Mendapati manusia hari ini yang sumbunya terlalu pendek untuk sejenak berpikir serta meraba dirinya pribadi, adalah daya tarik tersendiri untuk menyoal penafsiran Syaikh Abdul Qadir Jailani tentang macam ilmu. Dalam sir al-asrar,beliau memetakan ilmu menjadi 2 bagian yaitu dhahir (eksoteris) dan bathin (esoteris). Saat kita mengetahui serta memahami sesuatu, maka itulah dhahir.Â
Sedangkan saat kita memahami, kemudian menjadikan kebiasaan, itulah bathin. Ilmu dhahir tidak menuntut siapa pun untuk membawanya ke wilayah praktik keseharian, tetapi ilmu bathin sebaliknya. Karena yang pertama tidak memiliki tuntutan, maka posisinya lebih rendah dari yang kedua. Ilmu bathin berada di atas ilmu dhahir.
Apa yang menjadi kesimpulan Syaikh Abdul Qadir Jailani bukan begitu saja dikeluarkan tanpa prinsip. Beliau menjangkarkan pembagian ilmu di atas pada surat Ar-Rahman: 19-20. Ayat pertama, kata Syaikh, kita biusa mendapati bahwa ilmu itu ibarat dua laut yang saling bertemu.Â
Keduanya berbeda, tetapi identik yaltaqiyan. Kita juga boleh menyebut ini, saya kira, sebagai koin bermata dua, berbeda tetapi menyatu, marajal bahraini yaltaqiyan. Adapun ayat ke-20 ini yang membuat greget, menggambarkan betapa kita penting untuk tidak meninggalkan salah satu darinya. Artinya, kita boleh belajar ilmu bathin, tetapi jangan sampai lupa akan ilmu dhahir harus tidak terabaiakn.
Apakah harus begitu? Iya, harus. Soal ini beliau menyejajarkan ilmu dengan ibadah. "Ibadah" katanya, merupakan kunci kebahagiaan. Setiap manusia merindukan kebahaggiaan, atau bahkan ia merupakan tujuan alami manusia diciptakan. Dengan ungkapan lain, salah satu alasan mengapa kita perlu untuk menyinergikan ilmu bathin dan dhahir adalah untuk kebahagiaan kita sendiri.Â
Misalnya saat kita lapar dan mau masak nasi goring, bagaimanapun langkah pertama, pada umumnya yang harus kita lakukan adalah belajar (meski sekilas) cara membuatnya. Selepas paham, barulah eksekusi. Belajar memasak di sini tidak lain merupakan ilmu dhahir, sedangkan memasaknya adalah ilmu bathin. Andai kita cukupkan dengan belajar cara membuat saja, tanpa adanya kemauan untuk eksekusi, akankah nasi goreng tersebut jadi?? Tentu tidak.. begitupun sebaliknya.Â
Dan malahan kalau kita cukup hanya di eksekusi, tanpa belajar, bisa-bisa yang ada adalah "memasak nasi goreng tanpa nasi." Haha, mari kita renungkan sendiri.. begitulah jadinya jika kita tidak bisa seimbang dalam merespon ilmu dan pengetahuan.
Ibadah Sebagai Menantu Idaman Ilmu
Secara cukup jelas Syaikh menulis begini, "wa al-'ibadah al-kamilah bihima (ai adh-dhahir wa al-bathin), la bi wahidihima," ibadah yang sempurna ada di balik sinergi ilmu bathin dan dhahir. Sebelum berjalan lebih jauh, saya pikir penting iuntuk menyamakan dulu spectrum "ibadah" di sini. Bagi yang menganggap ibadah melulu urusan masjid, sajadah, dan dahi, sebentar dulu.Â
Jangan terburu-buru menarik yang merah-merah. Â Di benak Syaikh, "ibadah" adalah pengetahuan, ma'rifah. "Li ya'buduni, ay li ya'rifuni,"tulis beliau ketika memahami surah Adz-Dzariyat : 6. Untuk menjelaskannya, beliau memakai logika begini, bagaimana kita bisa menyembah (dalam bentuk apapun) jika tidak mengerti apapun soal ibadah? Lebih detail, ibadah atau ma'rifah terbagi menjadi dua, fi sifatillah dan fi dzatillah, tersurat dan tersirat. Pertama adalah tentang bagaimana kita bisa bahagia, hidz, hari ini dan besok kedua soal kebahagiaan abadi, akhirat.Â
Jika semisal mendengarkan dengan seksama keluh kesah teman, berbagi secangkir kopi dengan tetangga yang kehausan, atau juga selalu berupaya menepati janji berpotensi membuat kita bahagia, maka tiada alasan untuk tidak menyebutnya ibadah. Begitu juga dengan usaha untuk membangun sekolah gratis buat anak-anak kurang mampu. Ia adalah ibadah, dalam artian yang lebih elegan (fii dzatillah) , saat ternyata dengannya kita bisa lebih yakin tentang kehidupan akhirat.