Banyak konten di sosial media yang mengatasnamakan Islam, tetapi mereka tidak merepresentasikan kespritualan Islam itu sendiri. Seperti konten radikalisme yang menyebarkan kekerasan dalam beragama, dan tentu saja itu bukanlah Islam yang sesungguhnya.
Untuk menghindari paparan radikalisme, hal yang perlu dikuatkan adalah pandangan yang moderat bagi milenial. Sebagai generasi dengan jumlah terbanyak dan paling berpengaruh bagi agama dan negeri, milenial muslim Indonesia harus memiliki semgangat beragama yang penuh cintah, kasih, toleran, dan membawa misi perdamaian, kebaikan dan persaudaraan. Bukan menjadi milenial muslim yang penuh kebencian, kekerasan, perlawanan, dan kekerasan.
Milenial muslim yang moderat menjadi aset penting bagi keharmonisan bangsa dan agama di masa depan. Indonesia adalah negara majemuk yang kaya akan perbedaan. Sehingga sangat penting menciptakan keharmonisan, saling menghargai dan menghormati, serta sikap toleran dan menjunjung tinggi persaudaraan.
Karena kita semua perlu milenial seperti yang dijelaskan diatas, maka para pendakwah pun harus menampilkan hal-hal itu pada milenial. Berdakwah dengan santun, penuh cinta, tanpa kekerasan dan kebencian. Sehingga milenial dapat mengenal Islam yang seperti itu, karena pendakwah adalah representasi dari Islam. Jika pendakwah menampilkan hal yang baik, tentu Islam akan dikenal dengan baik pula di mata milenial.
Satu hal lagi tantangan pendakwah, yaitu menghadapi derasnya perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak sedikit milenial yang bersikap skeptis pada agama, karena agama dianggap tidak rasional dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan ada pula yang agnostik, atau tidak percaya pada agama, karena terbawa iklim ilmuwan Barat yang rata-rata agnostik. Sehingga agnostik menjadi 'tren' di kalangan milenial karena dianggap sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Strategi menghadapi tren agnostik yaitu menjadi pendakwah yang rasional, seperti halnya Nabi Muhammad ketika berdakwah pada Salman Al Farisi.Â
Beliau berdakwah dengan pendekatan-pendekatan intelektual, karena Salman adalah orang yang sangat mempercayai ilmu. Ulama/pendakwah masa kini, bisa pula menggunakan pendekatan intelektual seperti halnya Rosul, tetapi jangan sampai menjadi ulama yang memaksakan keilmiahan Islam. Semua ayat-ayat Al Qur'an dipaksakan keilmiahnnya agar dapat bersaing dengan penemuan dan teori-teori Barat.Â
Tanpa perlu dipaksakan pun, sejatinya Al Qur'an lebih besar cakupannya dari pada teori ilmiah yang ditemukan ilmuwan Barat, karena ilmiah itu terbatas pada akal dan panca indera manusia, sedangkan Al Qur'an adalah firman Allah yang tidak terbatas oleh apapun.
Mungkin akan lebih tepat jika ulama/pendakwah tidak mengekang para milenial, bahwa teori ini haram, teori itu haram, mempelajari ini haram, mempelajari itu haram, hal tersebut-lah yang menjadikan milenial skeptis terhadap ajaran agama. Menjadi milenial Muslim bebas mengambil teori dan ilmu pengetahuan dari manapun, selama jelas kevalidannya, dan selama tidak meninggalkan kepribadian atau prinsip-prinsip agama.
Tantangan selanjutnya bagi para ulama adalah membungkus konten dakwah semenarik dan sekreatif mungkin, seperti tampilan, narasi, dan kemasan dibuat menarik dan kreatf, tanpa menghilangkan substansi dakwah itu sendiri. Bisa dengan gambar, syair, infografis, video atau bahkan meme.Â
Universiti Kebangsaan Malyasia, Hew Wai Teng (2015) melalukan penelititan yang menyebutkan bahwa keberhasilan dakwah dai milenial karena tiga aspek; estetika visual, komunikatif, dan trategi marketing. Jadi, selain mementingkan kualitas substansi dakwah, perlu pula memperhatikan ketiga aspek tersebut.