Sejak akhir Maret lalu, pemerintah telah menginstruksikan agar aktivitas belajar dilakukan hanya di rumah. Tak pelak, semua sajian materi pembelajaran dilaksanakan secara online/dalam jaringan (daring).
Melihat fenomena pendidikan saat ini di tengah balutan pandemi, ingin saya bagikan refleksi kondisi pendidikan kami di perbatasan.
Kondisi Pendidikan Kami
Memasuki bulan Mei-Juni adalah waktu yang akan dipakai untuk dilakukan pendaftaran calon siswa-mahasiswa baru. Saya teringat dengan sistem zonasi.
Belum terlalu lama, kebijakan sistem zonasi pendidikan diterapkan. Oleh pemerintah, sistem zonasi ini bertujuan meningkatkan pemerataan mutu pendidikan. Implementasinya dilakukan dengan perbandingan jarak dan juara (baca: prestasi). Jarak antara sekolah dengan rumah, dan juara untuk bebas memilih sekolah yang diinginkan.
Saya adalah salah satu yang tidak sepenuhnya mendukung, atau dengan kata lain memiliki pandangan yang berbeda dengan kebijakan ini. Maklum, karena saya tak punya kapasitas apapun untuk menilai tetapi karena demokrasilah yang membuat saya merasa perlu berpendapat dalam ruang seperti ini.
Pemahaman saya, kebijakan ini tidak memberikan kemerdekaan bagi rombongan belajar. Hal yang semestinya dilakukan pertama ialah pemerataan kualitas tenaga kependidikan yang selanjutnya diikuti dengan infrastruktur pendukung.
Disparitas terjadi antara pendidikan di perkotaan dan pendidikan di pedesaan. Di kota, yang perlu diperbaiki adalah pemerataan mutu sementara di desa yang perlu diperbaiki adalah pemerataan infra dan suprastruktur.
Bahwa pemerataan infrastruktur merupakan dampak ikutan dari pemerataan mutu dengan pola zonasi adalah kenisbian. Bisa saja pemerataan infra dan suprastruktur pendidikanlah yang memicu pemerataan mutu.
Di daerah kami, tidak banyak yang keluar bersekolah di luar daerah. Hal ini dilakukan mengikuti sistem zonasi kendati tidak dinyatakan secara terbuka. Apalagi pada kondisi bangsa seperti saat ini, semua akan tetap berada di daerah masing-masing.