Mohon tunggu...
Inovasi

Syaikh Abdul Qadir Jailani, Kodok yang Bahagia, dan Pengetahuan Hakiki

9 Desember 2017   22:26 Diperbarui: 11 Desember 2017   14:18 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendek kata, semua ini tidaklah tentang apa pun kecuali kebahagiaan. Biar bahagia, kata Syaikh, siapapun penting untuk ibadah, baik itu yang tersurat (fi sifatillah) atau tersirat ( fi dzatillah). Dan di waktu yang sama, untuk sampai pada level kombinasi dua gaya ibadah tersebut, kita diharuskan  untuk tidak menyebut wajib , terbiasa dengan sinergi ilmu dhahir dan bathin.

 Jadi, ketika yang kita mau hanya membaca saja (walau qara'a alfi kutubin), bahasanya Syaikh. Tanpa mau membiasakannya dalam keseharian bermasyarakat, maka itu sama saja. Kebahagiaan tak akan pernah kita dapat, kalau toh dipaksa iya, itu hanyalah bahagia-bahagia ala narkotika, semu! Tidak biusa tidak, keseimbangan antara "mengetahui" dengan "mengamalkan" adalah harga mati.

Masyarakat Pascaliterasi  

Jika dibenturkan dengan kondisi masyarakat hari ini, khususnya Indonesia, apa yang ditegaskan Syaikh Abdul Qadir Jailani di atas sungguhlah menampar masing-masing pipi kita yang penuh make up.Bagaimana tidak, coba kita koreksi diri masing-masing, dalam sehari, berapa kali kita mendapatkan informasi, atau sebut saja pengetahuan., dengan beragam modelnya dari gawai yang seolah tak bisa lepas dari tangan kita. saya yakin, kebanyakan kita tentu kebingungan. Bukan soal pertanyaannya, namun terlampau banyak. Sehingga tak bisa lagi untuk dihitung.

Itulah problemnya, dipungkiri atau tidak, mengapa hari ini seakan, eh bukan seakan sih, tapi memang fakta, kebahagiaan yang kita rasakan cuma seperti   kala kita menguap di pagi hari (dalam arti cepat pergi, tidak long fast) adalah sebab jarang dari kita terbiasa dengan berilmu, terbiasa mengamalkannya. Kita Cuma membiarkannya berlalu begitu saja, hingga yang ada tinggallah hampa. 

Saya tidak membayangkan pemandangan seperti apa yang akan segera kita nikmati bersama jika manusia hari ini berkenan barang sebentar sajameninggalkan gawainy, dan lantas merenungi beberapa saja ilmu yang ia dapatkan darinya, membumikannya! Andai itu benar terjadi, manusia-manusia bersumbu pendek yang maunya hanya didenga, dihormati, serta dihargai, tanpa mau berlaku sebaliknya akan segera menemukan garis kepunahannya. 

Persis seperti apa yang ditegaskan Syaikh jika tujuan hidup tiada lain adalah kebahagiaan, ibadah, perilaku, dan pengetahuan, " wa maa kholaqtu al-jinna wa al-insa illa li ya'buduni (Adz-Dzariyat: 56)." Sebagai catatan saja : ucapan sederhana yang kerap dipakai Syaikh Abdul Qadir Jailani tentang ini adalah "ilmu hakikat".

gambar-katak-lucu-untuk-mewarnai-1-5a2e30ee16835f5b7a0a6bf2.jpg
gambar-katak-lucu-untuk-mewarnai-1-5a2e30ee16835f5b7a0a6bf2.jpg
Dan akhirnya, sebagaimana hadits yang sering digunakan bahwa ilmu hakikat adalah  buah dari "pohon" syariat, ranting tariqat, dan daun ma'rifat, maka inti dari coretan ini bisa dirangkum dalam satu kalimat. Yaitu, bahwa kita sebagai manusia, penting untuk belajar dari kodok di musim hujan yang tidak saja mengerti teori bernyayi, tetapi juga langsung menyanyikannya..!   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun