Mohon tunggu...
Fredy Maunareng
Fredy Maunareng Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bahasa

Menuduh diri sebagai "Pemerhati Bahasa" dari Nusa Laung, Pulau Wetar-Maluku Barat Daya Korespondensi melalui Email : fredy.maunareng@gmail.com | WA : +6281237994030 |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Kabar Pendidikan Kita Hari Ini?

2 Mei 2020   11:23 Diperbarui: 2 Mei 2020   20:06 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Hardiknas | dok. Kemendikbud

Setiap tanggal 2 Mei, hari ini, di Indonesia kita peringati sebagai hari pendidikan nasional. Hari di mana semua kita perlu merefleksi jasa para pahlawan pendidikan yang telah berjuang menetapkan fondasi pendidikan nasional.

Biasanya, pada momentum seperti ini ada satu nama di antara nama-nama tokoh pendidikan lainnya yang begitu kental untuk diingat. Siapa lagi kalau bukan Ki Hajar Dewantara. Tokoh nasional ini bergerak dalam bidang pendidikan kelompok pribumi kala itu dengan semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Semboyan yang diungkapkan dalam bahasa Jawa dengan pengertian sederhananya "Jika di depan jadi panutan, di tengah jadi penyemangat dan di belakang ikut memberi dorongan".

Sesungguhnya, semboyan itu merupakan panduan bagi mereka yang bergeming dengan dunia pendidikan termasuk kelompok terdidik. Lebih dari itu, semboyan itu (harusnya) menjadi pijakan untuk pribadi masing-masing, tidak hanya guru.

Kita pun telah menikmati jerih juang mereka. Setidaknya, Indonesia telah memiliki 5.000-an professor atau guru besar (sumber: Pidato Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi, Kemenristek Dikti pada 30 Juli 2019). Sedikitnya sudah ada 4.498  perguruan tinggi. Belum lagi satuan-satuan pendidikan dasar dan menengah. Tapi apakah semua itu sudah cukup baik untuk dibanggakan? Tentu saja tidak.

Kita terus berusaha untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional kita. Pergantian-pergantian kurikulum pendidikan semuanya bertujuan ke arah perbaikan. Namun memang patut diakui bahwa Pandemi Covid-19 saat ini secara revolusioner telah menciptakan disrupsi sistem pembelajaran konvensional. 

Guru dan dosen tidak lagi berada di ruang kelas bersama dengan rombongan belajar. Bisa mengoreksi langsung ketika ada kesalahan, bisa menegur langsung jika ada ketidakdisiplinan. Akhirnya orientasi pendidikan yang masih bergerak dengan penekanan terhadap aspek kognitif berjalan seiringan dengan adanya pandemi Covid-19.

Di sisi lain, disparitas kondisi pembelajaran pun tak dapat kita hindari. Pemanfaatan teknologi informasi menjadi solusi alternatif. Namun, sejumlah tantangan mulai dihadapi baik oleh guru dan dosen maupun peserta belajar. Sangat menarik membaca tulisan kompasianer Ibu Yulia Yusuf. Ia menarasikan tantangan (sebagai seorang guru) yang dihadapinya. Saya lalu berkomentar pada tulisan itu, "Ending tulisan membuat saya tertawa dengan haru; luar biasa perjuangan seorang guru. Guru dituntut melek IT-multi talent".

Guru dan dosen sebagai tenaga pendidik dituntut untuk tidak sekedar menguasai ilmunya, metode pembelajaran, tetapi juga melek terhadap penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Dan tetu saja adalah public speaking.

Seiring dengan itu, metode-metode penugasan hendaknya dibatasi dengan selingan materi-materi virtual yang menarik. Ini merupakan sebuah tantangan zaman yang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dijadikan tema perayaan Hardiknas 2020, "Belajar dari Covid-19".

Pada akhirnya konsep merdeka belajar di era digitalisasi yang dicanangkan Mendikbud Nadiem Makarim sangat dinanti cetak birunya (blue print) untuk diimplementasikan.

Sejak akhir Maret lalu, pemerintah telah menginstruksikan agar aktivitas belajar dilakukan hanya di rumah. Tak pelak, semua sajian materi pembelajaran dilaksanakan secara online/dalam jaringan (daring).

Melihat fenomena pendidikan saat ini di tengah balutan pandemi, ingin saya bagikan refleksi kondisi pendidikan kami di perbatasan.

Kondisi Pendidikan Kami

Memasuki bulan Mei-Juni adalah waktu yang akan dipakai untuk dilakukan pendaftaran calon siswa-mahasiswa baru. Saya teringat dengan sistem zonasi.

Belum terlalu lama, kebijakan sistem zonasi pendidikan diterapkan. Oleh pemerintah, sistem zonasi ini bertujuan meningkatkan pemerataan mutu pendidikan. Implementasinya dilakukan dengan perbandingan jarak dan juara (baca: prestasi). Jarak antara sekolah dengan rumah, dan juara untuk bebas memilih sekolah yang diinginkan.

Saya adalah salah satu yang tidak sepenuhnya mendukung, atau dengan kata lain memiliki pandangan yang berbeda dengan kebijakan ini. Maklum, karena saya tak punya kapasitas apapun untuk menilai tetapi karena demokrasilah yang membuat saya merasa perlu berpendapat dalam ruang seperti ini.

Pemahaman saya, kebijakan ini tidak memberikan kemerdekaan bagi rombongan belajar. Hal yang semestinya dilakukan pertama ialah pemerataan kualitas tenaga kependidikan yang selanjutnya diikuti dengan infrastruktur pendukung.

Ilustrasi belajar di rumah | dokpri
Ilustrasi belajar di rumah | dokpri

Disparitas terjadi antara pendidikan di perkotaan dan pendidikan di pedesaan. Di kota, yang perlu diperbaiki adalah pemerataan mutu sementara di desa yang perlu diperbaiki adalah pemerataan infra dan suprastruktur.

Bahwa pemerataan infrastruktur merupakan dampak ikutan dari pemerataan mutu dengan pola zonasi adalah kenisbian. Bisa saja pemerataan infra dan suprastruktur pendidikanlah yang memicu pemerataan mutu.

Di daerah kami, tidak banyak yang keluar bersekolah di luar daerah. Hal ini dilakukan mengikuti sistem zonasi kendati tidak dinyatakan secara terbuka. Apalagi pada kondisi bangsa seperti saat ini, semua akan tetap berada di daerah masing-masing.

Sayang sekali, masalah klasik seperti keterbatasan tenaga pendidik, prasarana pendukung, termasuk sumber belajar masih sangat jauh dari kata ideal. Kadang seorang guru harus mengajarkan beberapa mata pelajaran sekaligus. Fakta seperti ini tentu bukanlah sesuatu yang ideal untuk dipertahankan.

Pemerintah bermaksud memperbaiki kekosongan semacam itu dengan membuka formasi kebutuhan pada seleksi (calon) Pegawai Negeri Sipil, namun sayang passing grade yang ditetapkan sangatlah tinggi sehingga dari ribuan anak daerah yang mendaftar tidak begitu banyak yang berhasil. Entah ketidaklulusan karena passing grade atau pemanfaatan perangkat tes yang mungkin baru pertama dialami. Entahlah.

Dengan kekosongan semacam itu, mestinya ada terobosan lain untuk segera dilakukan perbaikan. Pemerintah perlu menaruh perhatian khusus dan serius terhadap tenaga honorer. Mereka yang selama ini mengabdi dengan masa depan yang tiada pasti. Honor yang tak menentu tak menyurut mereka untuk tetap berbakti. Semua dilakukan demi masa depan generasi bangsa.

Memang beginilah yang dihadapi ketika membangun konsep mendekatkan pendidikan dengan masyarakat, bukan sebaliknya mendekatkan masyarakat dengan pendidikan. Ketika satuan pendidikan didekatkan dengan masyarakat tanpa infrastruktur pendukung, yang terjadi adalah diparitas sepanjang masa.

***

Di tengah pandemi Covid-19 saat ini, atas instruksi dari pemerintah daerah maka sekolah-sekolah telah diliburkan. Murid disuruh belajar di rumah selama masa pandemi ini. Sayangnya, tidak seperti di perkotaan yang pembelajarannya disajikan secara daring.

Pemerintah juga telah berupaya agar kendala semacam itu tidak terjadi. Penyelenggaraan siaran belajar dari rumah melalui saluran TVRI pun dilakukan. Sayangnya, beberapa daerah tidak mendapatkan saluran TVRI sehingga terobosan itu tak banyak membantu rombongan belajar di pedesaan.

Di sini, murid benar-benar belajar secara mandiri. Orang tua, walaupun terbatas pengetahuan, mereka dituntut menjadi pengganti google bagi murid yang berada di pedalaman. Guru dan rombongan belajar sama-sama sebagai "fakir kuota" (meminjam istilah yang ditulis Kompas Edisi 29 April). Belum ada jaringan internet yang support pelaksanaan pembelajaran melalui daring. Penugasan adalah metode yang paling ideal dipakai.

Lalu, bagaimana dengan prasarana penunjang kelangsungan pelaksanaan belajar dan mengajar dari rumah. Pada bulan lalu, Ruang Guru dapat diakses secara gratis. Tentunya atas support Provider Telkomsel dan Indosat untuk mendapatkan kuota gratis selama 30 hari. Itu bulan lalu saat CEO Ruang Guru, Adamas Belva Syah Devara, masih berada dalam lingkaran istana.

Pangkas Birokrasi Dana Bantuan Operasional Sekolah

Dalam kondisi saat ini, butuh banyak terobosan untuk kelancaran proses belajar-mengajar yang dilangsungkan dari rumah. Salah satunya dengan Bantuan Operaional Sekolah (BOS).

Di luar sana, sudah ada usulan untuk pemangkasan birokrasi Dana Bantuan Operasional Sekolah (Kompas, Rabu 29 April 2020, hal. 8). Tentu ini merupakan harapan untuk mempercepat dukungan pelaksanaan operasional sekolah di tengah Pandemi Covid-19. Paling tidak, interaksi antara guru dan rombongan belajar tetap berlangsung di tengah Pandemi yang sedang dihadapi bangsa ini.

Bagaimana dengan kami di daerah terpencil? Jangan dulu kita bicara birokrasi Dana BOS. Model Dana BOS saja kita tak tahu. Antara ada dan tiada. Semoga benar-benar ada.

Tapi, jangankan Dana BOS, Kartu Indonesia Pintar yang beberapa tahun lalu dianggap Kartu Sakti Presiden Jokowi pun nyaris tak kami lihat. Kemana semua itu? Siapa yang harus terlebih dulu berinisiatif menghadirkannya? Tidak pada tempat untuk saling menyalahkan. Kita semua perlu bahu-membahu untuk memperbaiki kondisi pendidikan kita. Bahwa 20% budget APBN sesuai amanat konstitusi harus dirasakan oleh semua satuan pendidikan di setiap pelosok tanah air.

Perbaikan Pendidikan Masa Mendatang

Pendidikan kita saat ini masih berorientasi pada aspek kognitif. Padahal, konsep pendidikan kita tercakup pula aspek afektif dan psikomotorik. Pendidikan yang berbasiskan karakterlah yang diharapkan saat ini.

Disadari ataupun tidak, era digital telah mengubah segalanya. Pembelajaran konvensional yang mungkin mendapati rombongan belajar yang diam dan pemalu, tetapi ketika dilangsungkan melalui daring malah terjadi sebaliknya. Contoh lain, seorang pelajar dalam komunikasi langsung sangatlah ramah bahkan diam dan hanya memberi anggukan kepala pertanda setuju dengan pembicaraan. Namun ketika ia berada di media sosial, kata-kata lepas dari kontrol etika. Inilah yang dirasakan agar pendidikan kita tidak sekedar menekankan pada aspek kognitif semata.

Lalu, apa yang harus tersedia? Merdeka belajar yang dicanangkan Mas Menteri Nadiem haruslah menenkankan pada pendidikan multikulutural berbasis karakter. Konsep belajar di mana saja, kapan saja dengan cara yang sederhana dan menarik bisa dilakukan. Otonomi sekolah pun harus diberikan. Birokrasi dalam dunia pendidikan harus lebih ramping namun tetap kaya fungsi. Di samping itu tetap memperhatikan konkruen antara daerah dan pusat. Lebih daripada itu, segera lakukan pemerataan infra dan suprastruktur pendidikan.

Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Semoga.

Selamat Hardiknas!

Salam dari Perbatasan.

Lurang-Wetar, 2 Mei 2020

~FFM~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun