A adalah seorang yang lahir dari keluarga tidak mampu serta serba berkekurangan, ia juga tidak terlalu memiliki wajah yang rupawan sehingga ia hidup sebatang kara. Lantas A merasa bahwa takdirnya sungguh tidak baik dan berpikir tentang "Mengapa Tuhan membuat saya miskin dan buruk rupa?".
Lantas apakah memang Tuhan menginginkan ia miskin dan buruk rupa? Sehingga kehidupannya penuh nelangsa?
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka kita akan tahu bahwa apa yang dirasakan oleh A adalah suatu imbas dari apa yang dibentuk oleh manusia kolektif di mana si A itu tinggal.
Misalnya, si A berada pada lingkaran struktur sosial yang percaya bahwa masyarakat itu terbagi atas kekayaannya, yang mana yang kaya akan berada di puncak sedangkan yang miskin yang di bawah. Menjadi miskin adalah kesengsaraan bagi mereka yang berada di posisi struktur sosial tersebut. Maka apakah struktur sosial tersebut diciptakan Tuhan? Tentu tidak. Struktur sosial adalah bentuk produk manusia untuk menjaga agar kelompok tertentu lebih kuat seiring dengan perkembangan pesat dunia.
Begitu juga dengan rasa kesepian yang dirasakan si A. Itu bukan karena Tuhan ingin dia kesepian, namun si A memang hidup di dalam lingkup masyarakat yang percaya hidup tidak lengkap jika tidak menikah, yang mungkin jika kita tarik kembali ini merupakan respon manusia yang ingin spesiesnya tidak punah dengan cara kawin.
Maka, kesimpulan dari hipotesa essai ini adalah bahwasanya Tuhan hanya menciptakan satu takdir, yaitu akal dimiliki oleh spesies manusia dan yang lainnya tidak. Sehingga, apapun yang terjadi sesudahnya merupakan sebuah runtutan peristiwa yang acak dari sebuah imbas akal yang mencintai kestabilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI