Mohon tunggu...
Fredy Maunareng
Fredy Maunareng Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bahasa

Menuduh diri sebagai "Pemerhati Bahasa" dari Nusa Laung, Pulau Wetar-Maluku Barat Daya Korespondensi melalui Email : fredy.maunareng@gmail.com | WA : +6281237994030 |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

TKA, Serikat Pekerja, Perpres TKA, dan Capres 2019

5 Mei 2018   12:30 Diperbarui: 5 Mei 2018   13:06 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari pihak ketiga. Sumber: nusantara.rmol.co

Hari buruh secara internasional diperingati setiap tanggal 1 Mei. Peringatan hari buruh pun selalu diwarnai dengan demonstrasi (unjuk rasa). Umumnya, tema utama yang dibawakan dalam demonstrasi ialah menuntut adanya kenaikan upah atau menolak upah murah.

 Baru-baru ini, isu sentral yang dibawakan dalam demonstrasi memperingati Hari Buruh adalah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan penerbitan Perpres No. 20 tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing. Sorotan tajam datang dari Said Iqbal, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Said menduga upaya pemerintah meneken perpres ini untuk mengakomodasi investasi China dalam pembiayaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur (baca di sini). 

Dengan semangat penolakan terhadap Perpres TKA, lewat momentum Hari Buruh, para buruh telah mendeklarasikan dukungan kepada salah satu pimpinan partai yang akan mencalonkan diri sebagai Capres pada pemilu 2019 mendatang. Ya, dukungan mereka tidak lain ialah kepada Prabowo Subianto. Di sinilah sinyal dugaan peringatan hari buruh yang mulai terkontaminasi dengan politik elektoral jangka pendek.

Dalam tulisan ini akan saya kemas 4 hal yang berhubungan dengan peringatan Hari Buruh pada 1 Mei kemarin. Keempatnya akan saya uraikan secara singkat pada sub-sub judul berikut.

Tenaga Kerja Asing

Tenaga Kerja Asing dalam konteks undang-undang ketenagakerjaan adalah mereka yang berasal dari luar Indonesia (warga negara asing) yang memegang visa dengan maksud bekerja di Indonesia. Mereka diperlukan oleh pengusaha baik domestik maupun asing di Indonesia sesuai dengan kebutuhan yang tertuang dalam Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Tentu yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki experience dan ekspektasi yang tinggi dalam bidang masing-masing.

Namun, belakangan terdengar bahwa banyak TKA 'menyerbu' Indonesia dan menempati semua jabatan, termasuk menjadi supir. Tentu saja informasi itu meresahkan masyarakat pencari kerja di Indonesia. Ombudsman RI beberapa hari lalu merilis temuan mereka; tidak tangung-tangung, Ombudsman membeberkan diferensiasi besaran gaji TKA dan pekerja lokal pada posisi driver. Nominal yang disebutkan adalah Rp. 15 juta untuk pendapatan seorang supir TKA.

Terkait dengan temuan itu, apakah memang benar adanya atau hanya berita bohong (hoax) tentu harus diverifikasi. Namun kehadiran TKA yang bekerja sebagai supir sekalipun bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Semua pihak perlu memahami bagaimana masuknya TKA ke Indonesia, ibarat TKI yang juga kita kirim ke luar; tetapi ketika kita membandingkan TKI dan TKA adalah hal yang berbeda sesuai kebutuhan nasional suatu negara pemberi kerja.

Di samping temuan Ombudsman, pemerintah tidak memiliki data adanya TKA sesuai temuan dimaksud. Kita boleh menduga-duga, tetapi kita pun jangan lupa bagaimana TKI kita kembali dalam bentuk mayat. Secara tidak langsung, kehadiran TKA di Indonesia yang berbeda dengan data pemerintah bisa jadi karena adanya korban (1) perdagangan manusia, (2) kesengajaan pemberi kerja mempekerjakan secara illegal, atau memang (3) kesengajaan pemerintah Indonesia mempekerjakan buruh migran.

Seorang akademisi Korea Selatan, Jung Park pernah menuliskan bahwa buruh migran Tiongkok yang bekerja dan dipertahankan di Afrika ialah karena bersedia bekerja dengan jam kerja panjang, mampu mencapai target yang diharapkan, dan patuh terhadap perintah dan permintaan pemberi kerja. Dan hal itu sering tidak mampu terkejar oleh pekerja lokal di Afrika.

Membandingkan hasil penelitian Jung Park dengan temuan Ombudsman mengenai TKA dari Tiongkok, dan menghubungkan dengan ketiga kemungkinan di atas maka bagi saya yang cenderung terjadi adalah kesengajaan pemberi kerja mempekerjakan secara illegal. Demikian bagi saya, pemerintah tidak mungkin mempekerjakan (baca: memberi izin) TKA pada level pekerjaan yang dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara umum, sepanjang itu tidak diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan kita. Oleh karena itu, kedapatan pelanggaran terhadap Pasal 42 UUK, perlu ditindak sesuai rumusan delik UUK dan juga UUImigrasi.

Serikat Pekerja

Serikat Pekerja (SP) atau yang disebut dengan nama lain merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja. Hak dan kewajiban organisasi ini secara yuridis di atur pada Pasal 25, UUSP. Ayat (1) butir e dari pasal terbut menjamin hak melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Demikian organisasi ini diberi kesempatan untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal memberikan gagasan-gagasan perbaikan taraf hidup masyarakat kerja sebagaimana mestinya. Misalnya, penetapan Upah Minimum yang melibatkan SP pada sektor usaha tertentu (lihat Permenakertrans No. 7 tahun 2013).

Di sisi lain, ketentuan Pasal 25 UUSP cenderung dijalankan dengan politik praktis. Mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang pro kepada buruh adalah sah-sah saja, tetapi menggiring opini untuk menjatuhkan pilihan pada calon pemimpin tertentu adalah di luar dari ketentuan yang diatur dalam UUSP. Jika memang seperti itu yang diharapkan, jadikan saja Konfederasi kalian sebagai Partai Buruh agar tidak memunculkan kesan perpecahan organisasi buruh atau organisasi serikat pekerja.

Menanggapi beredarnya informasi banyaknya TKA yang masuk ke Indonesia, bagi saya, perlu langkah preventif bagi peran SP, misalnya, dalam hal pengawasan. Patut diakui bahwa masalah-masalah hubungan industrial umumnya terjadi karena lemahnya pengawasan. UU 3/1951, Perpres 20/2010, PB Menaker dan Mendagri Nomor 14/51 tahun 2012, Permenaker 33/2016, tak ada satupun kewenangan serikat di dalamnya untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Bahkan UUSP pun tidak menyebutkan kewenangan itu secara eksplisit maupun secara implisit. Padahal, serikatlah yang bersentuhan langsung dengan masuk dan/ atau keluarnya tenaga kerja di lapangan. Perbedaan data pemerintah dan laporan masyarakat atau audit Ombudsman sekalipun adalah hal yang lumrah terjadi. Oleh karenanya, perbedaan data itu bukanlah sesuatu yang mengherankan.

Hari ini, regulasi kewenangan Serikat Pekerja hanya berkutat seputar penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada level pertama atau level bipartit, tetapi terbatas dalam hal pengawasan. Kewenangan ini perlu ditambahkan agar pekerja juga terhindar dari kemungkinan conflict of interest.

Perpres TKA

 Perpres 20 tahun 2018 menjadi senjata yang dipakai KSPI untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah pada saat unjuk rasa. Pada substansinya, KSPI menduga Perpres TKA memudahkan masuknya TKA ke Indonesia. Kalau dilihat lebih arif dengan tidak memiliki pretensi dan tendensi politik apapun, perpres ini sudah sangat baik dengan menyederhanakan birokrasi yang terlalu rumit. Panjangnya komunikasi birokrasi cenderung berakibat pada perilaku kolusi.

Dalam tulisan ini, saya tidak perlu menjelaskan bagian mana yang disederhanakan dalam urusan birokrasi. Oleh pemerintah, semua ini sudah dijelaskan. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang diketuai oleh Yorrys Rawyai pun berpendapat bahwa Perpres TKA justeru memperkat masuknya TKA ke Indonesia (baca di sini). 

Pada intinya, syarat penggunaan TKA yang diatur dalam Perpres TKA tidak begitu berbeda dengan ketentuan UUKetenagakerjaan. Misalnya, bersedia mengalihkan keahliannya kepada tenaga pendamping.

Bagian yang ingin saya soroti ialah syarat penggunaan tenaga kerja pendamping harus lebih diperkuat dengan alat ukur yang jelas. Pemerintah jangan berharap banyak kalau parameter tenaga pendamping hanya dilihat dari secarik kertas. Umumnya, syarat tenaga pendamping dipenuhi secara formalitas.

Lantas, tenaga pendamping tidak mendapatkan apa yang diharapkan dalam hal alih teknologi dan alih pengetahuan. Selain itu, Pasal (4) ayat 2 dari Perpres TKA dan aturan terkait lainnya juga masih dapat ditarik-tarik. Rumusan "Dalam hal jabatan belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, jabatan tersebut dapat diduduki oleh TKA", bersifat relatif, apalagi investasi berupa modal asing.

Capres 2019

Masa transisi politik di tahun ini memang begitu ramai isu yang dikemas untuk mendukung ataupun menolak suatu kandidat. Tahun 2019 adalah tahun penentuan secara nasional siapakah yang akan menjadi orang nomor 1 di republik ini. Isu TKA dan Perpres TKA adalah proses produksi wacana yang sangat baik untuk dikemas. Diskursus ini sangat cantik dipakai karena dengan mudah dapat menaikan elektabilatas seorang kandidat.

Tulisan Dina Wisnu, Ph.D pada Sindo  sangat menarik untuk diikuti. Beliau menulis bahwa di negara-negara Eropa, beberapa partai politik juga menggunakan isu TKA untuk menunjang keberterimaan masyarakat. Partai-partai ultra kanan di Eropa yang menganut pola pikir Eurosceptic berpandangan bahwa penggunaan TKA melemahkan kedaulatan sebuah negara. Partai Konservatif di Inggris misalnya berhasil memenangkan referendum (Brexit) dengan tema tenaga kerja asing dari Rumania dan Bulgaria.

 Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga berhasil membangun sentimen anti TKA dari Meksiko untuk mengkonsolidasi pemilihnya. Beberapa presiden atau pimpinan politik yang mengangkat isu anti-imigran atau membatasi imigrasi dan menjadi menang antara lain Presiden Milo Zeman petahana dari Cekoslovakia, Luigi Di Maio dari Partai Gerakan Lima Bintang di Italia, Viktor Orban dari partai Fidez di Hungaria dan beberapa pemimpin lain (baca di sini).

Sehubungan dengan tulisan Dina, KSPI sendiri telah menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto. Dukungan itu pun disambut baik oleh kelompok oposisi dan terus menabuh genderang perang. Skema berpikir pun dibentuk dalam segala ruang, termasuk media sosial. Klarifikasi pemerintah yang sedang berkuasa dianggap sebagai pembelaan diri. Temuan Ombudsman yang mungkin saja sebagai kasus pelanggaran Pasal 42 UUK, dianggap sebagai keterlibatan langsung.

 Beberapa hari kemarin, media sosial juga dihebohkan dengan isu perusahaan Prabowo di Morowali Sulawesi Tengah yang menggunakan TKA dari China. Namun berdasarkan penelusuran tim Tribun, nama Prabowo tidak ada dalam perusahaan dimaksud (baca di sini). Di samping isu itu, ada juga isu lainnya tentang penunggakan upah buruh di perusahaan Prabowo (baca di sini). Apakah isu ini benar adanya atau sekedar praktik konstruksi wacana, yang terpenting adalah para buruh harus tahu dengan persis di tangan siapa nasib buruh benar-benar diperhatikan. Jika isu penunggakan upah buruh adalah benar, maka sudah barang tentu KSPI telah mengorbankan diri dalam politik elektoral.

Semoga.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun