Dalam perjalanan hidup ini, tentunya setiap diri manusia memiliki cita-cita yang ingin dituju. Entah yang ingin berkelana ke antah-berantah, bekerja giat sepenuhnya dan memenuhi jutaan mimpi yang telah terencana. Namun, bagaimana kalau masa depan telah selalu ditentukan oleh banyak sosok terdahulu kala. Bagaimana dengan cita-cita yang gugur hanya karna meneruskan kemauan yang sama sekali diluar dugaan. Katanya, demi kebaikan. Â
Tek...Tek...Tek...
Suara jari-jemari pada papan ketik mengisi lengang ruangan. Hening yang semestinya untuk tidur dan tenang. Ia malah terpaku depan laptop miliknya itu. Pukul 11 dini hari, sesosok gadis masih memusingkan tugasnya esok. Tiga mata pelajaran IPA yakni Fisika, Kimia dan Biologi dalam sekali duduk.
"Eli, berapa banyak tugasnya? Sudah malam, dari kemarin kenapa tidak dikerjakan?" sorak Ibu Elia dari ruang makan, pasalnya Elia sudah pada posisi duduknya itu selama empat jam. Ia mulai mengerjakan selepas petang hingga sekarang ini.
"Tinggal sedikit, lima menit lagi Elia tidur, Bu" lima belas kali kalimat itu diucapkan, namun tidak segera dilakukan.
Sembari menggaruk-garuk surai, membolak-balik bola mata yang lelah. Elia melamun lama. Kini ia menduduki kelas dua belas SMA semester dua, sebentar lagi tes masuk Universitas akan dibuka. Elia resah, ia sama sekali tidak terpikirkan berkeinginan masuk jurusan apa. Satu hal yang amat ia sesali, karena ia kurang memumpuni di bidang IPA, berporos kesehatan.
"Dari awal harusnya aku bisa menolak paksaan Ayah, harusnya aku ada di kelas IPS saja, harusnya keturunan yang katanya pureblood ini ditiadakan, harusnya" racau Elia. Otaknya dipenuhi kata harusnya, harusnya, harusnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 23.20 malam. Samar-samar terdengar langkah kaki di depan pintu, sambil mengetuk. Rupanya Ibu, membawa secangkir susu untuk Elia minum. Ibu menyadari sesuatu, ada yang salah sengan putrinya. Mengernyit, tatapan ibu penuh curiga.
"Kenapa, Li? Tugas sekolah apa hingga empat jam buat kamu tidak segera tidur?" alis Ibu menyudut, mencurigai lawan bicaranya. Sembari meletakkan cangkir itu diatas meja Elia.
"Bu, kalau Eli menolak untuk meneruskan jadi dokter, Ibu akan marah berapa lama?" sontak Elia langsung, dengan menatap tegas ibunya.
"Apa yang kamu bicarakan Eli? Keturunan ini sudah ada sebelum Ayah dan Ibu, jauh sebelum kita, kamu tahu kan kalau tiba-tiba dihentikan? Tidak sedikit orang yang kecewa, Li. Kamu tidak harus jadi spesialis sesuatu, dokter umum saja sudah cukup" mata Ibu mulai melotot, wajar bila Ibu terkejut. Ini terkesan sangat tiba-tiba untuknya.
Â
"18 tahun, Bu. 18 tahun Eli sudah menuruti kemauan Ayah Ibu. Sekolah pulang petang, les hingga larut, belajar lagi. Belajar, belajar, belajar. Â Belum lagi organisasi yang kalian tuntut, lomba, olimpiade. Aku lelah, Bu. Aku berat hati jika menjadi dokter. Tidak bisakah aku memilih masa depanku sendiri?" tanpa sadar Elia menangis, tidak terisak, hanya menetes. Ia sudah tidak ada tenaga untuk menangis tersedu-sedu.
Senyap. Keduanya hanya saling menatap. Tidak ada yang memulai pembicaraan kembali. Entahlah, Eli tidak merasa bersalah, tapi Ibu juga tidak bisa disalahkan. Ibu memijat alisnya yang telah lama menyudut. Berbalik dan mengatakan hal.
"Bicarakan dengan Ayahmu. Maafkan Ibu apabila terlalu menuntut seumur hidupmu ini. Ibu istirahat, susunya jangan lupa diminum"
Dada Eli berdegup kencang, itu saja? Apakah hanya itu yang dilontarkan Ibu?. Baik, kesimpulan yang tidak akan merubah pikirannya. Ia tak akan meneruskan keturunan ini. Seberapa keras Ayah Ibunya memaksa. Untuk keputusan yang terakhir ini, ia usahakan untuk tetap berada di tangannya sendiri.
"Ayah? Ayah, Ayah, Ayah. Mengapa selalu Ayah yang memutuskan? Semua saja Ibu kerahkan pada Ayah. Apa Ibu tidak bisa melontarkan alasan?" bergetar, suaranya gentir. Antara amarah dan rasa bimbang Eli tercampur aduk.
Memang selalu ini yang terjadi pada akhir kiannya perdebatan. Ini juga bukan kali pertamanya Elia berkutat karna muak dituntut kedua orangtuanya. Naasnya tetap saja, ia selalu kalah, seberapapun ngotot nada bicaranya. Ayah, sosok yang sulit untuk ditoleran gugatannya. Tapi kini Elia sudah 18 tahun, ia bukan anak kecil yang bisa meng-iyakan semuanya lagi.
"Yakinkan Ayahmu dengan lelah pikiranmu itu. Yakinkan Ayahmu dengan gugatan-gugatan lidahmu itu. Yakinkan dia, yakinkan. Sedari dulu Ibu juga bersikeras untuk menyuarakan sindiran-sindiran halusmu. Kamu pikir Ibu tidak paham? Ibu sangat paham, Eli. Tapi semua cemooh-an Ibu tidak bisa memutar balik keadaan secara drastis. Kamu anak tunggal, kamu satu-satunya harapan kita" sanggah Ibu dengan nada suaranya yang semakin meningkat.Â
Ibu juga menangis, melihat mata Eli yang layu penuh sendu, bagaimana ia akan tega putrinya dalam keadaan demikian?
"Aku harus apa, Bu? Aku harus apa? Apa aku benar-benar tidak memiliki harapan untuk sekedar memilih cita-citaku sendiri? Apa memang tidak ada hak? Apa semuanya harus berakhir dalam keputusan kalian berdua? Eli juga punya harapan, Bu" nafasnya mulai tercekik sendiri. Semakin terbata-bata Eliana berbicara. Menunduk, sesekali melihat seonggok tubuh memegang pintu kamarnya itu. Matanya terlihat miris.
Tring...
Tring...
Tring...
Â
Denging suara mengisi tegangnya suasana. Terus berbunyi, tak segera diam. Bunyi berisik itu berasal dari benda pipih di meja belajar. Rupanya alarm yang disetting Elia untuk selesainya jam belajar. Niatnya untuk bergegas tidur, tapi takdir mengalihkan rencananya. Mendengar akan itu, Eli dengan cepat menekan tombol "Matikan"
"Berapa jam lagi aku harus menunggu Ayah? Ini sudah tengah malam, besok banyak kepentingan pula di sekolah" sekitar 2 menit setelahnya, kalimat itu dilontarkan Elia. Ia sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat. Dengan Ibunya saja sudah selelah ini. Bagaimana dengan Ayahnya yang egois itu?
"Tidurlah, kamu perlu istirahat untuk besok. Perihal berbicara dengan Ayahmu, lakukan di akhir pekan saja. Ibu yakin kalian akan memakan banyak waktu. Satu hingga dua jam tidak akan cukup. Nanti setelah Ayahmu pulang dari rumah sakit akan Ibu sampaikan sedikit demi sedikit" nada bicaranya menurun. Ibu merasa lebih tenang karna Elia tidak sememberontak seperti tadi. Ibu juga merasa putrinya akan kelelahan jika perbincangan ini tidak berakhir.
Langkahnya terseret, dengan berat hati Elia ke kamar mandi. Ia membersihkan diri. Mulai dari menyikat gigi, mencuci muka juga kaki. Setelahnya keluar, Ibu sudah tidak ada lagi diambang pintu. Ia rasa Ibu juga segera bebersih dan mengistirahatkan diri, sama seperti dirinya. Tak memikir panjang tentang Ayahnya lagi, ia menghela nafas berat. 'akhir pekan saja ini diulas kembali' batinnya.
Elia menutup pintu kamarnya yang sedikit terbuka, bekas suasana ribut tadi. Ia juga membereskan buku-buku dan kertas yang berjatuhan tidak jauh dari meja belajarnya. Menyiapkan tumpukan mata pelajaran yang akan dipelajari di sekolah sesuai jadwal besok. Mengecek ulang semua persiapannya, untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelahnya, ia pun memejamkan mata, menumpahkan rasa lelahnya pada bantal yang empuk menumpu kepala. Ia pun terlelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H