Mohon tunggu...
Maulidi Dhuha Yaum M
Maulidi Dhuha Yaum M Mohon Tunggu... -

Mahasiswa; ^aflamaker @Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Peristiwa 19 Maret 1967 (Persemar)

26 September 2015   18:07 Diperbarui: 26 September 2015   18:24 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sunnguh aneh, kok¸mentolo (sampai hati) perbuatan para santri pemberontak itu. Memang, tindakan mereka-mereka itu tidak mungkin terjadi jika tidak ada nafsu hendak menguasa yang didapat dari tiupan-tiupan dan khayalan beracun, sehingga mabuk, lupa akan otak sehatnya, dan tak menghiraukan sama sekali norma-norma hukum agama, hukum ghaib, apalagi adab sopan santun (toto kromo) sebagai santri.

Lantas, para pengkhianat itu kian meningkatkan aksinya dengan mengancam siapa saja yang tidak ikut demonstrasi. Kemudian, naik lagi, akan mengganti ideologi pondok “Berdiri di atas dan Untuk Semua Golongan” menjadi “untuk satu golongan saja,” golongan dan madzhab mereka. Ambisi tersebut didukung oleh beberapa tokoh luar pondok yang memang menginginkan PM. Gontor berpihak kepada golonganny. Arogansi santri pemberontak kian menjadi. Puncaknya, mereka menginginkan para Kyai pendiri pondok turun jabatan, dan keluar dari pondok. Ketika itu, konon, pemberontak sudah menyiapkan penggantinya, seseorang dari kelompok mereka. Sungguh biadab, dan tidak tahu rasa berterima kasih, tidak bersyukur.

Sulit mengungkapkan dengan kata-kata akan kesedihan yang dirasakan oleh para Kyai pendiri. Yang sempat terlontar hanya kata-kata; “Penderitaan kami sangat hebat saat itu.” Tentu, sangat beralasan kalimat yang dilontarkan sang Kyai. Anak yang telah dididik dengan penuh kasih sayang, diberi ilmu yang bermanfaat agar dapat berjasa kepada masyarakat, malah membalasnya dengan ambisi dan perbuatan keji. Jelas, itu merupakan pengkhianatan yang terkutuk. Astaghfirullaha al-‘adzim! Na’udzubillahi min dzalik!

 

Ketegaran, Kesabaran, Keikhlasan, dan Kemenangan

Hari berikutnya, setelah para tokoh pemberontak dan pengikutnya pinda ke desa sebelah (dengan maksud menyusun strategi), Pak Zarkasyi mengumpulkan santri yang tersisa, yang tidak ikut atau hanya ikut-ikutan serta masih taat, di Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). Apa yang Pak Zar lakukan? Mengajari mereka bahasa Arab.

Benar saja, rupanya Allah selalu menolong para Kyai Gontor itu. Ketegaran, kesabaran, dan keikhlasan beliau membawanya ke arah kemenangan. Pak Sahal dan Pak Zar begitu tegar, berwibawa, gagah. Puncak ketegaran itu adalah keputusan kedua beliau memulangkan seua santri sebanyak 1500-an orang lebih, tak tersisa.

Sebelumnya, para santri yang masih percaya kepada kedua pendiri itu dikumpulkan di BPPM. Tentu saja, nasehat tulus dan kesungguhan mendidik dikedepankan dalam pidato beliau. Terakhir, disampaikan bahwa pondok dinyatakan libur sampai waktu yang belum ditentukan. Semua santri diminta pulang ke kampung halaman masing-masing, dengan bekal cerita dan nasehat Kyai. Mereka diminta menanti surat panggilan dari pondok; surat panggilan dari Direktur KMI (Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyyah) yang memberi kesempatan para santri kembali belajar di PM. Gontor.

Yang tak kalah memprihatinkan, ketika salah satu santri yang pulang itu ada yang mengisi waktu liburan sambil mondok di salah satu pondok pesantren yang Kyainya se-ide atau mendukung pemberontak itu. Kyai itu berkata sinis, “Pondokmu bubar, ya? Itu karena arogansi dan egoisme Kyainya.” Astaghfirullaha al-‘adzim.

Setelah suasana kondusif, datanglah bantuan dari TNI (Tentara Negara Indonesia) untuk ikut menjaga pondok. Sejumlah tentara itu diperbantukan selama beberapa hari. Mereka tinggal dan menjaga pondok serta para Kyai. Yang sebenarnya tidak memerlukan bantuan keamanan karena masalah yang dihadapi adalah masalah intern. Namun, kecintaan dan rasa hormat yang begitu mendalam membuat pemerintah saat itu memberikan bantuan sebagai rasa simpatik.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Juli 1967, para santri yang mendapat panggilan pun berdatangan. Setelah dilakukan seleksi, tidak lebih dari 400 orang santri saja yang kembali diterima, lolos screening. Pondok pun kembali berjalan dengan wajah baru, semangat baru, niat yang diperbaharui: tafaqquh di al-din; li i’la-i kalimatillahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun