Mohon tunggu...
Maura Nursabrina
Maura Nursabrina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa prodi sastra Indonesia, Universitas Indonesia

Mahasiswa Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Bagaimana Jika Kenyataannya Tuhan Hanya Menciptakan Satu Takdir Saja?

14 Februari 2024   01:14 Diperbarui: 14 Februari 2024   01:17 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pernyataan ini hanya sebuah pemikiran liar serta dikusi yang tidak komprehensif, sehingga tulisan ini digolongkan sebagai essai terbuka yang tentu jauh dari kriteria perujukan.

'Disclaimer : bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung agama mana pun serta tidak merujuk pada suatu kelompok kepercayaan tertentu.'

----------------------------------------------------------------


Kita mulai dengan pertanyaan yang muncul pada judul besar essai ini, yaitu "Bagaimana jika kenyataanya Tuhan hanya menciptakan satu takdir?".

Selama ini kita mungkin memercayai bahwa Tuhan menciptakan keseluruhan takdir bagi setiap individu yang ada di dunia ini. Seperti saya, kamu, dia, dan mereka. Anggap saja kita merupakan sebuah individu tunggal yang memiliki kehidupan yang kompleks, kehidupan yang terdiri dari rangkaian peristiwa yang serba rumit dan terperinci di setiap adegannya.

Dalam sebuah rangkaian tersebut, kita akan merasakan berbagai perasaan sebagai bentuk respon dari setiap fenomena yang terjadi pada diri kita, baik yang fisik maupun metafisik. Perasaan yang muncul tersebut berujung pada imbas terlontarnya pernyatan terhadap baik dan buruknya sebuah takdir.

Manusia selalu mengembalikan segala pertanyaannya tentang dunia kepada Tuhan, lantas mengira bahwa ini memang keinginanNya. Namun, jika kita lihat kembali pada apa yang membuat manusia itu merasakan baik buruknya hidup adalah sebuah konstruksi masyarakat kolektif yang menuntun pada suatu tingkat kestabilan tertentu.

Pernyataan itu akan menuntun kita pada pembenaran bahwa manusia merupakan makhluk yang mencintai kestabilan. Seperti baut-baut atau kabel-kabel yang tersusun rapih pada setiap benda elektronik yang kita gunakan. Manusia membutuhkan kestabilan untuk menjaga hierarkinya sebagai makhluk terkuat di bumi serta keberlangsungan spesiesnya.

Sebagai contoh, manusia membuat produk hukum di dalam lingkup kolektifnya yang mana produk ini akan menciptakan stabilitas yang memungkinkan manusia untuk  mencapai kebertahanan spesiesnya. Dari mulai produk hukum sederhana seperti norma sosial sampai dengan undang-undang pasal berlapis.

Hal itu menjalar kepada setiap aspek kehidupan manusia modern ini, seperti misalnya struktur sosial, pembagian gender, status sosial, dan lain sebagainya.

Maka dapat kita sambungkan kepada pertanyaan lanjutan,

"manusia menyukai stabilitas dan menciptakan semua produk penunjangnya dengan cara apa?"

Seperti yang kita tahu bahwasanya manusia purba tidak lebih adalah sebagai simpanse yang sudah berdiri tegak (Jika kita mengikuti teori Darwin). Namun, kemajuan yang diperoleh oleh manusia purba (kita sebut saja sapiens) dibapat setelah ia menemukan batu sebagai alat pertama untuk membatu manusia terjaga dari kepunahan.

Dari mana muncul ide tersebut?

Akal yang dimiliki manusia menjadi jawaban dari produk tersebut.

Maka hipotesa yang hadir dalam essai ini adalah

"akal adalah bantuan tangan Tuhan untuk menciptakan manusia dan keseluruhan takdirnya"

Maka sesungguhnya mungkin Tuhan hanya menciptakan satu takdir tersebut,

yaitu MANUSIA MEMPUNYAI AKAL

Itu adalah bekal bagaimana Tuhan menciptakan segala cerita yang kompleks ini.

------------------------------------------------------------------------

Sebagai bentuk sederhana akan dapat dijelaskan seperti ini :

A adalah seorang yang lahir dari keluarga tidak mampu serta serba berkekurangan, ia juga tidak terlalu memiliki wajah yang rupawan sehingga ia hidup sebatang kara. Lantas A merasa bahwa takdirnya sungguh tidak baik dan berpikir tentang "Mengapa Tuhan membuat saya miskin dan buruk rupa?".

Lantas apakah memang Tuhan menginginkan ia miskin dan buruk rupa? Sehingga kehidupannya penuh nelangsa?

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka kita akan tahu bahwa apa yang dirasakan oleh A adalah suatu imbas dari apa yang dibentuk oleh manusia kolektif di mana si A itu tinggal.

Misalnya, si A berada pada lingkaran struktur sosial yang percaya bahwa masyarakat itu terbagi atas kekayaannya, yang mana yang kaya akan berada di puncak sedangkan yang miskin yang di bawah. Menjadi miskin adalah kesengsaraan bagi mereka yang berada di posisi struktur sosial tersebut. Maka apakah struktur sosial tersebut diciptakan Tuhan? Tentu tidak. Struktur sosial adalah bentuk produk manusia untuk menjaga agar kelompok tertentu lebih kuat seiring dengan perkembangan pesat dunia.

Begitu juga dengan rasa kesepian yang dirasakan si A. Itu bukan karena Tuhan ingin dia kesepian, namun si A memang hidup di dalam lingkup masyarakat yang percaya hidup tidak lengkap jika tidak menikah, yang mungkin jika kita tarik kembali ini merupakan respon manusia yang ingin spesiesnya tidak punah dengan cara kawin.

Maka, kesimpulan dari hipotesa essai ini adalah bahwasanya Tuhan hanya menciptakan satu takdir, yaitu akal dimiliki oleh spesies manusia dan yang lainnya tidak. Sehingga, apapun yang terjadi sesudahnya merupakan sebuah runtutan peristiwa yang acak dari sebuah imbas akal yang mencintai kestabilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun