Mohon tunggu...
Maulida ZulfaAini
Maulida ZulfaAini Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Milenial dan Dakwah Digital

25 Februari 2022   20:13 Diperbarui: 25 Februari 2022   20:27 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Secara umum, kaum muda atau disini saya menyebutnya generasi milenial, hidup di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Generasi ini sangat dekat dengan teknologi informasi digital, seolah tak bisa hidup tanpa gadgetnya. 

Informasi dari gadgetnya melimpah ruah, termasuk konten-konten keagamaan, sehingga tak heran jika banyak milenial yang terpengaruh oleh konten keagamaan dari internet. Lalu, apakah kondisi seperti ini tidak apa-apa?

Sejak zaman dulu, perhatian Nabi Muhammad dalam mendidik anak muda untuk menjadi pendakwah sangat tinggi. Bahkan, beliau selalu meluangkan waktu khusus untuk mendidik anak muda, diantanya yaitu Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, dan yang lainnya. 

Mereka dididik secara khusus oleh Nabi, karena jika kita berbicara masa depan suatu agama, atau bangsa, itu tergantung pada kaum mudanya. Kaum muda ini sangat dijaga oleh Nabi Muhammad, mereka mendapatkan treatment khusus dalam hal intelektual, akhlak, dan dalam semua hal, karena memang di tangan merekalah terjamin masa depan agama Islam.

Kembali ke masa sekarang, ketika milenial sangat dekat dengan media sosial dan menjadikannya sebagai sumber informasi, termasuk informasi keagamaan, apa yang harus dilakukan oleh ulama agar kaum muda ini tetap bisa di-treatment untuk menjamin masa depan Islam dan Indonesia? 

Selama ini, para intelek Muslim, orang-orang terdidik yang bergelar profesor, doktor, dan cendekiawan lainnya, kebanyakan berdakwah atau menyampaikan informasi melalui tulisan-tulisan ilmiah seperti artikel dan jurnal. 

Padahal, hanya sedikit, paling tidak hanya 20% dari kaum muda yang gemar membaca tulisan-tulisan berat seperti artikel dan jurnal, sisanya mereka mencari sumber informasi dari media sosial. Dari sini, terlihat bahwa para cendekiawan yang bertugas men-treatment para milenial tidak mengisi ruang dakwah yang efektif.

Karena hal itulah, jangan heran jika informasi-informasi yang beredar di media sosial tidak sesuai dengan konsep agama yang sebenarnya, bahkan banyak yang menebar hoax dan kebencian. Jadi, media sosial diisi oleh orang yang tidak mampu tapi mau, karena orang yang mampu tidak mau mengisinya. 

Jika kondisi ini terus berlanjut, mungkin akan terjadi apa yang diuraikan Abdul Kadir Audah dalam bukunya yang menjelaskan keadaan masyarakat Islam secara umum, Al Islam Bayn Jahl Abna'ihi wa 'Ajzi 'Ulama'ihi, Islam berada di tengah-tengah kebodohan putra-putrinya dan kelumpuhan para ulamanya.

Untuk mencegah hal itu terjadi, cendekiawan harus 'turun kasta', berdakwah dengan platform media sosial, khusunya youtube, twitter, instagram, atau bahkan tiktok. Ketika milenial memiliki semangat belajar agama yang kuat, tentu ulama/para cendekiawan harus memfasilitasinya agar mereka tidak salah mengambil jalan. 

Karena seperti yang kita ketahui, efek negatif dari kemajuan teknologi informasi ini adalah mudah menyebarnya hoax dan konten-konten yang sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. 

Banyak konten di sosial media yang mengatasnamakan Islam, tetapi mereka tidak merepresentasikan kespritualan Islam itu sendiri. Seperti konten radikalisme yang menyebarkan kekerasan dalam beragama, dan tentu saja itu bukanlah Islam yang sesungguhnya.

Untuk menghindari paparan radikalisme, hal yang perlu dikuatkan adalah pandangan yang moderat bagi milenial. Sebagai generasi dengan jumlah terbanyak dan paling berpengaruh bagi agama dan negeri, milenial muslim Indonesia harus memiliki semgangat beragama yang penuh cintah, kasih, toleran, dan membawa misi perdamaian, kebaikan dan persaudaraan. Bukan menjadi milenial muslim yang penuh kebencian, kekerasan, perlawanan, dan kekerasan.

Milenial muslim yang moderat menjadi aset penting bagi keharmonisan bangsa dan agama di masa depan. Indonesia adalah negara majemuk yang kaya akan perbedaan. Sehingga sangat penting menciptakan keharmonisan, saling menghargai dan menghormati, serta sikap toleran dan menjunjung tinggi persaudaraan.

Karena kita semua perlu milenial seperti yang dijelaskan diatas, maka para pendakwah pun harus menampilkan hal-hal itu pada milenial. Berdakwah dengan santun, penuh cinta, tanpa kekerasan dan kebencian. Sehingga milenial dapat mengenal Islam yang seperti itu, karena pendakwah adalah representasi dari Islam. Jika pendakwah menampilkan hal yang baik, tentu Islam akan dikenal dengan baik pula di mata milenial.

Satu hal lagi tantangan pendakwah, yaitu menghadapi derasnya perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak sedikit milenial yang bersikap skeptis pada agama, karena agama dianggap tidak rasional dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan ada pula yang agnostik, atau tidak percaya pada agama, karena terbawa iklim ilmuwan Barat yang rata-rata agnostik. Sehingga agnostik menjadi 'tren' di kalangan milenial karena dianggap sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.

Strategi menghadapi tren agnostik yaitu menjadi pendakwah yang rasional, seperti halnya Nabi Muhammad ketika berdakwah pada Salman Al Farisi. 

Beliau berdakwah dengan pendekatan-pendekatan intelektual, karena Salman adalah orang yang sangat mempercayai ilmu. Ulama/pendakwah masa kini, bisa pula menggunakan pendekatan intelektual seperti halnya Rosul, tetapi jangan sampai menjadi ulama yang memaksakan keilmiahan Islam. Semua ayat-ayat Al Qur'an dipaksakan keilmiahnnya agar dapat bersaing dengan penemuan dan teori-teori Barat. 

Tanpa perlu dipaksakan pun, sejatinya Al Qur'an lebih besar cakupannya dari pada teori ilmiah yang ditemukan ilmuwan Barat, karena ilmiah itu terbatas pada akal dan panca indera manusia, sedangkan Al Qur'an adalah firman Allah yang tidak terbatas oleh apapun.

Mungkin akan lebih tepat jika ulama/pendakwah tidak mengekang para milenial, bahwa teori ini haram, teori itu haram, mempelajari ini haram, mempelajari itu haram, hal tersebut-lah yang menjadikan milenial skeptis terhadap ajaran agama. Menjadi milenial Muslim bebas mengambil teori dan ilmu pengetahuan dari manapun, selama jelas kevalidannya, dan selama tidak meninggalkan kepribadian atau prinsip-prinsip agama.

Tantangan selanjutnya bagi para ulama adalah membungkus konten dakwah semenarik dan sekreatif mungkin, seperti tampilan, narasi, dan kemasan dibuat menarik dan kreatf, tanpa menghilangkan substansi dakwah itu sendiri. Bisa dengan gambar, syair, infografis, video atau bahkan meme. 

Universiti Kebangsaan Malyasia, Hew Wai Teng (2015) melalukan penelititan yang menyebutkan bahwa keberhasilan dakwah dai milenial karena tiga aspek; estetika visual, komunikatif, dan trategi marketing. Jadi, selain mementingkan kualitas substansi dakwah, perlu pula memperhatikan ketiga aspek tersebut.

Dengan adanya kemajuan teknologi digital seperti sekarang, kita berharap dapat memaksimalkan dakwah moderasi Islam bagi kaum milenial. Berbekal ilmu pengetahuan dan pemahaman agama yang moderat, milenial akan menjadi benteng agama dan negara dari berbagai paham yang menganut kebencian dan radikalisme. 

Milenial akan tumbuh menjadi individu yang berpengetahuan luas, pembawa ajaran Islam yang penuh cinta kasih, dan persaudaraan, sehingga membawa pada kebaikan dan kemanfaatan bagi agama, bangsa, dan alam semesta.

(Maulida Zulfa Aini - anggota KKN MITDR UIN Walisongo)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun