Pendek kata, semua ini tidaklah tentang apa pun kecuali kebahagiaan. Biar bahagia, kata Syaikh, siapapun penting untuk ibadah, baik itu yang tersurat (fi sifatillah) atau tersirat ( fi dzatillah). Dan di waktu yang sama, untuk sampai pada level kombinasi dua gaya ibadah tersebut, kita diharuskan  untuk tidak menyebut wajib , terbiasa dengan sinergi ilmu dhahir dan bathin.
 Jadi, ketika yang kita mau hanya membaca saja (walau qara'a alfi kutubin), bahasanya Syaikh. Tanpa mau membiasakannya dalam keseharian bermasyarakat, maka itu sama saja. Kebahagiaan tak akan pernah kita dapat, kalau toh dipaksa iya, itu hanyalah bahagia-bahagia ala narkotika, semu! Tidak biusa tidak, keseimbangan antara "mengetahui" dengan "mengamalkan" adalah harga mati.
Masyarakat Pascaliterasi Â
Jika dibenturkan dengan kondisi masyarakat hari ini, khususnya Indonesia, apa yang ditegaskan Syaikh Abdul Qadir Jailani di atas sungguhlah menampar masing-masing pipi kita yang penuh make up.Bagaimana tidak, coba kita koreksi diri masing-masing, dalam sehari, berapa kali kita mendapatkan informasi, atau sebut saja pengetahuan., dengan beragam modelnya dari gawai yang seolah tak bisa lepas dari tangan kita. saya yakin, kebanyakan kita tentu kebingungan. Bukan soal pertanyaannya, namun terlampau banyak. Sehingga tak bisa lagi untuk dihitung.
Itulah problemnya, dipungkiri atau tidak, mengapa hari ini seakan, eh bukan seakan sih, tapi memang fakta, kebahagiaan yang kita rasakan cuma seperti  kala kita menguap di pagi hari (dalam arti cepat pergi, tidak long fast) adalah sebab jarang dari kita terbiasa dengan berilmu, terbiasa mengamalkannya. Kita Cuma membiarkannya berlalu begitu saja, hingga yang ada tinggallah hampa.Â
Saya tidak membayangkan pemandangan seperti apa yang akan segera kita nikmati bersama jika manusia hari ini berkenan barang sebentar sajameninggalkan gawainy, dan lantas merenungi beberapa saja ilmu yang ia dapatkan darinya, membumikannya! Andai itu benar terjadi, manusia-manusia bersumbu pendek yang maunya hanya didenga, dihormati, serta dihargai, tanpa mau berlaku sebaliknya akan segera menemukan garis kepunahannya.Â
Persis seperti apa yang ditegaskan Syaikh jika tujuan hidup tiada lain adalah kebahagiaan, ibadah, perilaku, dan pengetahuan, " wa maa kholaqtu al-jinna wa al-insa illa li ya'buduni (Adz-Dzariyat: 56)." Sebagai catatan saja : ucapan sederhana yang kerap dipakai Syaikh Abdul Qadir Jailani tentang ini adalah "ilmu hakikat".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H