Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ada yang Salah dalam Mengajar Anak Membaca

19 Agustus 2015   20:49 Diperbarui: 19 Agustus 2015   20:49 9508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="https://lh4.ggpht.com/unXJnhZXrFC_IGVbFnTgnEEmrCS13mCZ2NxpDBFvNQ-rsh_nvLuFDDzNWS1UGTnYe0zW=h900"]Suatu sore saat saya selesai mengajar mengaji anak-anak di masjid seperti biasa, tiba-tiba dari arah sekolah (gedung sekolah berhadapan dengan masjid) seorang ibu muda melambaikan tangannya. Saya lalu menghampirinya dan terlibat obrolan kecil soal keinginannya untuk mencarikan guru privat anaknya yang berumur 6 tahun yang saat ini duduk di kelas 1 SD. Ada sebuah tempat yang cukup terkenal di daerah kami, hanya sayang lokasinya masih termasuk jauh untuk si anak yang harus bolak-balik dengan berjalan kaki. Dengan sangat berharap ia meminta saya untuk membuka les membaca di rumah agar anaknya tidak perlu repot jauh-jauh ke tempat les tersebut. Kebetulan rumah kami letaknya cukup berdekatan.

Saat itu saya tidak langsung menyanggupi. Mengingat waktu yang sudah cukup tersita dengan mengajar pagi dan sore di masjid, belum lagi mengurusi administrasi toko setiap hari. Ibu ini bercerita tentang usahanya yang sudah masksimal mengajar anaknya membaca. Saya tanya ke dia, “seperti apa usaha yang sudah ibu lakukan?” Maka mengalirlah ceritanya, berisi penggambaran bagaimana cara dia mengajar si anak membaca.

“Saya orangnya keras, bu. Pertama-tama saya ajarkan untuk mengenal abjad a, b, c, dan seterusnya. Kalau berurutan, anaknya masih bisa mengenali. Kalau saya sudah mulai acak hurufnya atau saya gandengkan huruf b dengan a, atau c dengan i, ia tidak bisa baca.” Saya manggut-manggut mendengar penjelasannya. Saya teringat dengan anak bungsu saya yang sekarang sudah kelas 4 SD, di mana dengan metode yang berbeda ia berhasil pandai membaca hanya dalam tempo 3 minggu saja pada usia 4 tahun. Saya masih ingat buku yang saya gunakan saat itu. Judulnya “Revolusi Belajar Membaca Belajar Membaca tanpa Mengeja buku 1 dan 2”, yang ditulis oleh Intan Noviana.

Hasil usaha yang spektakuler tersebut akhirnya selalu menjadi bahan cerita di mana pun saya menemui guru atau orangtua-orangtua yang kesulitan dalam mengajar anak mereka membaca.

Si ibu melanjutkan lagi, “Kalau sudah hilang kesabaran, saya pasti marah-marah ke dia. Pernah lagi saya ikat kakinya saat mengajarinya membaca.”

“Kenapa sampai diikat bu?”, setengah tak percaya saya terus memancingnya untuk bercerita.

“Iya, saya terpaksa ikat, karena kalau tidak, dia suka sekali jalan ke sana kemari menginggalkan tempat duduknya. Bagaimana mau pintar kalau belajar caranya seperti itu?” Si ibu terus nyerocos menceritakan usahanya mengajar si anak membaca. Cerita terbaru yang saya dengar malah si anak pernah digantung terbalik gara-gara tak kunjung pintar membaca.

Sepenggal cerita di atas terus terbayang-bayang dalam pikiranku berhari-hari kemudian. Saya menjadi sangat prihatin dengan kondisi si anak. Oh iya namanya Nailah. Ia pada saat yang sama juga belajar mengaji di masjid. Beberapa kali menghadapinya, saya sering menatapnya dalam-dalam. Menatap jauh ke dalam telaga matanya yang kecil. Ingin mengorek dan memastikan bahwa anak ini punya potensi yang besar dalam belajar. Seperti umumnya anak-anak yang lain. Alhasil penilaian saya tidak meleset. Nailah termasuk anak yang rajin dan cerdas. Meski kadang nampak pancaran tak berdaya dari sorot matanya.

Kira-kira 2 minggu sejak pembicaraan kami saat itu, saya memutuskan untuk menerima permohonan belajar membaca untuk Nailah. Ditambah permintaan beberapa orangtua lain yang benar-benar sudah kewalahan dengan anaknya yang sudah duduk di kelas 3 SD tapi belum lancar membaca. Ada juga yang anak laki-laki kelas 1 SD yang lebih tertarik bermain ke warnet daripada duduk belajar membaca di rumahnya. Si ibu mengaku setiap hari mengomeli si anak agar mau belajar membaca. Tapi anak memasukkannya ke telinga kanan dan langsung mengeluarkannya kembali lewat telinga kiri.

Membaca asyik

Seperti sudah banyak teman Kompasianer ataupun blogger lain yang menulis tentang tema ini, namun tetap juga akan selalu bermanfaat jika ia dibahas dalam tulisan maupun obrolan. Karena siapa tahu ada di antara mereka yang membutuhkan yang membacanya kemudian tergerak untuk melakukan perubahan dalam proses mengajarnya. Jika sudah baik tinggal dilanjutkan, jika belum semoga tulisan sederhana semacam ini mampu mengubahnya.

Pertama-tama, baiknya diubah dulu paradigma tentang membaca bagi anak. Bagi orangtua yang anaknya akan memasuki usia SD, belum bisa membaca adalah sesuatu yang mengkhawatirkan. Karena meskipun sering didengung-dengungkan oleh kalangan pendidik, bahwa anak usia TK sebaiknya belum diberikan pelajaran membaca, namun pada kenyataannya orangtua-orangtua dan guru-guru akhirnya kewalahan juga saat masuk SD kelas 1 ternyata diberikan materi-materi yang menuntut kemahiran membaca anak. Kembali kita akan menuding sistem pendidikan yang tidak saling sinkron dan memanusiakan anak.

Akan tetapi di sini kita tidak akan berlama-lama membahas persoalan sistem tersebut. Tapi pada kenyataan bahwa kehidupan anak terus berlangsung, sementara sistem konon akan masih terus berproses ke arah yang lebih baik. Kita tentu tidak akan menjadi penonton yang hanya pasif melihat kesemrawutan ini. Apa yang bisa kita lakukan, kita lakukan sekarang pada lingkungan terdekat kita.

Banyak orang tumbuh dan besar dengan pemahaman bahwa cara hidup itu adalah sebagaimana cara mereka dahulu dibesarkan. Sulit kita mengelak dari kenyataan ini. Kecuali kita menemukan referensi-referensi dari sumber-sumber yang kita temui dalam proses perjalanan kehidupan kita. Bahwa ternyata metode belajar membaca yang baik dan tepat itu adalah seperti ini. Bahwa ternyata berkomunikasi dengan anak perlu dilakukan dengan cara bla...bla...bla......dan seterusnya. Pada akhirnya banyak pembelajaran yang akan kita temui dalam proses kehidupan kita ini. Tinggal kita mau mengaplikasikannya atau tidak.

Sebelum mengajari anak membaca orangtua perlu memahami dan menyadari bahwa membaca itu adalah aktivitas yang menyenangkan. Jika hal ini kita pahami dengan baik, mengerti metodenya, maka anak akan mampu merasakan perasaan yang sama. Karena banyak orang sebelum mengajak anak masuk ke dunia baca, ia sendiri sudah stress duluan. Mengapa stress? Karena tidak mengerti peta dan medannya dengan baik. Ibarat memasuki wilayah atau hutan yang baru, kita akan dipenuhi dengan rasa was-was, takut kalau nanti di jalan akan mengalami apa, bertemu apa, dan lain-lain kekhawatiran.

Jika kita benar-benar mengenal dunia membaca dengan baik, kita akan tahu bahwa aktivitas membaca haruslah menyenangkan, dilakukan dalam kondisi santai atau rileks, meminimalkan gangguan di sekitar anak, dan mengerti cara kerja otak anak, sehingga kita bisa tahu kapan saatnya berhenti, atau kapan boleh mengetest kemampuan anak. Jika kita berhasil memahami semuanya dengan baik, maka tentu kita bisa melakukannya dengan penuh percaya diri, tidak panik atau emosional, atau terlalu menuntut hasil yang cepat dan sempurna.

Mari perlahan-lahan kita kenalkan anak dengan sebuah dunia yang menyenangkan. Sebuah dunia baca-tulis yang siapa pun yang telah mengenalnya tak akan pernah mau meninggalkannya atau berpisah dengannya. Sebuah gerbang menuju kehidupan yang indah dan memesona, di mana semangat hidup akan terus mengalir bersama waktu yang mengiringinya.                                             

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun