BPJS kembali menjadi sorotan setelah ramai kabar tentang penerapan KRIS JKN. Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS-JKN) merupakan kelas layanan rawat inap rumah sakit pada program JKN yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan menstandarisasi minimum kelas rawat inap JKN melalui 12 kriteria yang harus dipenuhi oleh rumah sakit, menuju kelas tunggal, mengutamakan keselamatan pasien dan standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), serta dimungkinkan naik kelas bagi peserta selain PBI atas pembiayaan sendiri, pemberi kerja atau asuransi kesehatan tambahan.
Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron tujuan dilaksanakannya KRIS ini adalah untuk meningkatkan mutu layanan serta menutup defisit. Karena saat ini BPJS sudah tak lagi defisit maka diharapkan KRIS bisa digunakan untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
KRIS ini merupakan amanah undang-undang No 40 tahun 2004 bahwa jaminan kesehatan dilaksanakan berdasarkan prinsip ekuitas yaitu adanya kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
      Terdapat 12 rancangan kriteria KRIS yang harus dipenuhi oleh rumah sakit yang sebenarnya bukan sesuatu yang baru tapi merujuk pada pedoman teknis bangunan rumah saki- ruang rawat inap kementerian kesehatan tahun 2012. Dan 12 kriteria tersebut fokus pada interior kamar.
Terkait kesiapan rumah sakit dalam implementasi KRIS dilakukan kajian oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di pertengahan tahun 2022. Dari 1220 RS yang mengisi angket ada 1158 yang eligible, hanya 7,2% RS pemerintah dan 14,1% RS swasta yang memenuhi 12 kriteria. (Info BPJS Kesehatan, 2022). Untuk saat ini rumah sakit butuh effort yang lebih untuk bisa memenuhi kriteria secara keseluruhan.
Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN Mickael Bobby Hoelman menuturkan, "Kebutuhan dana untuk perbaikan infrastruktur pemenuhan 12 kriteria di empat RSUP bervariasi mulai dari Rp321 juta hingga Rp2,6 miliar". Ia menyebut semakin tinggi tipe rumah sakit, semakin besar pula biaya perbaikan infrastruktur. Dikutip dari CNN Indonesia (10/02/2023)
Masalah yang sering dikeluhan peserta JKN
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga menyoroti 12 kriteria yang telah ditetapkan dalam implementasi KRIS. Menurutnya, kriteia tersebut hanya fokus di aspek infrastruktur kamar perawatan saja. Padahal persoalan mendasar konsumen terhadap pelayanan di rumah sakit yang utama sebetulnya adalah sumber daya manusia (SDM) di rumah sakit.
"Selama ini jarang ada pasien yang komplain terkait ruang perawatan. Kebanyakan komplainnya terkait obat yang harus dibeli sendiri atau dipulangkan sebelum layak pulang. Jadi saya lihat KRIS tidak terlalu bisa membaca kebutuhan peserta JKN," ungkap koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, dikutip dari Info BPJS Kesehatan (2022)
Direktur Utama BPJS, Ali Ghufron menegaskan, "Dari perspektif peserta JKN, urgensi yang diperlukan oleh peserta sebetulnya adalah dapat diaksesnya pelayanan kesehatan di manapun ketika dibutuhkan, bukan adanya kelas standar. Bagi responden, hak atas obat dan visitasi dokter adalah yang paling penting dalam Program JKN. Apapun kebijakan yang diterapkan, responden berharap ketika KRIS diterapkan, maka harus ada kepastian bahwa hak atas obat, kunjungan dokter dan ketersediaan kamar dijamin dengan baik," dikutip dari Info BPJS Kesehatan (2022)
Peningkatan fasilitas memang penting akan tetapi jika melihat dari sudut padang pasien sebagai fokus pelanggan yang seringkali mengeluhkan tentang SDM (tenaga kesehatan) maka perbaikan kualitas dari tenaga kesehatan secara interpersonal (empati, sikap, komunikasi) bisa dijadikan prioritas untuk upaya perbaikan kualitas layanan. Selain dari petugas kesehatan, ketersediaan obat dan akses dokter juga menjadi aspek yang sering dikeluhkan. Karena asas kemanfaatan akan dirasakan pasien jika harapan dan kebutuhan dari pasien terpenuhi.Â
ISU KRIS JKN
Menurut Timboel, ada beberapa isu terkait dengan KRIS JKN ini, yaitu iuran, ketersediaan tempat tidur, dan INA CBGs (Indonesia Case Based Groups).
Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti pemerintah menekankan tidak ada kenaikan iuran hingga 2024 agar tidak terjadi kegaduhan karena mendekati tahun politik.
"Itu (KRIS) diterapkan secara bertahap. Kami jamin sampai 2024 tidak ada kenaikan iuran. Iuran yang dibayarkan peserta kepada BPJS,"ungkap Ali
"Dan mau mendekati tahun politik supaya tidak gaduh," tambahnya, dikutip dari CNBC (19/03/2023)
Kemungkinan masalah yang akan timbul yaitu untuk peserta mandiri yang baru akan mendaftar kemungkinan besar akan memilih kelas III karena iuran lebih murah dan mendapatkan fasilitas yang sama. Dan seharusnya untuk menjaga prinsip ekuitas tidak ada lagi gagasan adanya satu iuran yang santer terdengar belakangan ini.
Isu yang kedua yaitu ketersediaan tempat tidur, menurut Timboel, kesiapan rumah sakit dalam memenuhi kriteria KRIS dikhawatirkan akan menggerus jumlah ketersediaan tempat tidur. Pasalnya satu tempat tidur harus memiliki luas 10 m2, dengan kelas standar yang berisi 4 tempat tidur, artinya satu ruangan harus seluas 40 m2.
"Kalau tempat tidur dikurangi akan menjadi masalah buat peserta, kapasitas akan lebih sedikit, pasien akan dioper-oper," dikutip dari Bisnis.com (16/06/2022)
Apalagi menurut PP No 47 tahun 2021 dimana untuk kelas standar jumlah tempat tidur minimal 60% untuk RS pemerintah. Misal RS menerapkan 70% tempat tidur untuk kelas standar ditakutkan peserta JKN kesulitan untuk mengakses yang 30%.
"Paling sering dikeluhkan ketika mau masuk rumah sakit itu penuh," kata Deputi Direksi Bidang Kepesertaan, BPJS Kesehatan, Arif Syaefuddin dalam Diskusi Publik dengan tema 'Perlindungan Konsumen Pasien BPJS Kesehatan', dikutip dari merdeka.com (28/4/2021).
Selain itu, dari hasil uji coba KRIS JKN diketahui RSUP Dr. Rivai Abdullah telah memenuhi 12 Kriteria KRIS JKN, meski jumlah tempat tidur pada RSUP Dr. Rivai Abdullah berkurang sebesar 17 tempat tidur dari 107 tempat tidur menjadi 90 tempat tidur. dikutip djsn.go.id (17/02/2023).
RSUP Abdullah Rivai Palembang ini merupakan Rumah sakit umum tipe C dimana menurut PP Nomor 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan, rumah sakit umum kelas C minimal memiliki 100 tempat tidur. Setelah dilakukan uji coba KRIS JKN turun menjadi 90 tempat tidur, apakah hal ini juga akan menurunkan kelas rumah sakit? Apakah hal ini akan merugikan rumah sakit?
Sementara itu, adanya standardisasi kamar akan berujung pada penyesuaian tarif INA CBGs menjadi 1 harga. Karena sudah tidak ada kelas maka akan berpeluang mengurangi potensi fraud  akibat perbedaan kelas.
Melalui Permenkes Nomor 3 tahun 2023, Pemerintah menaikkan tarif INA CBGs pertama kalinya sejak 2016, akan tetapi hal ini tak selaras dengan KRIS JKN, karena masih memuat kelas I, II, dan III. Sehingga kedepannya mengharuskan pemerintah untuk menetapkan ulang tarif INA CBGs dengan satu harga.
Setelah dilakukan uji coba di empat rumah sakit vertikal kemudian pada Desember 2022 ada perluasan 10 rumah sakit, mungkin kemenkes dan DJSN sebaiknya perlu menelaah lebih lanjut, karena jika tidak dipertimbangkan dengan matang dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lain yang lebih complicated. Menguntungkan salah satu pihak (BPJS) akan tetapi mengorbankan rumah sakit dan peserta BPJS (berkurangnya akses karena berkurangnya tempat tidur di RS). Apakah jika kapasitas tempat tidur menurun juga menurunkan kelas rumah sakit yang didasarkan pada ketersediaan tempat tidur rawat inap (misalnya dari RS kelas C ke kelas D)? Bagaimana rumah sakit menyikapi penurunan tempat tidur yang juga akan menurunkan pendapatan rumah sakit?
Perlu juga regulasi yang matang dan komprehensif yang melihat dari berbagai aspek dan keterkaitannya, karena hal ini akan berdampak terhadap mutu layanan fasilitas kesehatan hingga kenyamanan peserta JKN.
Selain itu juga mungkin bisa dipertimbangkan prioritas masalah yang sering dikeluhkan peserta BPJS agar menjadi prioritas di kriteria KRIS JKN. Setelah masalah tersebut teratasi kemudian beralih fokus ke interior ruang rawat inap. Strategi sukses untuk mengelola kepuasan adalah kemampuan untuk mendengarkan pelanggan. This high level of satisfaction will lead to greatly increased customer loyalty. And increased customer loyalty is the single most important driver of long-term financial performance (Harvard Business Review).
Diharapkan dengan dengan mendengarkan keluhan peserta dan me-follow up nya maka kepuasan peserta akan meningkat dan akan memberikan loyalitas yang tinggi sehingga dengan mengatasi permasalahan peserta JKN, kepuasan akan meningkat sehingga juga akan berdampak pada peningkatan keuangan jangka panjang.
Penulis :
Maulaya Istafa Tiwikrama Ambarwati
Mahasiswi Ekstensi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H