Mohon tunggu...
Mauliddia Siwi
Mauliddia Siwi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin Masa Depanmu

21 Maret 2017   07:54 Diperbarui: 22 Maret 2017   15:00 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala itu dari jendela gedung lantai dua salah satu sekolah terbaik negri di Kediri, ia melihat suasana di sekeliling sekolah yang tampak rindang dan hijau. Suasana kala itu siang namun tampak gelap, awan kelam memenuhi langit Kediri kala itu. Suasana kelas yang ramai saat jam pelajaran kosong juga membuatnya larut. “Tuhan, terimakasih telah memberiku nikmat dan anugrah hingga detik ini, lukisanmu sangat indah Tuhan. ”, ungkapnya dalam hati. Madhan, remaja yang selalu meninggalkan sekolah paling akhir dan senang menghabiskan waktu senggangnya di masjid atau sekedar menyelesaikan laporan hasil kegiatan di ruang osis.

Madhan merupakan orang yang cukup beruntung karena memiliki teman- teman yang selalu ada untuknya. Madhan dan ke-4 temannya bahkan selalu menorehkan tinta emas pada setiap buku catatan sekolah. Alex, Rama, Novan, dan Alvin adalah teman- teman yang selalu ada untuk Madhan. Mereka juga merupakan siswa yang cukup berpengaruh di sekolah. Mereka memegang beberapa jabatan penting pada organisasi sekolah. Kemahiran mereka dalam olimpiade dan agama juga tidak bisa diragukan.

Allahuakbar... Allahuakbar... sejenak kelima sahabat ini terdiam mendengarkan adzan yang tengah berkumandang di masjid sekolah. “Eh udah adzan dzuhur tuh, kalian pada gak mau sholat dulu? Katanya kalau sholat diawal waktu pahalanya lebih besar”, kata- kata Alex membuka percakapaan sesaat setelah adzan selesai dilantunkan. Ia memanglah bukan seorang muslim, namun ia sangat menghargai dan menghormati temannya yang beragama islam.

“Ok, kita mau sholat dulu ya Lex, kamu mau tunggu di kelas atau ke kantin duluan?”, jawab Rama mewakili semua jawaban temannya atas pertanyaan Alex. “Aku mau tunggu kalian aja ya di kelas, it’s ok aku juga mau cari tugas di internet hehehe”, jawaban Alex meyakinkan temannya. Mereka berempat bergegas memenuhi panggilan Allah yang sejak tadi telah memanggil untuk menghadap Allah.

“Kalian udah pada kerjain tugas matematika bu Khusnul belum? Besok di kumpulin lho, lumayan juga soalnya”, pertanyaan yang keluar dari mulut Madhan ini sekaligus mengiringi langkah mereka menuju masjid. “heleh, kamu ini ya Madhan, kalau jalan ke Masjid, lupakanlah dulu urusan dunia ”, tutur Alfin sambil tersenyum. “iya, iya bapak Alfin, Madhan khilaf”, sahut Madhan membalas Alfin.  Mereka berjalan melalui out door yang bukan lain adalah tempat sekumpulan anak- anak nakal suka nongkrong. “Sst.. jangan kenceng- kenceng ngobrolnya, anak- anak alim mau lewat tuh! Nanti kalian di ceramahin buat sholat tau....”, kata Tama mengejek. “Hahaha.... iya sok alim banget mereka” sahut beberapa anggota kumpulan itu. Saat semua anggota geng itu asik mengejek, mereka tetap berjalan seperti tidak ada yang terjadi dan ejekan itu tidak mereka hiraukan sama sekali.

Sesampai di masjid, mereka berempat bergegas mengambil air wudhu kemudian menempati saf paling depan. “Nak Madhan, nanti setelah selesai sholat temui bapak ya, bapak tunggu di ruang guru”, ungkap pak Udin. Belum sempat Madhan menjawab pak Udin telah berdiri kemudian melakukan sholat tahyatul masjid dan Madhan hanya terdiam dan menunduk. “Ada apa pak? Sepertinya penting pak”, tanya Madhan setelah berhadapan dengan pak Udin. Kali itu wajah bapak guru pendidikan agama Islam ini nampak puas melihat Madhan. “Nak, sebentar lagi ada lomba, nanti sepulang sekolah pasang brosurnya di mading, bapak ingin mengadakan seleksi bidang lomba adzan, kamu ikut partisipasi ya, bapak yakin kamu bisa, tidak ada salahnya mencoba”,  jelas pak Udin pada Madhan. “InsyaAllah pak saya akan coba dulu”, jawab Madhan  mencoba memuaskan pak Udin.

Madhan memanglah siswa yang jago adzan, selain itu dia dipercaya untuk memegang tanggung jawab yang besar untuk menjadi ketua osis di sekolahnya, maka tak heran bila nama Madhan sangat terkenal, apa lagi dia sangat piawai dalam bermain musik sehingga tak sedikit siswi yang mengaguminya. “Ada apa dhan? Tugas negara apa lagi ni? Kayaknya penting banget eeeeaaaaa???”, ejek Alfin berniat menghilangkan kekhawatiran dan rasa gugup Madhan. “sudah, sudah. Jangan saling mengejek lagi.  kalian itu masih kayak anak kecil aja deh, udah buruan kita ke kelas, kasihan tuh Alex dari tadi tungguin kita”,  kata- kata bijak Rama menengahi. `

Teet!!!! Tet!!!!! Bunyi bel mengagetkan seluruh siswa dan tiba- tiba celling sound berbunyi “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mohon maaf bapak ibu guru pengajar di kelas mengganggu sebentar, pengumuman untuk seluruh anggota sidak di setiap kelas agar menggeledah seluruh tas milik temannya bila ada yang mencurigakan, langsung diambil dan segera melapor pada ibu Aningsih, sekian terimakasih atas perhatiannya.”, ungkap ibu Aningsih memberi pengumuman.  Dengan sigap semua siswa bergegas masuk kelas masing- masing. Begitu pula dengan lima sekawan, Rama selaku perwakilan kelas segera memeriksa tas teman- temannya. “Baiklah semua boleh keluar kelas, biarkan saya tetap di dalam untuk memeriksa semua barang kalian, tetap ada di sekitar kelas, jangan berkeliaran”, ungkap Rama memberi pengumuman. 

Hampir seluruh tas milik temannya ia periksa, hanya tas yang ada pada bangku paling pojok saja yang belum iya periksa. Ia terkejut melihat apa yang dia lihat pada saku kiri tas temannnya yang biasa digunakan untuk menaruh makanan ringan. “Aku gak percaya dia bisa bawa barang kayak gini kesekolah, aku bener- bener gak percaya tapi ada buktinya, aduh aku harus gimana ini?”, ungkap Rama dalam hati sambil ia kebingungan. Langkah kakinya membawa Rama menuju ruang guru. Langkah demi langkah ia lakukan dengan suasana hati yang resah dan bingung, apa yang akan dia katakan apabila ada guru yang bertanya.   

Dalam perjalanannya menuju ruang guru Rama bertemu dengan ibu Aningsih “Nak, tadi bagaimana? Saya yakin kelas kamu aman- aman saja kan??”,  ucap bu Aningsih dengan penuh rasa yakin sambil tersenyum. “ii...iya... iya bu,iii itu yang mau saya katakan bu”, jawabnya sambil terbata- bata dan tak sanggup untuk mengatakan. “Haduh, aku harus bilang apa sama bu Aningsih? Beliau sudah terlalu percaya, tapi aku gak sanggup bilang yang sejujurnya”, renungnya dalam hati sambil melamun.

Bu Aningsih terus menatap mata Rama yang seakan ingin berkata. “Nak, apakah ada yang ingin kau dikatakan?”, tanya bu Aningsih padanya. “Bu, saya mau jujur tadi saya menemukan barang yang dilarang untuk dibawa ke Sekolah bu, dan barang itu dibawa.... ”, jelas Rama kemudian bu Aningsih langsung memotong kata- katanya “Ibu tahu, ini pasti Tama lagi ya? Mereka bawa apa nak? ”,sela bu Aningsih mendesak dan penasaran. “Bu, sebenarnya ada siswa yang membawa rokok ke sekolah, dan yang membawa adalah Ma.. Ma.. Madhan bu..”,jelas Rama dengan pelan sambil terbata- bata seolah tidak percaya dan tidak sanggup untuk mengatakan hal tersebut.

Sejenak bu Aningsih terdiam kemudian menundukan kepala seraya berkata “Apa kamu yakin kalau Madhan yang membawanya? Apa benar yang kamu laporkan pada ibu?”, kata bu Aningsih dengan rasa kecewa. “Saya juga masih tidak percaya dengan apa yang saya lihat bu, ini buktinya saya bawa bu”, ucapnya sambil mengambil bungkus rokok itu dari saku kanan celana birunya. “Nanti sepulang sekolah, ibu mau berbicara dengan Madhan di Ruang Osis, tolong beri tahu dia ya”, ucap bu guru yang sangat menyanyangi Madhan seperti putranya sendiri. “ Ya bu, nanti akan saya sampaikan pada Madhan, baik bu saya pamit ke kelas dulu ya bu, Assalamu’alaikum", ia berkata sambil perlahan meninggalkan bu Aningsih.

"Tok... tok.. tok.. Assalamu’alaikum”, suara pintu yang terketuk di ikuti salam oleh Rama. “Wa’alaikumussalam”, ucap semua yang ada di dalam kelas. Dengan langkah perlahan namun pasti ia menghampiri guru yang sedang berdiri menerangkan “Maaf bu, tadi saya menemui bu Aningsih” katanya menjelaskan. “Iya, silahkan duduk”,  jawab bu Tia sambil mengangguk kemudian Rama berjalan menuju tempat duduknya yang berada di pojok belakang tepat disebelah Madhan.  Tiba- tiba suara kelas hening, mereka semua mendengarkan kembali penjelasan dari bu Tia.  

Mereka larut dan memperhatikan semua yang dikatakan bu Tia hingga bel pulang berbunyi. “Baik anak- anak kita akhiri sekian, selamat siang”, ucap bu Tia mengahiri pertemuan. “Madhan, kamu di tunggu bu Aningsih di Ruang Osis, beliau ingin bicara penting”, Rama memberi tahu Madhan dan tanpa menjawab Madhan bergegas menuju Ruang Osis. Dengan langkah tergesa- gesa sambil berlari kecil dan takut apa bila bu Aningsih sudah menunggunya. “ Madhan!!!”, sapa beberapa siswi di sepanjang jalan dan tidak Madhan hiraukan.

Sesampai di Ruang Osis ia melihat ibu guru yang Ia sayangi merapikan Ruang Osis dan menutup korden yang berwarna hijau lumut serta melihat struktur organisasi yang berada di sebelah timur pintu dengan warna hijau sebagai simbol sekolahnya. “Bu, ada apa? Kata Rama ibu ingin berbicara dengan saya, ada masalah apa bu?”, Madhan bertanya, segera bu Aningsih membalikan badan dan menjawab pertanyaan Madhan. “Iya, ibu ingin berbicara hal penting dengan kamu nak”, kata ibu Aningsih sambil terbata- bata dan kemudian memegang pundak Madhan.

“Nak, tadi Rama bilang dan telah menemukan barang di tas kamu, apa ini barang yang kamu punya?”, ibu Aningsih bertanya sambil menunjukan bungkus rokok yang tadi telah diberikan Rama sewaktu bertemu tadi. “haduh aku harus jawab apa dong? Gimana ini?”, renungnya dalam hati dan bingung harus mengatakan apa. Tiba- tiba air mata Madhan perlahan menetes membasuhi pipinya dan ia hanya bisa terdiam sambil melihat bungkus rokok yang telah ditunjukan bu Aningsih. Ia tidak bisa berkata ataupun mengelak karena telah ada bukti yang jelas.

“Baiklah diammu ibu anggap sebagai jawaban, mulai besok kamu dapat mencari sekolah lain yang kamu inginkan, terimakasih atas jasa- jasa kamu untuk membawa perubahan untuk sekolah kita, mengharumkan nama sekolah kita, dengan berat hati ibu akan melepaskanmu”, ucap bu Aningsih dengan rasa sangat kecewa dan tidak percaya. “Terima kasih bu, maafkan saya karena telah melanggar kepercayaan ibu, maafkan saya bu, sungguh jasa ibu tidak akan pernah saya lupakan, sekali lagi terimakasih bu Assalamu’alaikum" , Madhan mengatakannya dengan rasa sedih yang mendalam dan perlahan meninggalkan bu Aningsih.

Waktu terus berjalan, sudah satu minggu Madhan tidak masuk sekolah tanpa ada kabar ataupun pemberitahuan baik dari keluarga maupun Madhan sendiri. Setiap temannya berkunjung ke rumah Madhan tidak terlihat ada aktifitas di dalam rumah Madhan. Tetangga sekitar rumah Madhan pun juga tidak mengetahui keberadaan keluarga Madhan. “Sebenarnya Madhan kemana sih? Kenapa dia hilang misterus kayak gini? Emang ada masalah apa sih? Kok sampek kayak gini?”, tanya Alex pada teman- temannya “sebenernya aku mau jujur sama kalian, waktu itu aku temukan bungkus rokok pada tas Madhan, kemudian aku melaporkan pada Bunda, dan beliau ingin bertemu Madhan entah apa yang mereka bicarakan ahirnya Madhan di keluarkan secara diam- diam dari sekolah, dan entah kemana Madhan pindah sampai saat ini gak ada yang tahu”, jelas Rama panjang lebar dan semua temannya pun bertanya- tanya apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak percaya atas apa yang dikatakan Rama.  

“Aku gak percaya ahh! Masak iya Madhan tega tinggalin sahabatnya yang  paling ganteng ini, masak dia tega tinggalin bang Alfin?”, ungkap Alfin dan membuat temannya terdiam. Mereka ber empat sepakat untuk menyelidiki kasus ini hingga tuntas. Disaat yang sama Madhan tengah mengikuti seleksi lomba olimpiade tingkat Nasional bidang study Matematika dan dia adalah wakil kota Yogyakarta. Dia terus berdoa agar usaha dan keteguhannya menuai hasil dan mendapat berkah. Tanpa henti Madhan selalu berdoa agar ia dan orang- orang yang menyayanginya senantiasa dilindungi oleh Tuhan.

Kini keluarga Madhan di Yogyakarta tengah diselimuti rasa bahagia. Wajah  pemuda multi talent itu sangat terlihat sumringah namun tidak ada rasa sombong sedikitpun, dia tetap terlihat sederhana dan seperti remaja pada umumnya. Ternyata yang membuat keluarga kecil ini bahagia adalah ditampilkannya berita keberhasilan Madhan meraih juara 1 dalam bidang olimpiade matematika tingkat nasional. Ternyata teman- teman Madhan di Kediri juga melihat tanyangan televisi itu, rasa bangga dan bahagia juga mereka rasakan atas keberhasilan Madhan.

Tahun demi tahun terus berlalu, kini beberapa remaja itu tengah  menempuh jenjang perguruan tinggi. “ya Allah, ampuni dosa hamba, lancarkanlah hamba dalam menuntut ilmu, alirkan rezeki yang barokah pada orang tua hamba, lindungi teman- teman hamba ya Allah”, pintanya dengan ketulusan dari lubuk hati yang paling dalam usai menunaikan sholat ashar di salah satu masjid dekat rumahnya. Meskipun telah beranjak dewasa, namun sikap yang telah ditanamkan orang tuanya sejak kecil masih melekat pada dirinya. Madhan tetap memiliki prestasi gemilang, sikap sopan santun, dan tetap mendahulukan urusan agama.  

Sore itu sangat cerah, ketika Madhan menyusuri jalan Mallioboro ia melihat seorang pemuda mengenakan pakaian hitam dengan celana jeans panjang lengkap dengan rantai pada kantungnya serta robekan pada bagian paha. Pemuda itu tengah berjalan sambil membawa botol minuman keras pada tangan kirinya. Madhan terkejut melihat siapa pemuda yang tengah berdiri sempoyongan didepannya. “Madhan!! Maafin aku ya, aku banyak salah sama kamu, kamu mau kan ma’afin aku yang hina ini?”, permohonan maaf pemuda itu dan sontak ia langsung bersujud pada kaki Madhan. “ehh kamu apa- apaan sih? Kamu gak ada salah kok sama aku? ”, jelas Madhan dengan kata- kata yang halus sambil membangunkan pemuda itu dari sujudnya.

“Maafin aku, waktu SMP di Kediri dulu aku yang udah jebak kamu!”, ungkap pemuda itu kemudian menghentikan ucapannya karena ada sekumpulan mahasiswi yang lewat dan memperhatikan mereka. “Maaf buat apaan sih? Emangnya kamu lakuin apa? Lagian waktu itu kan kita masih labil juga, jadi wajar kalau kamu sempat gak asik ke aku, udahlah jangan ngerasa bersalah”, ungkap Madhan sambil memegang bahu pemuda itu. “Kamu emang baik Dhan, gak salah kalau kamu di sayang sama guru- guru SMP dulu, aku mau bilang kalau sebenernya aku yang udah masukin bungkus rokok itu ke tas kamu”, jelas pemuda misterius itu kemudian menatap tangan Madhan yang masih memegang bahunya kemudian memegang tangan Madhan dan perlahan melepasnya.  

Mereka tengah duduk di kursi dengan suasana sejuk karena berada tepat di bawah pohon yang rindang. Pemuda yang berada di sebelah Madhan itu terus melihat Madhan dengan rasa sedih. Ia terus melihat orang yang kala SMP sering ia sakiti dengan perbuatannya. “Kamu sekarang kuliah dimana Dhan?”, tanya Tama pada Madhan. Sambil tersenyum, Madhan membalas pertanyaan Tama “Aku kuliah di Universitas Gadjah Mada. Jurusan Matematika. Bulan depan aku wisuda. Doain IPK ku tinggi ya hehehehe”, balas Madhan yang mencoba mencairkan suasana. “kamu sendiri sekarang kuliah dimana? Ambil jurusan apa?”, tanya Madhan penasaran pada teman lamanya. “kuliah? Itu Cuma angan- angan ku aja. Faktanya, gak ada universitas yang mau terima aku Dhan, justru sekarang aku aja jadi buronan di Kediri, makanya aku pindah ke sini. Mungkin ini adalah balasan dari semua perbuatan yang pernah aku lakukan”, ungkapnya dengan rasa malu. “boronan? Maksud kamu apa?”, tanya Madhan dengan wajah kaget dan tidak percaya. Tanpa mengatakan apapun pemuda misterius itu pergi meninggalkan Madhan duduk sendirian.  "kadang, kenyataan itu lebih pahit dari apa yang kita bayangkan", ungkap Madhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun