Mohon tunggu...
Maulina Silvia
Maulina Silvia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Biologi 2023 Universitas Sebelas Maret Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Melawan Stigma dan Meningkatkan Kesadaran: Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tantangan Hidup

27 Oktober 2023   19:37 Diperbarui: 27 Oktober 2023   23:19 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       

Kesehatan menjadi salah satu nikmat terbaik bagi manusia, apalagi bagi mereka yang tengah diuji dengan penyakit yang dideritanya. Siapa sih yang tidak ingin hidup dengan sehat? Sudah pasti kita semua ingin hidup dengan sehat tanpa menghabiskan waktu  berdiam diri di rumah sakit untuk dirawat dan mengkonsumsi obat. Namun, apakah kita sudah cukup sehat jika kita tidak dirawat di rumah sakit? Bagaimana dengan mereka yang menyembunyikan penyakitnya karena tidak bisa disembuhkan oleh rumah sakit? Begitulah yang dirasakan oleh mereka para korban penyakit mental health, mereka terlihat sehat secara jasmani, tetapi tidak dengan keadaan mentalnya. Seperti yang terdapat pada kutipan di atas, “there is no health without mental health.”.

Kesehatan mental atau yang lebih kita kenal dengan mental health lebih berkaitan dengan sikap, perasaan, pikiran, jiwa, dan batin dari seorang individu seperti keadaan di mana seseorang merasa damai, tenang, dan sejahtera dengan batin dan pikiran mereka sehingga mereka dapat menjalani hidup mereka dengan penuh semangat dan menikmati setiap waktu yang mereka lalui. Berbeda dengan kesehatan jasmani, mental health tidak dapat disembuhkan dengan bantuan obat seperti paracetamol, betadine, dan obat-obat lainya.

Penyakit mental health atau bisa disebut dengan mental disorder menyerang sang korban dengan cara menyerang sisi psikologis sang korban, misalnya melalui rasa trauma atas kejadian yang pernah dialami oleh sang korban. Mental disorder tidak dapat diidentifikasi dengan mudah, seringkali para korban pengidap mental disorder akan berusaha untuk terlihat kuat di depan orang lain, mereka terbiasa untuk memendam emosi serta permasalahan yang sedang mereka alami sendirian. Mereka berjuang sendirian dalam gejolak mental yang naik turun, mood swing sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Selain mengalami mood swing yang berlebihan, para korban pengidap mental disorder juga sering merasa cemas, khawatir, serta stress secara berlebih. Dapat dibilang jika dalam kondisi normal, kesedihan hanya bersifat sementara, namun bagi para pengidap mental disorder, kesedihan yang mereka rasakan dapat bersifat permanen dan susah untuk dihilangkan sehingga akan mengganggu mood dan kegiatan sehari-hari mereka.

Isu mengenai mental disorder kini sedang naik daun. Seperti yang bisa kita lihat pada akhir-akhir ini, gangguan mental telah memakan lebih banyak korban dari waktu ke waktu. Melirik pada Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V) hasil keluaran organisasi American Psychological Association (APA), telah terdata per tahun 2022 terdapat sekitar 5,5% dari remaja di Indonesia telah terdiagnosa mengalami gangguan mental atau mental disorder yang berarti terdapat sekitar kurang lebih 2,45 juta orang remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam golongan Orang dengan Gangguan Jiwa atau biasa disebut ODGJ. Dari 5,5% remaja yang memiliki mental disorder tersebut, telah terdata bahwa kebanyakan remaja usia 10-17 tahun memiliki kecenderungan gangguan kecemasan (anxiety disorder) dengan data sekitar 3,7%, hal ini menjadikan gangguan kecemasan sebagai gangguan mental yang paling umum di antara remaja berusia 10-17 tahun. Tidak hanya itu, depresi mayor juga menjadi gangguan mental yang cukup serius bagi remaja usia 10-17 tahun lantaran terdapat sekitar 1% dari total banyaknya remaja yang memiliki gangguan mental, disusul dengan gangguan perilaku sekitar 0,9%, gangguan pasca trauma atau biasa disebut PTSD dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) yang masing-masing terdata sebanyak 0,5% dari total banyaknya remaja yang terdiagnosa mengalami gangguan mental.

Melihat data yang telah dilampirkan di atas oleh pihak redaksi The Conversation yang telah bekerja sama dengan University of Queensland di Australia dalam penelitian mengenai mental health, maka sudah terlihat jelas bahwa mental health ini benar-benar menjadi hal yang cukup serius. Dari banyaknya korban terutama para remaja yang mengidap penyakit mental disorder tersebut terdapat kemungkinan bahwa dari banyaknya korban pengidap gangguan mental tersebut, ada beberapa dari mereka yang berhasil menyembuhkan gangguan yang mereka alami dan ada juga yang memilih untuk mengakhiri hidup mereka sebab lemahnya mental mereka dalam menghadapi kehidupan.

Mental disorder bukan lagi perkara yang bisa kita sepelekan. Ungkapan "gangguan pada mental tidak bisa disembuhkan" memang benar adanya bagi para korban pengidap mental disorder, tidak sedikit bagi para korban pengidap mental disorder ini memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada mencari pertolongan. Per tahun 2022 ini telah terjadi beberapa kali kasus bunuh diri yang faktor utamanya disebabkan karena gangguan mental yang dialami oleh sang korban. 

Melansir dari redaksi KOMPAS regional Yogyakarta, tercatat sejak awal tahun 2022 hingga 21 September lalu kasus bunuh diri di Yogyakarta terutama di kawasan Gunungkidul telah mencapai 20 orang. Tak hanya Yogyakarta, salah satu penulis berita pada daerah Pontianak juga menyebutkan bahwa sejak Januari 2022 hingga September 2022, korban meninggal akibat bunuh diri mencapai 10 korban jiwa. Pihak Detikcom bagian Jatim juga melampirkan bahwa korban jiwa akibat bunuh diri di Surabaya sejak Januari hingga Oktober telah mencapai 11 orang. 

Kondisi fisik yang sehat tidak menjamin bahwa seseorang terhindar dari mental disorder. Kasus terbaru menyebutkan bahwa telah ditemukan seorang mahasiswa baru UGM berinisial TSR (18 tahun) tewas dikarenakan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 11 sebuah hotel. Setelah diteliti lebih lanjut, dalam tas korban ditemukan surat keterangan kondisi psikolog dari sang korban yang menunjukkan bahwa almarhum TSR telah mengalami depresi akut. Hal ini menguatkan persepsi kita bahwa kondisi fisik yang sehat, bukan berarti mental orang tersebut juga sehat. 

Melihat dari kasus di atas semakin menyadarkan kita bahwa Mental disorder dapat mempengaruhi kesehatan mental sang korban hingga ke tahap bunuh diri, kondisi ini lebih berbahaya dari yang kita kira. Kasus bunuh diri di Indonesia masih terhitung cukup banyak meskipun tidak sebanyak negara lain, dari laman tempo.co dapat dilihat bahwa rasio bunuh diri di Indonesia dalam tingkat global masih menempati urutan 171 dari 183 negara di dunia. Walaupun kasus bunuh diri di Indonesia tidak sebanyak di negara-negara lain, tetapi alangkah baiknya jika kita bisa mengurangi dan mencegah hal ini agar kasus bunuh diri yang disebabkan oleh mental disorder tidak melonjak naik. Hal itu juga diperlukan sebagai upaya untuk menekan banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia. Namun, apa yang harus dilakukan oleh para korban untuk menyembuhkan gangguan mental yang mereka alami? Bagaimana cara kita sebagai masyarakat awam untuk membantu mereka para korban pengidap mental disorder

Seringkali kita mendengar perkataan orang seperti “Makanya sholat yang benar!”, “Ah lo alay banget sih! Gitu doang lho.”, atau malah lebih parahnya “Ah lo mah masih mending, gitu doang ga ada apa-apanya.”. Bagi kita yang bukan korban pengidap mental disorder mungkin masih bisa menerima saran atau perkataan semacam itu walaupun kadang memang sedikit mengesalkan. Namun, akan menjadi hal yang berbeda jika kata-kata tersebut kita lontarkan kepada mereka para korban pengidap mental disorder. Mereka yang berkata hal-hal semacam itu kepada para korban pengidap mental disorder tidak menyadari bahwa apa yang telah mereka katakan bukannya menguatkan sang korban justru malah semakin membebani mental dan pikiran sang korban. Mereka, korban dari mental disorder, akan merasa bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun yang memahami mereka, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri karena merasa telah mengganggu orang lain dengan masalahnya yang tidak penting, padahal nyatanya mereka hanya mengungkapkan perasaan yang sedang mereka alami. 

Para korban mental disorder memiliki kecenderungan untuk memendam permasalahan yang mereka alami sendirian tanpa meminta pertolongan kepada siapapun, atau mereka sudah meminta pertolongan tetapi mereka tidak menerima pertolongan yang mereka butuhkan. Bukan berarti pasrah dengan apa yang mereka alami, korban dari mental disorder cenderung tidak mau untuk terbuka dikarenakan pengalaman mereka di mana ketika mereka sedang bercerita tetapi malah disepelekan. Namun, terkadang terdapat situasi di mana seseorang yang mengalami gangguan mental tidak memiliki keberanian untuk menceritakan permasalahannya kepada orang lain, bahkan ke psikiater. Bagi kalian yang merasa sedang dalam pusaran kehidupan seperti itu, pengobatan secara mandiri dapat menjadi salah satu alternatif pilihan. Para korban pengidap mental disorder dapat mencoba berbagai cara untuk melakukan pengobatan secara mandiri, misalnya dengan cara meditasi. 

Korban dari mental disorder seringkali mengalami luapan emosi yang berlebih dan pikiran negatif yang muncul ketika sedang depresi, sehingga meditasi bisa menjadi pilihan yang tepat untuk menenangkan emosi dan pikiran negatif dari sang korban. Selain dengan cara meditasi, para korban pengidap mental disorder dapat mencoba cara lain seperti menulis buku harian mengenai kehidupan sehari-hari, melakukan hal baru yang menyenangkan, menekuni hobi yang dimiliki, atau melakukan kegiatan yang sekiranya dapat mengalihkan pikiran dari permasalahan yang sedang dialami sang korban. Bagi mereka yang sering merasa stress atau terdistraksi dari dunia luar, maka detoks sosial media bisa menjadi cara yang cukup ampuh untuk menghilangkan rasa stress yang mereka alami. Dengan detoks media sosial, korban bisa mengurangi interaksi dengan dunia maya yang membuat mereka tidak akan terdistraksi dengan lingkungan luar sehingga akan mengurangi risiko korban mengalami stress. Jika usaha-usaha untuk pengobatan mental secara mandiri masih kurang efektif, maka para korban dapat meminta bantuan kepada psikolog untuk membantu pengawasan dan pengarahan terhadap kesehatan mental sang korban.

Sebagai orang yang berada di sekeliling korban, kita harus menempatkan diri dengan baik dan bijak dalam membantu mereka. Dengan kehadiran kita sebagai orang terdekat mereka, hal itu sudah cukup meringankan beban yang selama ini mereka pikul sendirian. Satu hal yang dirasa paling dibutuhkan bagi mereka para pengidap mental disorder adalah sosok yang bisa dianggap sebagai 'rumah', terutama bagi mereka yang merasa asing di rumah sendiri. Para korban yang merasa diasingkan di rumah cenderung akan mencari seseorang yang bisa mereka anggap sebagai 'rumah', sosok yang bisa membuat mereka nyaman seperti berada di rumah sendiri, sosok yang bisa membuat mereka hidup lepas tanpa tekanan dengan menjadi diri mereka sendiri, dan itu menjadi tugas kita sebagai orang terdekat bagi mereka untuk berusaha menyediakan tempat yang nyaman bagi mereka untuk bercerita. 

Meningkatnya kasus mental disorder membuat kita harus lebih membuka mata terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dirasakan oleh orang lain, kita juga tidak tahu apakah seseorang sedang mengalami gangguan mental atau tidak. Maka dari itu, diperlukan kesadaran lebih bagi kita mengenai masalah mental disorder sebagai upaya untuk membantu mereka para korban dari mental disorder. Sebagai bentuk dari kesadaran kita, mulailah untuk sedikit memperhatikan dan peduli dengan orang-orang di sekitar seperti saudara, teman, dan orang yang kita sayangi. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan kecuali kita mencoba untuk memahami mereka. Pastinya, kita tidak akan mau kehilangan orang yang kita sayangi dikarenakan mental disorder,  bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun