Mohon tunggu...
Fredy Maunareng
Fredy Maunareng Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bahasa

Menuduh diri sebagai "Pemerhati Bahasa" dari Nusa Laung, Pulau Wetar-Maluku Barat Daya Korespondensi melalui Email : fredy.maunareng@gmail.com | WA : +6281237994030 |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fatu Loi, Legenda Tersembunyi di Wetar (Bagian I)

25 Januari 2019   12:53 Diperbarui: 25 Januari 2019   13:28 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan Fatu Loi (dokumen pribadi)

Indonesia memiliki 17.504 pulau[1] dengan 1.340 suku bangsa[2] dan 652 bahasa[3]. Angka-angka yang menggambarkan begitu kaya akan bangsa ini dengan harmoni kehidupan di dalamnya. Mitos (mite), legenda (legend), cerita rakyat (telling story) adalah eviden yang lumrah ditemukan dalam "Negara Bangsa" ini. Sayangnya, kekayaan itu belum semuanya tereksplor.

 Pada kesempatan ini, penulis perkenalkan sebuah legenda dari Pulau Wetar-Maluku Barat Daya dengan judul Fatu Loi. Menilik Fatu Loi di Wetar, kita akan diarahkan pada beberapa lokasi. Sepengetahuan penulis, ada dua lokasi di Wetar yang memiliki penyebutan nama legenda yang mirip, yaitu satunya berlokasi di Desa Arwala, Kecamatan Wetar Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya, dan lainnya berlokasi di Lirang, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten Maluku Barat Daya. Lokasi yang pertama dinamakan Fatu Loi, yang kedua dinamakan Hatu Loi. Kedua kata itu, /fatu/ dan /hatu/ secara leksikal mengandung arti yang sama, yakni 'batu', dan /loi/ yang berarti 'perahu'.

Perbedaan fonem /f/ dan /h/ pada awal kata semata-mata perbedaan dialek. Yang pertama penamaan dengan menggunakan dialek Tugung untuk kata /fatu/, dan yang kedua penamaan dengan bahasa Iliung untuk kata /hatu/. Ada tendensi korespondensi fonemis (keteraturan bunyi) /f/ pada dialek Tungung berkorespondensi dengan /h/ pada bahasa Iliung. Misalnya, /fulan/ = /hulan/ 'bulan', /fafi/ = /hafi/ 'babi'. Fakta ini juga memperkuat pengelompokan bahasa menurut Esser yang dimasukan dalam kelompok bahasa Ambon-Timor.

Kembali ke Fatu Loi; secara harafiah diartikan sebagai 'perahu batu', secara konseptual dimaknai sebagai 'perahu yang telah membatu'. Jadi, Fatu Loi dan Hatu Loi adalah perahu yang telah membatu. Namun konteks lokasi yang berbeda, tentu historinya berbeda pula.

Beginilah legenda Fatu Loi yang penulis sasar dari mereka sebagai pemilik dan pewaris sejarah di Desa Arwala, Kecamatan Wetar Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya.

 Alkisah dahulu kala hidup seorang Kapitan[4] bernama Kai Amang. Ia tinggal bersama pasukannya (bala) di wilayah Fafi Mate (kawasan itu berada di Desa Arwala). Kekesatriannya cukup tersohor kala itu. Sayangnya, ia belum berumah tangga karena aktivitasnya hanya berperang bila ada yang meminta bantuannya. Kehidupan kala itu mengisahkan hewan dapat berkomunikasi layaknya manusia bahkan hewan dapat berkomunikasi dengan manusia.

Dikisahkan suatu hari ada salah satu bawahan Kai Amang pergi mengunjungi bubu[5] yang dipasang mereka. Hari pertama diperiksa, bubu masih kosong. Hari kedua pun demikian. Pada hari ketiga, hanya ada seekor ikan jenis tir anang[6]. Pada saat ia akan menusuk ikan yang terperangkap dalam bubu itu, terlihat ikan itu ingin menyampaikan sesuatu.

"Jangan bunuh aku", seru tir anang dari dalam bubu.

"Aku membawa pesan dari wanita di seberang Wetar" lanjut ikan itu sambil memuntahkan sehelai rambut yang cukup panjang.

Rambut itu tidak lain ialah rambut seorang wanita.

"Sampaikan kepada Kai Amang untuk menjemput wanita pemilik rambut ini di seberang agar dijadikan sebagai isterinya" jelas ikan itu kepada salah satu bala Kai Amang.

Saat itu juga bala Kai Amang mengambil rambut yang menjadi pesan itu dan melepaskan kembali tir anang yang sengaja terperangkap dalam bubu Kai Amang.

Kembalilah bala Kai Amang itu ke kediaman mereka untuk menemui Kai Amang. Ia menyampaikan pesan sehelai rambut dan perkataan tir anang kepada Kai Amang. Kai Amang tampak bersenang hati. Kai Amang mulai berpikir mencari jalan pergi ke seberang sesuai pesan yang ia terima.

Suatu hari, Kai Amang mendatangi saudara perempuannya, Pi Pui. Ia meminta pohon kenari yang berukuran sangat besar dan juga lurus. Hanya ada satu pohon yang sesuai keinginan Kai Amang. Pohon itu adalah jenis pohon kenari yang dijadikan Pi Pui sebagai tempat berteduh kala panas. Ukuran pohon yang sangat besar dan lebatnya daun-daun pohon kenari itu, membuat Pi Pui menjadikan pohon kenari itu sebagai rumah kedua. Pohon itulah yang menjadi target Kai Amang.

Walaupun Kai Amang sebagai seorang Kesatria, ia sangat menghargai saudara perempuannya. Pada kali pertama, permintaan Kai Amang ditolak. Permintaan Kai Amang pada kali kedua pun demikian. Ia tak putus asa. Ia mencoba mendatangi saudara perempuannya kembali. Pada kali ketiga kedatangan Kai Amang meminta pohon kenari yang dimaksud, akhirnya dengan berat hati, Pi Pui menyetujui.

"Pohon ini sudah menjadi rumahku. Karena kau telah berkali-kali datang meminta rumahku agar dijadikan sebagai perahumu, maka ada persyaratan yang harus kau penuhi" izin Pi Pui kepada Kai Amang dengan syarat.

Sebagai seorang adik, Kai Amang tampak gembira.

"Persyaratannya apa kakak", sambut Kai Amang dengan semangat.

"Kau harus menyanggupi mengumpulkan kembali semua ranting, daun, dan ampas dari kayu kenari ini ke tunggulnya setelah pembuatan perahu. Jangan ada yang tercecer di antara mereka." Pi Pui menyarati Kai Amang.

(Bersambung ke Bagian II)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun