Mohon tunggu...
Fredy Maunareng
Fredy Maunareng Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bahasa

Menuduh diri sebagai "Pemerhati Bahasa" dari Nusa Laung, Pulau Wetar-Maluku Barat Daya Korespondensi melalui Email : fredy.maunareng@gmail.com | WA : +6281237994030 |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mogok Kerja; Prinsip Dasar dan Konsekuensi Hukum

28 Desember 2021   02:45 Diperbarui: 28 Desember 2021   02:45 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Beberapa hari lalu, timeline facebook saya dipenuhi dengan berita Federasi Serikat Pekerja Pertamina ancam mogok kerja. Di situ sudah ada ribuan komentar dan tanggapan. Ketika membuka kolom komentar, lebih banyak yang kontra kepada buruh  daripada yang pro. 

Komentar netizen yang kontra bermacam-ragam. Ada yang mengatakan bahwa karyawan pertamina tidak bersyukur. Ada pula yang menyarankan pecat atau ganti saja karyawan yang ikut mogok. Dengan nada sejenis ada juga yang menyatakan bahwa masih banyak pengangguran yang butuh kerja. 

Karena begitu banyak yang ikut berkomentar -- menurut saya walau mereka tidak paham dengan hak pekerja/buruh -- saya terpaksa ikut juga berkomentar pada salah satu laman yang saya baca. Saya mengkategorisasikan komentator/netizen yang kontra dengan sikap buruh pertamina menjadi empat, yakni (1) komentar netizen yang mewakili pihak profesional yang punya pengalaman manajerial suatu badan usaha, (2) komentar dari loyalis pendukung pemerintah (beranggapan pemerintah maha benar sehingga yang kontra dianggap salah), (3) komentar netizen yang mewakili pekerja yang apatis (tahunya hanya kerja tanpa tahu hak-hak dasar sebagai pekerja), dan (4) komentar netizen pencari kerja (belum punya pengalaman kerja atau belum pernah berserikat). Kategorisasi ini hanyalah bertujuan untuk mendikotomikan pekerja/buruh yang paham terhadap haknya versus pandangan masyarakat yang gagal paham terhadap hak pekerja/buruh. Mereka mungkin tidak paham sejarah panjang munculnya klausul mogok kerja ke dalam regulasi nasional. 

Pada kesempatan ini, saya ingin menguraikan sedikit perihal substansial mengenai mogok kerja. Di sini saya menghindar dari pertimbangan filosofis, sosiologis dan historis mogok kerja buruh untuk langsung masuk pada ketentuan regulasi nasional. Setidaknya lebih memperpendek uraian tanpa menghilangkan substansi. Saya juga tidak ingin masuk pada perihal boleh tidaknya Federasi Serikat Pekerja Pertamina melakukan mogok kerja karena ranah ini merupakan ranah internal yang pada pokoknya mengharuskan kita untuk mengetahui dengan benar duduk perkaranya sebelum berkomentar memperlihatkan sudut pandang "kebencian" kita. 

Pengertian

Dalam dunia kerja, ada yang disebut dengan majikan dan buruh (konsep masa penjajahan) atau pengusaha dan pekerja (konsep masa kemerdekaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majikan adalah orang atau organisasi yang menyediakan pekerjaan untuk orang lain berdasarkan ikatan perjanjian. Definisi pengusaha menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) adalah (a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; (b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa Majikan atau Pengusaha adalah pihak yang memberi atau yang mengelola pekerjaan yang diberikan kepada orang lain. Jadi, pemilik usaha atau pengelola usaha dapat disebut sebagai pengusaha dalam hubungan industrial. 

Di samping itu,  menurut UUK, Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3, UUK). Jadi, setiap orang yang dipekerjakan atau penerima upah adalah buruh, apapun jabatannya. Sekali lagi, selama Anda adalah penerima upah berdasarkan suatu ikatan kerja dengan pemberi kerja maka Anda adalah buruh. Dari definisi ini muncullah irisan tak terbatas antara pengusaha dan pekerja yang terkadang membuka ruang konflik kepentingan (conflict of interest). 

Dalam praktik industrial, pekerja yang dipercayakan mengelola usaha pengusaha dapat disebut sebagai pengusaha sepanjang dimaknai sebagai perwakilan dalam mengambil keputusan. Walaupun pada hakikatnya juga adalah buruh. Pada irisan ini membuka ruang konflik kepentingan untuk mengikuti tuntutan pekerja/buruh atau harus tetap mengikuti kemauan pengusaha walaupun sadar bahwa yang diperjuangkan pekerja/buruh benar adanya. 

Baiklah, langsung saja pada mogok kerja. Dalam UUK, yang dimaksud dengan mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan (Pasal 1 Angka 23, UUK).  Eksplisit disebutkan bahwa yang melakukan mogok kerja adalah pekerja/buruh, bukan pengusaha juga bukan mahasiswa, apalagi netizen. Karena itu, mogok kerja adalah tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh secara sadar dan terencana. 

Setelah adanya ratifikasi terhadap sekurangnya 4 (empat) konvensi ILO, maka mogok kerja menjadi hak dasar yang ditandai dengan penghapusan terhadap Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); Ketentuan mogok kerja sebagai hak dasar diatur pada Pasal 137 UUK

"Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan."

Hak dasar merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir. Karena itu, mogok kerja tidak dapat dilepaspisahkan dengan pekerja. Kendati demikian, hak dasar ini dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.  Yang dimaksud bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dapat dijelaskan pada uraian-uraian selanjutnya. 

Sah Tidaknya suatu Mogok Kerja

Beberapa kegiatan mogok kerja terkadang berujung dengan pemecatan terhadap pekerja/buruh yang ikut melakukan mogok kerja. Bahkan ada pula yang berujung ke penjara. Biasanya adalah nereka yang memobilisasi mogok kerja seperti pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau yang mewakili pekerja/buruh. Hal semacam itu terjadi karena mogok kerja dilakukan secara tidak sah. Sahnya suatu tindakan mogok kerja dapat dilihat dari penyebabnya juga prosesnya. 

Berdasarkan Penyebab

Dilihat dari penyebabnya, mogok kerja dapat terjadi sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137, UUK). Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena (a) pengusaha tidak mau melakukan perundingan, atau (b) perundingan mengalami jalan buntu yang dibuktikan dengan risalah pertemuan. 

Secara implisit perundingan dimaksud adalah perundingan tingkat pertama yang disebut dengan perundingan bipartit. Dalam UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dirumuskan yang dimaksud dengan Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 Angka 10, PPHI). Karena unsur akibat gagalnya perundingan harus terpenuhi agar suatu tindakan mogok kerja dinyatakan sah, maka semua pihak wajib mengikuti ketentuan Pasal 3 Permenaker Nomor 31 tahun 2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Bipartit. Hal mana diwajibkan adalah telah meminta secara tertulis minimal 2 (dua) kali berturut-turut dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja untuk dilakukan perundingan (cf. Pasal 4, Kepmenaker 232 tahun 2003), memiliki itikad baik, bersikap santun dan tidak anarkis, dan menaati tatib yang disepakati. 

Berdasarkan Proses

Dilihat dari prosesnya, maka suatu mogok kerja yang sah harus memenuhi ketentuan Pasal 140 UUK. Pada pokoknya, gagalnya perundingan diikuti dengan pemberitahuan secara tertulis, sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan. Pemberitahuan dimaksud disampaikan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat (1) waktu (hari, tanggal, jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; (2) tempat pelaksanaan mogok kerja yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain yang akan melaksanakan pekerjaan; (c) alasan dan sebab-sebab mogok kerja; dan (d) tanda tangan penanggung jawab pelaksana mogok kerja, sekurang-kurangnya ketua dan sekretaris. 

Selain itu, terdapat ketentuan yang membatasi pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang  jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia. Amanat Pasal 139 UUK adalah mogok kerja pada perusahaan sebagaimana dimaksud harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Pada bagian penjelasan Pasal 139 UUK dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut. Sementara yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. Dengan kata lain, mogok kerja jika dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas maka dianggap mogok kerja tidak sah (cf. Pasal 5 Kepmenaker No 232 tahun 2003). 

Karena merupakan proses, maka setiap proses pelaksanaan harus tetap sesuai amanat Pasal 137 UUK, yakni "... dilakukan secara sah, tertib, dan damai ...". Sah dimaksud ialah akibat gagalnya perundingan sehingga telah diberitahukan secara tertulis sesuai ketentuan Pasal 140 UUK. Meskipun sudah sah, pelaksanaan mogok kerja juga harus tertib. Tertib dimaksud adalah dilaksanakan secara terorganisir sehingga tidak mengganggu kepentingan publik. Selanjutnya adalah damai, yakni pelaksanaan mogok kerja tidak harus dan tidak boleh dengan cara anarkis (bertentangan dengan hukum). 

Hak Pekerja/Buruh saat Melakukan Mogok Kerja

Setiap pekerja/buruh yang merasa dirugikan oleh pengusaha boleh memenuhi atau tidak memenuhi ajakan mogok kerja. Selanjutnya, pelaksanaan mogok kerja yang sesuai ketentuan Pasal 137 dan 140 UUK, secara formal semua hak pekerja/buruh yang melaksanakan mogok kerja terlindungi. Karena itu, siapapun tidak boleh menghalang-halangi pekerja/buruh yang melaksanakan mogok kerja secara sah, tertib dan damai; termasuk pula tindakan penangkapan dan/atau penahanan. 

Pada penjelasan Pasal 143 UUK eksplisit menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menghalang-halangi  dalam ketentuan ini antara lain dengan cara (a) menjatuhkan hukuman; (b) mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau (c) melakukan mutasi yang merugikan. 

Dengan perlindungan yang ada maka pada saat melaksanakan mogok kerja yang sah, sesuai Pasal 144 UUK, pengusaha dilarang (a) mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan  pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau (b) memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk  apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat  pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. 

Barang siapa yang pada pokoknya melakukan intimidasi terhadap pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah diancam pidana kurungan minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda paling sedikit  100jt dan paling banyak 400jt rupiah (Pasal 185 UU Cipta Kerja). Jika yang dihalang-halangi atau diintimidasi adalah anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang menjalankan haknya maka dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya adalah minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun pidana penjara dan/atau denda minimal 100jt rupiah atau maksimal 500jt rupiah (Pasal 43 UU No 21 tahun 2000). 

Lalu bagaimana dengan hak atas upah selama melaksanakan mogok kerja? Pasal 145 UUK dengan tegas menyebutkan bahwa "Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah." Tidak hanya itu, pembayaran upah tidak menghilangkan ketentuan pidana bagi pengusaha. Dengan menggunakan teori hukum penafsiran terbalik (a contrario) jika tuntutan pekerja/buruh tidak bersifat normatif maka pengusaha tidak wajib melakukan pembayaran upah pekerja selama pekerja/buruh melaksanakan mogok kerja. 

Lamanya Waktu Mogok Kerja

Ketentuan perundang-undangan tidak membatasi durasi pelaksanaan mogok kerja. Bahkan mogok kerja dapat berlangsung lebih lama. Implisit dalam Pasal 141 ayat (5) bahwa dalam hal perundingan di tingkat tripartit (antara pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah) tidak menghasilkan kesepakatan, maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Konsekuensi Mogok Kerja Tidak Sah 

Merujuk pada Pasal 3 Kepmenaker No. 232 tahun 2003, mogok kerja tidak sah apabila dilakukan: (a) bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau (b) tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan;  dan/atau (c) dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau (d) isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  Termasuk pula mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dianggap mogok kerja tidak sah. 

Setiap mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikategorikan sebagai mangkir. Pekerja/buruh yang mangkir dilakukan panggilan oleh pengusaha sebanyak 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari pemanggilan secara patut dan tertulis. Kalaupun dalam jangka waktu 7 (hari) pekerja/buruh dimaksud tidak memenuhi panggilan maka dianggap mengundurkan diri. 

Tidak hanya itu, setiap pekerja/buruh yang mogok kerja tidak sah maka dengan menggunakan teori hukum penafsiran terbalik dapat ditafsirkan bahwa aparat keamanan dapat melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh. 

Penutup

Setiap penerima upah yang disebut sebagai pekerja/buruh harus paham bahwa mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Siapapun dilarang untuk menghalang-halangi atau mengintimidasi pekerja/buruh untuk melaksanakan mogok kerja. Kendati demikian, mogok kerja dilakukan harus secara sah, tertib dan damai akibat gagalnya perundingan. 

Referensi:

1. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

3. UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

4. UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

5. Permenaker No. 31 tahun 2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Industrial Melalui Bipartit

6. Kepmenaker No. 232 tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah

7. KBBI dalam jaringan.

***

Penulis adalah salah satu orang yang terlanjur  ikut menceburkan diri ke dalam kolam relasi industrial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun