Betul kami segan pada Bapak, tapi bukan berarti hubungan kami juga renggang. Justru kami lebih senang jalan dengannya. Karena ia sangat royal jika mengajak anak-anaknya jalan dan belanja. Beda dengan ibu. Namanya juga manajer keluarga, semua perlu diperhitungkan baik-baik dan direncanakan dengan matang. Pengeluaran tidak boleh seenaknya. Karena perencanaan keuangan yang baik itulah yang akhirnya berhasil mengantarkan kami mampu bersekolah hingga jenjang-jenjang tertinggi.
Setiap hari libur, saat fajar mulai merekah, kami sering diajak berenang ke danau. Inilah momen yang paling ditunggu. Dengan ban besar dikalungkan di leher, kami beramai-ramai jalan kaki menuju danau yang hanya berjarak kurang dari 1 kilometer. Butuh waktu sekitar 10 menit saja untuk tiba di sana. Jika sudah ketemu air kami sering lupa waktu. Perut yang keronconganlah biasanya jadi penanda untuk kami segera mengakhiri kesenangan ini. Tiba di rumah, makan seberapa piring pun jadi tak terasa karena lapar.
Di rumah tidak ada tukang kebun. Makanya kami yang enam perempuan ini plus hanya satu laki-laki berbagi tugas. Sebagian di halaman membantu bapak mencangkul dan mencabuti rumput-rumput liar, sebagian lagi di dapur menyiapkan makan untuk seisi rumah. Biasanya kerja bakti berakhir menjelang magrib tiba. Selesai membersihkan diri, kami sholat berjamaah bersama bapak. Jika malam tiba, lampu di halaman depan dan taman dinyalakan, rasanya puas memandangi hasil kerja kami sepanjang sore tadi. Sering orang-orang lewat bertanya, apa di rumah kami mempekerjakan campboy(tukang kebun keliling, red)? Bapak akan dengan bangga menjawab kalau taman yang indah itu hasil kreasi kami seisi rumah.
Tidak setiap sore kami harus keluar membersihkan pekarangan. Hanya kalau sempat atau saat libur saja. Selebihnya rumput-rumput gajah dan bunga-bunga di halaman cukup disiram saja. Terkadang hasil siraman air menyisakan titik-titik bening di ujung-ujung daun dan kelopak bunga. Bak biji-biji kristal yang indah dalam sorotan lampu taman.
Saat pagi hari, adalah waktu-waktu yang genting. Karena tugas-tugas di rumah yang mesti diselesaikan sebelum kami semua berangkat ke sekolah. Dan itu kerap bikin panik. Antara tugas yang belum selesai dengan waktu sekolah yang sudah pasti tidak dapat dikompromikan. Konsekuensinya kami harus bangun lebih awal agar semua bisa terselesaikan dengan baik. Dalam hal ini ibu cukup ketat mendisiplinkan kami. Tak ada celah yang bisa dilanggar.
Sore hari jika bapak dan ibu tidak ada agenda untuk keluar rumah, kami akan menikmati momen kumpul bersama di beranda. Ruangan paling depan rumah, biasanya untuk menerima tamu. Ada rak buku dan beberapa tanaman bunga dipajang di sini. Sesekali jika tidak ada tamu, ia digunakan sebagai tempat kami ngopi dan ngeteh sore. Ngobrol apa saja. Diselingi dengan bermain musik. Bapak main gitar, saya kebagian pianika, ada pula yang main rekorder dan harmonika. Jika ada yang hafal syairnya, ikutlah menyanyi. Jika tidak, kami cukup menikmatinya dalam bentuk ensamble musicsaja.
Bapak seorang figur ayah yang sederhana, baik, dan bijaksana, sekaligus guru agama, musik, tajwid, akuntansi, menulis steno, huruf lontarak, bahasa Inggris, Â mengetik sepuluh jari, dan guru etiket. Bersama sosok ibu dengan karakter dan kelebihannya masing-masing, kami tumbuh dan menjadi dewasa dalam bentuk seperti sekarang. Sumbangsih mereka berdua sangat berarti dan menentukan tahun-tahun yang kami lalui.
Bapak akan selalu hadir dalam doa-doa dan ingatan kami.
Kurebahkan tubuhku
Memandang bintang-bintang
Ingatanku kembali pada masa silam