Semenjak muncul iklan dari perusahaan De Nederlandsch Bioscope Maatschappij (Maatschappij Gambar Idoep) yang dipasang di surat kabar harian Bintang Betawi tentang pemutaran film pertama di Indonesia sangat jelas memberikan warna dan semangat baru bagi masyarakat Hindia Belanda. Menurut Putri (2015: 549), bermula pada 5 Desember 1900, jam 7 malam, diadakan pertunjukan di rumah Tuan Schwarz di daerah Tanah Abang Kebondjae (Manage). Diduga rumah Tuan Schwarz ini nantinya akan menjadi The Roijal Bioscope yang digunakan menjadi sebuah gedung pertunjukkan. Gedung pertunjukkan semacam ini nantinya akan dikenal dengan nama “Bioskop”. Pada tahun-tahun permulaan ini pertunjukan bioskop belum memiliki tempat yang tetap. Biasanya di tempat terbuka seperti, di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas), Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Boes). Bangunan bioskop pada masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek (dinding yang terbuat dari anyaman bambu) dan beratapkan kaleng atau seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling dari satu kota ke kota yang lain, pada saat itu harga karcis dibedakan menjadi 3 kelas yaitu, kelas I dihargai seharga f 2 (dua gulden / perak), karcis kelas II dihargai f 1 (satu gulden) dan kelas III dihargai f 0,50 (setengah perak).
Pada tahun 1920, bioskop dikatakan masih setengah dari bioskop pada umumnya, karena bangunan strukturnya masih tergolong bangunan rumah biasa. Di tahun yang sama, Surabaya sendiri mulai ramai dengan penayangan film bisu yang bertahan hingga dekade 1929 (Widodo, 2002: 149; ). Kemudian pada tahun 1929 muncullah film bicara (Talking Picture) di Surabaya. Surabaya menjadi kota pertama yang beruntung untuk menyaksikan Film berbicara tersebut. Film bersuara ini berjudul Fox Follies dan diputar di Princesse Schouwburg Surabaya pada 26 Desember 1929. Melalui perusahaan film Warner Brothers, film bersuara pertama di dunia berhasil dibuat dengan judul Don Juan pada 1926. Dibuatnya film tersebut mengisyaratkan secara perlahan berakhirlah masa film bisu (tanpa suara). Masyarakat penggemar film di Batavia baru mendapatkan kesempatan menyaksikan film bersuara tiga bulan setelah pemutaran perdana Fox Follies di Surabaya.
Di Surabaya jauh sebelum kehadiran film atau bioskop sebagai sebuah seni dan hiburan, masyarakat Surabaya telah mengenal jenis hiburan rakyat seperti ludruk dan wayang kulit. Kedua pertunjukkan tradisional tersebut memiliki kaitannya dengan kepercayaan dan adat. Pada awal kemunculannya kedua hiburan tersebut dipertunjukan dalam upacara-upacara tradisi seperti selamatan. Perbedaan antara ludruk dan wayang dapat dilihat pada penonton kedua pertunjukan tersebut. Ludruk biasanya dipertunjukan di tempat yang kurang nyaman dimana penonton bebas berteriak dan makan, kemudian kesenian tradisional seperti ludruk dan wayang kulit lambat laun mulai tergeser dengan adanya film dan bioskop di Surabaya. Menurut catatan Johan Tjasmadi dalam bukunya yang berjudul Seratus Tahun Bioskop Di Indonesia 1900-2000, Kota Surabaya sebelum tahun 1960 telah memiliki 14 bioskop yang tentu saja masih mempunyai golongan atau klasifikasi bioskop di masyarakat Surabaya.
Namun, kondisi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan belum stabil karena berbagai ketegangan yang terjadi di berbagai wilayah membuat pemerintah kurang memperhatikan akan perkembangan film nasional. Imbas dari kurangnya ketidak pedulian pemerintah terhadap perkembangan film dan industri bioskop semakin dirasakan sendiri oleh pemerintah, terlebih lagi banyaknya film-film impor yang beredar dirasa tidak adanya perlindungan pasar film nasional yang membuat Sarbufis (Sarekat Buruh Film dan Sandiwara) marah dan melakukan aksi mogok (Setiawan, 2016: 712). Menanggapi hal tersebut, pada pada tahun 1958 pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-undang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (Kanumoyoso, 2001: 45). Pemberlakukan UU tersebut diiringi dengan pergantian nama sejumlah bioskop yang semula menggunakan nama Barat ataupun Jepang menjadi nama Indonesia. Setelah diberlakukannya Undang undang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda tahun 1958. Bioskop di Surabaya terbagi dalam dua kelas yaitu bioskop kelas A dan B, pada masing-masing kelas masih terbagi lagi dalam tiga kelas yaitu I, II dan III. Film-film Hollywood atau film Barat diputar di bioskop-bioskop kelas A, sedangkan film-film India dan Mandarin banyak diputar di bioskop-bioskop kelas B. Hal ini menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan harga tiket pada masing-masing kelas bioskop yang berada di Surabaya.
Kemudian pada tahun 1960-1980 bioskop di Surabaya mulai terbentuk. Beberapa pengusaha-pengusaha bioskop pada tahun-tahun tersebut mulai berbondong-bondong membuat dengan teknologi yang baru, hingga tercipta 50 bioskop. Hal tersebut membuat pemerintah Surabaya kewalahan, hingga pada awal tahun 1971 untuk di Surabaya terbentuklah GPBS yaitu Gabungan Pengusaha Bioskop Surabaja sebelumnya sudah ada Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia atau GPBSI, yang mana Menteri Penerangan merasa sangat luas sehingga dibagi kembali sesuai dengan wilayah Kotamadya atau wilayah masing-masing daerah.
Dengan adanya organisasi GPBS atau Gabungan Pengusaha Bioskop Surabaja, maka ketentuan-ketentuan lain harus sesuai dengan peraturan Daerah Kotamadya Surabaya, tidak boleh sewenang-wenang dalam menentukan penggolongan, mulai dari Harga Tiket Masuk (HTM) menurut kelas bioskop, pajak tontonan, perijinan mendirikan bioskop, dan lain sebagainya (Setiawan, 2016: 713-714).
- Perizinan Pendirian
setiap pengusaha bioskop yang mendirikan gedung bioskop harus menjalankan perizinan mengenai pembangunan bioskop yang sesuai dengan Keputusan Walikotamadya Kepala Tingkat II Surabaya No. 092 Tahun 1981 tanggal 3 Juli 1981 tentang ketentuan-ketentuan mengenai perbioskopan di wilayah kotamadya daerah tingkat II Surabaya. Keputusan tersebut berisikan bahwa setiap pembangunan atau perbaikan bangunan bioskop terlebih dahulu harus mendapatkan perizinan dari Bupati/ Walikotamadya di setiap daerah, dan usaha perbioskopan tidak dapat dijalankan sebelum mendapatkan surat izin usaha bioskop dari Bupati/Walikotamadya yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang atas permohonan yang bersangkutan.
- Harga Tiket Masuk (HTM)
Kemudian mengenai HTM setiap kelas bioskop biasanya ditentukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah dengan mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat nilai komersial film yang hendak diputar, dan tingkat bioskop. Kemudian untuk pertunjukan khusus seperti Gala, midnight show dan sebagainya besarnya HTM maksimum 100 persen dari pertunjukan biasa, dan hanya berlaku di luar malam minggu atau hari besar. Untuk pertunjukan bagi anak-anak sekolah, sosial dan pertunjukan matine (film) ditetapkan lebih rendah dari setiap HTM yang berlaku, dengan ketentuan serendah-rendahnya 50 persen dari HTM untuk pertunjukan-pertunjukan biasa.
- Pajak Tontonan
Biasanya pajak ini ditentukan berdasarkan pada besarnya jasa film dan bioskop, yang mana komponen HTM meliputi: (1) Jasa Film; (2) Pajak Penjualan; (3) Pajak Tontonan; dan (4) Pembulatan. Penetapan besarnya pajak tontonan untuk masing-masing kelas dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II setempat serta pengelolaan dana hasil pembulatan komponen HTM akan diatur lebih lanjut oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur guna pembinaan perbioskopan di Jawa Timur. Besarnya pajak tontonan bioskop di Surabaya ditentukan berdasarkan jasa film dan bioskop. Dengan pajak sebesar 25 persen untuk film nasional dan 35 persen untuk film asing. Disamping itu ada pula jenis pemutaran film yang bersifat insidentil (misbar) dengan harga tanda masuk antara Rp 100, sampai Rp 350, dengan pajak sebesar 15 persen (baik untuk film asing maupun film nasional). Pada taraf yang ditetapkan untuk pertunjukkan film dibedakan besarnya persentase pajaknya, yang mana untuk film nasional ditetapkan tarif pajak yang lebih rendah dibandingkan film asing, hal ini dimaksudkan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka menggalakkan dan memasyarakatkan film nasional yang tidak sekedar berupa hiburan, akan tetapi juga bertujuan memberikan penerangan dan untuk lebih menghayati sejarah budaya bangsa.
Peranan bioskop bagi perekonomian Kota Surabaya di tahun 1950-2000
Dalam perkembangannya, film yang diputar di bioskop bertujuan untuk menyenangkan dan menghibur penonton ataupun pengunjung yang melihatnya, tetapi tujuan utama dari didirikannya bioskop adalah sebagai fasilitas hiburan yang kemudian menjadi ajang komersil, dengan kata lain para pengelola bioskop atau pemilik bioskop sendiri menginginkan keuntungan dari usaha perbioskopan yang didirikannya. Sama halnya seperti bangunan komersial lainnya, maka gedung bioskop pun memberikan keuntungan timbal balik antara pengelola, pemerintah, masyarakat, dan pengunjung. Segi keuntungan yang diterima oleh pemerintah kota Surabaya yaitu akan bertambahnya fasilitas hiburan bagi kota Surabaya sehingga menambah juga fasilitas hiburan bagi wisatawan. Tidak hanya itu saja, perkembangan industri perbioskopan di Surabaya ini diharapkan lebih menambah income daerah dari segi perpajakan, serta menjadikan lingkungan dan aktifitas kota semakin bertambah semarak dengan estetika kota yang tercermin dalam pembangunan fisik kota.