*****
      Raga sedikit bergegas. Kakinya berlari kecil saat menyebrangi ruas jalan Belitung yang membentang, tepat di depan sekolahnya. Hampir saja dia terlambat. Sesaat setelah Pak Agus -- satpam sekolah -- menutup gerbang, bel sekolah pun berbunyi. Dengan kekuatan penuh, Raga mempercepat laju larinya.
      Tap...tap...tap!  Suara langkah sepatunya terdengar nyaring menyusuri koridor. Terlihat para siswa mulai berebut memasuki kelas masing-masing. Masih ada beberapa anak tangga yang harus Raga lewati sebelum dia berputar melintasi sebuah lorong hingga akhirnya sampai ke kelasnya. Raga tak menghiraukan suasana gaduh di sekitar. Matanya terus terpaku pada ujung sepatu yang dia pakai. Tiga puluh langkah lagi, bisiknya. Layaknya Naruto yang sedang berlari, dia condongkan tubuhnya ke arah depan lalu kedua tangannya dibentangkan lurus ke belakang. Tak berselang lama, akhirnya dia tiba di depan kelas. Sejenak dia berhenti, lalu berusaha mengatur aliran udara yang mendistorsi laju nafasnya. Beruntung dia belum benar-benar terlambat. Kondisi ruang kelas masih terdengar ribut. Sepertinya belum ada guru yang datang. Setelah dirasa jantungnya mulai berdetak dengan normal, Raga berjalan santai ke arah bangkunya.
      "Wahaaiiii jiwa Raga kamiii... akhirnya kau datang juga!" seru salah satu temannya, saat Raga memasuki ruangan kelas. Raga tak merespon. Dia tetap tenang berjalan menuju tempat biasa dia duduk. Suasana kelas semakin riuh.
      "Sstt... Ga! Ragaaa..." bisik salah satu temannya yang duduk tak jauh dari bangkunya.
      Raga menoleh. "Apa?"
      "Katanya ada murid baru ya?"
      Raga mengedikan bahu tak acuh.  "Mene keteheeee!" jawab Raga kocak. Namun benar saja. Tak lama, Bu Eti guru yang mengajar di jam pertama hari itu, datang bersama seorang gadis. Gadis itu bernama Alika. Dia berasal dari Lombok. Badannya kurus, dengan rambut tergerai sebatas bahu. Matanya bulat bernaungkan alis hitam berlarik. Kulitnya agak gelap. Manis. Saking manisnya, nyaris membuat teman laki-laki di kelasnya berubah menjadi zombie hiperaktif. Di tempatnya, Raga tetap geming dalam keriuhan. Hingga akhirnya, gadis itu berjalan mendekat ke arahnya, lalu duduk di bangku kosong sebelahnya.
      "Wooow... akhirnya Raga kami menemukan belahan jiwanya!" teriak salah satu temannya, disambut sorak sorai yang tak begitu jelas. Sejak saat itu, Raga seolah benar menemukan belahan jiwanya.  Di mana ada Raga, di situ pasti ada Alika. Sampai akhirnya Raga tahu kalau Alika suka sekali melukis. Raga juga tahu kalau Alika suka kucing.
      "Kamu harus kenalan sama kucing aku, Ga!" kata Alika satu waktu. "Namanya Kaya Raya!"
      "Hahh?"