Mohon tunggu...
Inovasi

Syaikh Abdul Qadir Jailani, Kodok yang Bahagia, dan Pengetahuan Hakiki

9 Desember 2017   22:26 Diperbarui: 11 Desember 2017   14:18 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendapati manusia hari ini yang sumbunya terlalu pendek untuk sejenak berpikir serta meraba dirinya pribadi, adalah daya tarik tersendiri untuk menyoal penafsiran Syaikh Abdul Qadir Jailani tentang macam ilmu. Dalam sir al-asrar,beliau memetakan ilmu menjadi 2 bagian yaitu dhahir (eksoteris) dan bathin (esoteris). Saat kita mengetahui serta memahami sesuatu, maka itulah dhahir. 

Sedangkan saat kita memahami, kemudian menjadikan kebiasaan, itulah bathin. Ilmu dhahir tidak menuntut siapa pun untuk membawanya ke wilayah praktik keseharian, tetapi ilmu bathin sebaliknya. Karena yang pertama tidak memiliki tuntutan, maka posisinya lebih rendah dari yang kedua. Ilmu bathin berada di atas ilmu dhahir.

Apa yang menjadi kesimpulan Syaikh Abdul Qadir Jailani bukan begitu saja dikeluarkan tanpa prinsip. Beliau menjangkarkan pembagian ilmu di atas pada surat Ar-Rahman: 19-20. Ayat pertama, kata Syaikh, kita biusa mendapati bahwa ilmu itu ibarat dua laut yang saling bertemu. 

Keduanya berbeda, tetapi identik yaltaqiyan. Kita juga boleh menyebut ini, saya kira, sebagai koin bermata dua, berbeda tetapi menyatu, marajal bahraini yaltaqiyan. Adapun ayat ke-20 ini yang membuat greget, menggambarkan betapa kita penting untuk tidak meninggalkan salah satu darinya. Artinya, kita boleh belajar ilmu bathin, tetapi jangan sampai lupa akan ilmu dhahir harus tidak terabaiakn.

Apakah harus begitu? Iya, harus. Soal ini beliau menyejajarkan ilmu dengan ibadah. "Ibadah" katanya, merupakan kunci kebahagiaan. Setiap manusia merindukan kebahaggiaan, atau bahkan ia merupakan tujuan alami manusia diciptakan. Dengan ungkapan lain, salah satu alasan mengapa kita perlu untuk menyinergikan ilmu bathin dan dhahir adalah untuk kebahagiaan kita sendiri. 

Misalnya saat kita lapar dan mau masak nasi goring, bagaimanapun langkah pertama, pada umumnya yang harus kita lakukan adalah belajar (meski sekilas) cara membuatnya. Selepas paham, barulah eksekusi. Belajar memasak di sini tidak lain merupakan ilmu dhahir, sedangkan memasaknya adalah ilmu bathin. Andai kita cukupkan dengan belajar cara membuat saja, tanpa adanya kemauan untuk eksekusi, akankah nasi goreng tersebut jadi?? Tentu tidak.. begitupun sebaliknya. 

Dan malahan kalau kita cukup hanya di eksekusi, tanpa belajar, bisa-bisa yang ada adalah "memasak nasi goreng tanpa nasi." Haha, mari kita renungkan sendiri.. begitulah jadinya jika kita tidak bisa seimbang dalam merespon ilmu dan pengetahuan.

Ibadah Sebagai Menantu Idaman Ilmu

Secara cukup jelas Syaikh menulis begini, "wa al-'ibadah al-kamilah bihima (ai adh-dhahir wa al-bathin), la bi wahidihima," ibadah yang sempurna ada di balik sinergi ilmu bathin dan dhahir. Sebelum berjalan lebih jauh, saya pikir penting iuntuk menyamakan dulu spectrum "ibadah" di sini. Bagi yang menganggap ibadah melulu urusan masjid, sajadah, dan dahi, sebentar dulu. 

Jangan terburu-buru menarik yang merah-merah.  Di benak Syaikh, "ibadah" adalah pengetahuan, ma'rifah. "Li ya'buduni, ay li ya'rifuni,"tulis beliau ketika memahami surah Adz-Dzariyat : 6. Untuk menjelaskannya, beliau memakai logika begini, bagaimana kita bisa menyembah (dalam bentuk apapun) jika tidak mengerti apapun soal ibadah? Lebih detail, ibadah atau ma'rifah terbagi menjadi dua, fi sifatillah dan fi dzatillah, tersurat dan tersirat. Pertama adalah tentang bagaimana kita bisa bahagia, hidz, hari ini dan besok kedua soal kebahagiaan abadi, akhirat. 

Jika semisal mendengarkan dengan seksama keluh kesah teman, berbagi secangkir kopi dengan tetangga yang kehausan, atau juga selalu berupaya menepati janji berpotensi membuat kita bahagia, maka tiada alasan untuk tidak menyebutnya ibadah. Begitu juga dengan usaha untuk membangun sekolah gratis buat anak-anak kurang mampu. Ia adalah ibadah, dalam artian yang lebih elegan (fii dzatillah) , saat ternyata dengannya kita bisa lebih yakin tentang kehidupan akhirat.

Pendek kata, semua ini tidaklah tentang apa pun kecuali kebahagiaan. Biar bahagia, kata Syaikh, siapapun penting untuk ibadah, baik itu yang tersurat (fi sifatillah) atau tersirat ( fi dzatillah). Dan di waktu yang sama, untuk sampai pada level kombinasi dua gaya ibadah tersebut, kita diharuskan  untuk tidak menyebut wajib , terbiasa dengan sinergi ilmu dhahir dan bathin.

 Jadi, ketika yang kita mau hanya membaca saja (walau qara'a alfi kutubin), bahasanya Syaikh. Tanpa mau membiasakannya dalam keseharian bermasyarakat, maka itu sama saja. Kebahagiaan tak akan pernah kita dapat, kalau toh dipaksa iya, itu hanyalah bahagia-bahagia ala narkotika, semu! Tidak biusa tidak, keseimbangan antara "mengetahui" dengan "mengamalkan" adalah harga mati.

Masyarakat Pascaliterasi  

Jika dibenturkan dengan kondisi masyarakat hari ini, khususnya Indonesia, apa yang ditegaskan Syaikh Abdul Qadir Jailani di atas sungguhlah menampar masing-masing pipi kita yang penuh make up.Bagaimana tidak, coba kita koreksi diri masing-masing, dalam sehari, berapa kali kita mendapatkan informasi, atau sebut saja pengetahuan., dengan beragam modelnya dari gawai yang seolah tak bisa lepas dari tangan kita. saya yakin, kebanyakan kita tentu kebingungan. Bukan soal pertanyaannya, namun terlampau banyak. Sehingga tak bisa lagi untuk dihitung.

Itulah problemnya, dipungkiri atau tidak, mengapa hari ini seakan, eh bukan seakan sih, tapi memang fakta, kebahagiaan yang kita rasakan cuma seperti   kala kita menguap di pagi hari (dalam arti cepat pergi, tidak long fast) adalah sebab jarang dari kita terbiasa dengan berilmu, terbiasa mengamalkannya. Kita Cuma membiarkannya berlalu begitu saja, hingga yang ada tinggallah hampa. 

Saya tidak membayangkan pemandangan seperti apa yang akan segera kita nikmati bersama jika manusia hari ini berkenan barang sebentar sajameninggalkan gawainy, dan lantas merenungi beberapa saja ilmu yang ia dapatkan darinya, membumikannya! Andai itu benar terjadi, manusia-manusia bersumbu pendek yang maunya hanya didenga, dihormati, serta dihargai, tanpa mau berlaku sebaliknya akan segera menemukan garis kepunahannya. 

Persis seperti apa yang ditegaskan Syaikh jika tujuan hidup tiada lain adalah kebahagiaan, ibadah, perilaku, dan pengetahuan, " wa maa kholaqtu al-jinna wa al-insa illa li ya'buduni (Adz-Dzariyat: 56)." Sebagai catatan saja : ucapan sederhana yang kerap dipakai Syaikh Abdul Qadir Jailani tentang ini adalah "ilmu hakikat".

Dan akhirnya, sebagaimana hadits yang sering digunakan bahwa ilmu hakikat adalah  buah dari "pohon" syariat, ranting tariqat, dan daun ma'rifat, maka inti dari coretan ini bisa dirangkum dalam satu kalimat. Yaitu, bahwa kita sebagai manusia, penting untuk belajar dari kodok di musim hujan yang tidak saja mengerti teori bernyayi, tetapi juga langsung menyanyikannya..!   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun