PEMILU 2024 sebentar lagi akan dihelat. Kontestasi politik sebagai perwujudan pesta demokrasi akbar per lima tahun di republik ini tentunya akan menjadi ajang paling dinanti bagi para elit politik.
Semua boleh mengambil peran, tenpa kecuali bagi para perempuan yang secara ketentuan hukum telah memenuhi peraturan perundangan yang telah berlaku.
Tidak sekedar menjadi penyumbang suara dalam PEMILU, perempuan diharapkan juga mampu memainkan perannya yang lebih proporsional.
Terdapat tiga peran dalam PEMILU yang bisa dilakukan oleh perempuan. Pertama sebagai penyelenggara pemilu, kedua peserta dalam PEMILU dan ketiga sebagai pemilih dalam pemilu (pencoblos).
Dalam penyelenggaraan pemilu perempuan bisa memposisikan diri dalam lembaga penyelenggaraan Pemilu baik itu sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada di tingkat pusat, kabupaten, kecamatan hingga desa/kelurahan serta bisa pula menjadi Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) yang secara hirarki juga memiliki tingkatan dari tingkat provinsi hingga kelurahan/desa dan merupakan satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis.
Peran kedua yakni sebagai peserta dalam pemilu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan peluang besar bagi perempuan dalam Pemilu Tahun 2024 baik dari sisi penyelenggara (KPU dan Bawaslu) sampai dengan quota 30% keterwakilan perempuan untuk Calon Anggota Legislatif baik untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten.
Peran ketiga yakni sebagai peserta dalam pemilu (pencoblos). Sebagai pemilih yang telah terdaftar secara resmi diharapkan memang, perempuan menjadi lebih pro aktip baik itu memastikan dirinya terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dimasing-masing tempat wilayahnya, maupun untuk mendatangi TPS pada saat pemilihan berlangsung.
Negara telah  memberikan ruang paling tidak 30% keterlibatan perempuan dalam ruang politik. Selanjutnya tinggal bagaimana perempuan memutuskan pilihannya. Dari ketiganya kira-kira anda termasuk yang mana ?
Berdasarkan trend pemilu yang sudah-sudah ternyata partisipasi perempuan dalam hal ini terutama di peran satu dan dua seperti yang saya sebutkan di atas, ternyata sampai hari ini masih jauh dari harapan.
Berdasarkan SK KPU Nomor: 511/PP.06- Pu/05/KPU/V/2018 tentang penetapan anggota KPU Provinsi Periode 2018-2023 dan SK No: 588/PP.06-Pu/05/KPU/VI/2018 tentang penetapan anggota KPU Kota dan Kabupaten Periode 2018-2023, Â Komisioner KPU Pusat periode 2017-2022 terdiri dari 6 laki-laki (85,7 %) dan 1 perempuan (14,3%). Komisioner KPU Provinsi 2017-2022: 146 laki-laki (78,9%) dan 39 perempuan (21,1%). Komisioner KPU Kabupaten/Kota periode 2017-2022: 2.101 laki-laki (82,7%) dan 441 perempuan (17,3%).
Sementara itu komisioner Bawaslu Periode 2017-2022 kondisinya tidak jauh berbeda yakni Komisioner Bawaslu Pusat 2017-2022: 4 laki-laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023: 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2018-2023: 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%).
Lantas bagaimana dengan legislatif ? Disebutkan sepanjang sejarah kepemiluan di Indonesia, Pemilu tahun 2019 lalu dinilai paling banyak menghantarkan perempuan duduk di kursi legislative. Berikut datanya dikutip dari data KPU RI yakni sebagai berikut Ada 118 Â caleg perempuan berhasil duduk di DPR RI dari total 575 kursi yang diperebutkan. Ini setara dengan 20,52%, naik dari semula 17,32% (97 caleg perempuan terpilih dari 560 kursi) pada Pemilu 2014.
Kendati mengalami peningkatan, namun tetap saja porsinya belum mencukupi quota 30% dari yang diharapkan. Satu sisi, kitab bisa menyikapi ini sebagai sebuah tantangan, namun satu sisi lainnya ini sekaligus merupakan tantangan.
Pertanyaannya yang harus kita jawab saat ini adalah, adakah kita kekurangan jumlah perempuan potensial dalam pemilu yang sudah-sudah, termasuk untuk menghadapi Pemilu 2024 nanti ? Atau adakah yang melatarbelakangi hingga para perempuan seakan enggan bersentuhan dengan dunia yang satu ini? Atau bisa jadi para perempuan sendiri tidak tertarik untuk memilih/mempercayakan hak suaranya kepada sesama kaum hawa ? Lantas bagaimana solusinya ?
Berdasarkan data statistik menyebutkan, jumlah pemilih potensial perempuan dalam pemilu 2019 mencapai 92,796.375 pemilih. Hanya berbeda tipis dari jumlah pemilih potensial  Laki-laki sebesar 92.843.299 pemilih. Ini artinya sebetulnya posisi perempuan hampir setara jumlahnya dengan jumlah pemilih laki-laki.
Sependek pengamatan penulis saat ini, paling tidak ada tiga kendala yang sering dihadapi kaum perempuan dalam menjajaki kaki di dunia perpolitikan. Yang pertama masalah budaya, yang kedua masalah pengetahuan (kapasitas) dan ketiga kendala geografis.
Adapun persoalan budaya yang paling sering dihadapi seperti budaya yang masih menempatkan seorang laki-laki sebagai pengambil keputusan utama sedang perempuan adalah kelas kedua.Â
Adanya anggapan yang masih menempatkan perempuan sejatinya hanya berada di seputar wilayah domestik saja, pemikiran yang masih menganggap bahwa dunia politik adalah dunia yang keras, tidak layak untuk perempuan, seperti contoh harus menghadiri sidang hingga larut malam dan berhari-hari, harus melakukan perjalanan jauh, beban kerja serta persaingan yang sangat ketat. Dan tak jarang, anggapan ini kerapkali muncul justeru dari orang-orang terdekat, sehingga melemahkan semangat dan menambah kekhawatiran perempuan yang ingin maju dalam kontesasi politik yang sedang berlangsung. Oleh karenanya memberikan support, membangun komunikasi dinilai perlu dalam upaya memajukan peran perempuan dalam Pemilu.
Kendala yang kedua yakni kapasitas perempuan yang masih minim dalam kepemiluan, sehingga beberapa prosses seleksi yang dilakukan, ternyata tidak sedikit perempuan yang harus gugur dalam proses ini. Oleh karenanya, penting bagi perempuan membekali diri terutama dalam pengetahuan kepemiluan. Ibarat mereka yang hendak bertarung, paling tidak sudah menyiapkan senjata terlebih dahulu.
Selain meningkatkan kapasitas/ pengetahuan, hal lain yang bisa dilakukan kaum perempuan yang ingin memutuskan untuk berperan aktif dalam dunia politik yakni dengan berjejaring / berorganisasi karena dengan demikian perempuan dapat mengasah kemampuan kepemimpinannya meski dalam lingkup organisasi terkecil sekalipun di lingkungan rumah tinggal, memperluas wawasan dan jejaring sosialnya.
Kemudian penting pula melakukan sosialisasi atau memberikan muatan politik di sekolah dan bangku kuliah untuk memberikan pengetahuan kepada penerus bangsa, bahwasanya politik itu bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, dibenci, dihindari dan lain sebagainya, tetapi memberikan perspektif yang baik dan benar tentang dunia pilitik bahwa politik adalah ruang bagi kita untuk memperjuangkan dan mengakomodir kepentingan masyarakat.
Dan kendala ketiga adalah kendala geografis. Tidak semua daerah di Indonesia ini bisa ditempuh dengan jalan darat. Sebagian wilayah kita terdiri atas perairan dan pegunungan, jarak tempuh yang jauh dan minimnya akses ke kota ditambah medan yang cukup berat, seringkali membuat para perempuan merasa enggan untuk mendaftarkan diri, belum lagi proses seleksi dan administrasi yang panjang membuat perempuan harus berpikir ulang memutuskan untuk berpartisipasi. Oleh karenannya perlu dipikirkan ulang proses seleksi untuk daerah yang dengan akses terbatas ini agar bisa disikapi sehingga kedepan bisa memberikan kemudahan bagi para peserta yang berminat untuk turut berpartisipasi dalam kepemiluan.
Lantas fenomena kaum perempuan yang berhasil duduk di parlemenpun sejatinya tidak pula boleh luput dalam perhatian kita. Adakah kontribusi yang nyata yang bisa mereka lakukan untuk mengakomodir kepentingan perempuan ? Atau bisa jadi kaum hawa ini hanya dijadikan sebagai alat pelengkap syarat sebuah parpol ?
Sampai hari ini saya masih percaya, jika perempuan sendiri tidak menyuarakan kepentingan kaumnya lantas siapa lagi? Perempuan yang duduk diparlemen diharapkan mampu menyuarakan kesetaraan/keadilan untuk kaum perempuan, mampu memperjuangkan dan mengakomodir hak-hak perempuan / Anak. Dan bilapun harus memutuskan memilih laki-laki maka paling tidak, pilihlah mereka yang paham soal perempuan serta memiliki komitmen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Oleh karenanya penulis berpesan, kenalilah siapa pilihan kita ? Bagaimana rekam jejaknya dan pahami visi-misinya.
#perempuan  #pemilu  #politik  #genderÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H