RSUP Abdullah Rivai Palembang ini merupakan Rumah sakit umum tipe C dimana menurut PP Nomor 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan, rumah sakit umum kelas C minimal memiliki 100 tempat tidur. Setelah dilakukan uji coba KRIS JKN turun menjadi 90 tempat tidur, apakah hal ini juga akan menurunkan kelas rumah sakit? Apakah hal ini akan merugikan rumah sakit?
Sementara itu, adanya standardisasi kamar akan berujung pada penyesuaian tarif INA CBGs menjadi 1 harga. Karena sudah tidak ada kelas maka akan berpeluang mengurangi potensi fraud  akibat perbedaan kelas.
Melalui Permenkes Nomor 3 tahun 2023, Pemerintah menaikkan tarif INA CBGs pertama kalinya sejak 2016, akan tetapi hal ini tak selaras dengan KRIS JKN, karena masih memuat kelas I, II, dan III. Sehingga kedepannya mengharuskan pemerintah untuk menetapkan ulang tarif INA CBGs dengan satu harga.
Setelah dilakukan uji coba di empat rumah sakit vertikal kemudian pada Desember 2022 ada perluasan 10 rumah sakit, mungkin kemenkes dan DJSN sebaiknya perlu menelaah lebih lanjut, karena jika tidak dipertimbangkan dengan matang dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lain yang lebih complicated. Menguntungkan salah satu pihak (BPJS) akan tetapi mengorbankan rumah sakit dan peserta BPJS (berkurangnya akses karena berkurangnya tempat tidur di RS). Apakah jika kapasitas tempat tidur menurun juga menurunkan kelas rumah sakit yang didasarkan pada ketersediaan tempat tidur rawat inap (misalnya dari RS kelas C ke kelas D)? Bagaimana rumah sakit menyikapi penurunan tempat tidur yang juga akan menurunkan pendapatan rumah sakit?
Perlu juga regulasi yang matang dan komprehensif yang melihat dari berbagai aspek dan keterkaitannya, karena hal ini akan berdampak terhadap mutu layanan fasilitas kesehatan hingga kenyamanan peserta JKN.
Selain itu juga mungkin bisa dipertimbangkan prioritas masalah yang sering dikeluhkan peserta BPJS agar menjadi prioritas di kriteria KRIS JKN. Setelah masalah tersebut teratasi kemudian beralih fokus ke interior ruang rawat inap. Strategi sukses untuk mengelola kepuasan adalah kemampuan untuk mendengarkan pelanggan. This high level of satisfaction will lead to greatly increased customer loyalty. And increased customer loyalty is the single most important driver of long-term financial performance (Harvard Business Review).
Diharapkan dengan dengan mendengarkan keluhan peserta dan me-follow up nya maka kepuasan peserta akan meningkat dan akan memberikan loyalitas yang tinggi sehingga dengan mengatasi permasalahan peserta JKN, kepuasan akan meningkat sehingga juga akan berdampak pada peningkatan keuangan jangka panjang.
Penulis :
Maulaya Istafa Tiwikrama Ambarwati
Mahasiswi Ekstensi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H