengan segala apa yang telah kita punya, Tuhan mungkin telah menitipkan kita, untuk tetap istiqomah dalam berperan. Ya, berperan menjadi diri kita. 

KITA yang seperti ini. Tanpa perlu merasa lelah dan gundah. Salah satu hal yang dapat memoles duka dan lara menjadi sebuah hikmah adalah, ketika kita menyadarinya dengan...

Menulis.

Menulislah, mungkin selama ini kita terlalu asyik membaca. Membaca keadaan, membaca hati dan fikiran, bahkan pada level gilanya, kita berusaha membaca takdir Tuhan. Janganlah kita terlalu sibuk untuk hal-hal yang afektif. 

Lantas mengabaikan hak-hak personal kita. Karena semakin kita sibuk memikirkannya lebih dalam, semakin kita tidak mengerti solusinya. Semakin kita mengharapkannya lebih dalam, semakin kita buta akan realisasinya. 

Semakin kita mencoba merancangnya lebih detail, semakin kita tak mengerti bentuk koordinatnya.

Detik ini, saatnya kita tersenyum pada goresan takdir yang menjadikan kita adalah KITA. Mungkin kita pernah pergi terlalu jauh dan nyaris amnesia jalan pulang. Mungkin kita pernah menjelajah terlalu tinggi dan limbung caranya kembali. Sekarang, saatnya jiwa kita berpulang kedalam dekapan ruh semangnya. 

Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan saat usaha bertepuk sebelah tangan dengan ekspektasi adalah, memeluk realita itu sendiri tanpa pernah menyesalinya hadir. Karena yang kita cinta hanyalah, kedamaian.

Karena tujuan kita menjadi KITA bukanlah untuk dihargai. Kita juga tidak akan mengemis belas kasih dan rasa hormat, Tidak. Bukan agar kehadiran kita dianggap. Melainkan, agar kelak, kepergian kita berarti...

KITA YANG BARU

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun