Sementara itu komisioner Bawaslu Periode 2017-2022 kondisinya tidak jauh berbeda yakni Komisioner Bawaslu Pusat 2017-2022: 4 laki-laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023: 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2018-2023: 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%).
Lantas bagaimana dengan legislatif ? Disebutkan sepanjang sejarah kepemiluan di Indonesia, Pemilu tahun 2019 lalu dinilai paling banyak menghantarkan perempuan duduk di kursi legislative. Berikut datanya dikutip dari data KPU RI yakni sebagai berikut Ada 118 Â caleg perempuan berhasil duduk di DPR RI dari total 575 kursi yang diperebutkan. Ini setara dengan 20,52%, naik dari semula 17,32% (97 caleg perempuan terpilih dari 560 kursi) pada Pemilu 2014.
Kendati mengalami peningkatan, namun tetap saja porsinya belum mencukupi quota 30% dari yang diharapkan. Satu sisi, kitab bisa menyikapi ini sebagai sebuah tantangan, namun satu sisi lainnya ini sekaligus merupakan tantangan.
Pertanyaannya yang harus kita jawab saat ini adalah, adakah kita kekurangan jumlah perempuan potensial dalam pemilu yang sudah-sudah, termasuk untuk menghadapi Pemilu 2024 nanti ? Atau adakah yang melatarbelakangi hingga para perempuan seakan enggan bersentuhan dengan dunia yang satu ini? Atau bisa jadi para perempuan sendiri tidak tertarik untuk memilih/mempercayakan hak suaranya kepada sesama kaum hawa ? Lantas bagaimana solusinya ?
Berdasarkan data statistik menyebutkan, jumlah pemilih potensial perempuan dalam pemilu 2019 mencapai 92,796.375 pemilih. Hanya berbeda tipis dari jumlah pemilih potensial  Laki-laki sebesar 92.843.299 pemilih. Ini artinya sebetulnya posisi perempuan hampir setara jumlahnya dengan jumlah pemilih laki-laki.
Sependek pengamatan penulis saat ini, paling tidak ada tiga kendala yang sering dihadapi kaum perempuan dalam menjajaki kaki di dunia perpolitikan. Yang pertama masalah budaya, yang kedua masalah pengetahuan (kapasitas) dan ketiga kendala geografis.
Adapun persoalan budaya yang paling sering dihadapi seperti budaya yang masih menempatkan seorang laki-laki sebagai pengambil keputusan utama sedang perempuan adalah kelas kedua.Â
Adanya anggapan yang masih menempatkan perempuan sejatinya hanya berada di seputar wilayah domestik saja, pemikiran yang masih menganggap bahwa dunia politik adalah dunia yang keras, tidak layak untuk perempuan, seperti contoh harus menghadiri sidang hingga larut malam dan berhari-hari, harus melakukan perjalanan jauh, beban kerja serta persaingan yang sangat ketat. Dan tak jarang, anggapan ini kerapkali muncul justeru dari orang-orang terdekat, sehingga melemahkan semangat dan menambah kekhawatiran perempuan yang ingin maju dalam kontesasi politik yang sedang berlangsung. Oleh karenanya memberikan support, membangun komunikasi dinilai perlu dalam upaya memajukan peran perempuan dalam Pemilu.
Kendala yang kedua yakni kapasitas perempuan yang masih minim dalam kepemiluan, sehingga beberapa prosses seleksi yang dilakukan, ternyata tidak sedikit perempuan yang harus gugur dalam proses ini. Oleh karenanya, penting bagi perempuan membekali diri terutama dalam pengetahuan kepemiluan. Ibarat mereka yang hendak bertarung, paling tidak sudah menyiapkan senjata terlebih dahulu.
Selain meningkatkan kapasitas/ pengetahuan, hal lain yang bisa dilakukan kaum perempuan yang ingin memutuskan untuk berperan aktif dalam dunia politik yakni dengan berjejaring / berorganisasi karena dengan demikian perempuan dapat mengasah kemampuan kepemimpinannya meski dalam lingkup organisasi terkecil sekalipun di lingkungan rumah tinggal, memperluas wawasan dan jejaring sosialnya.
Kemudian penting pula melakukan sosialisasi atau memberikan muatan politik di sekolah dan bangku kuliah untuk memberikan pengetahuan kepada penerus bangsa, bahwasanya politik itu bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, dibenci, dihindari dan lain sebagainya, tetapi memberikan perspektif yang baik dan benar tentang dunia pilitik bahwa politik adalah ruang bagi kita untuk memperjuangkan dan mengakomodir kepentingan masyarakat.