Farid Ahmed selamat dari penembakan di Christchurch, tetapi istrinya, Hosne Ahmed, terbunuh. Ia tertembak ketika berlari kembali ke masjid untuk mencoba menyelamatkan suaminya, yang menggunakan kursi roda. Namun ia memaafkan sang pembunuh [62].Â
"Saya kehilangan istri saya, tetapi saya tidak membenci pembunuhnya. Sebagai seorang manusia, saya mencintainya. Tapi maaf, saya tidak bisa mendukung apa yang dia lakukan," ujar Farid [63].
 "Mungkin para teroris berharap umat Islam akan membalas aksi teror mereka. Tapi sebagai pemimpin Muslim, kami mengatakan itu tidak akan terjadi, kami tidak akan membiarkan kalian (kaum Muslim) merasa takut atau membenci manusia lain karena penyerangan itu," ujarnya.
Farid menegaskan, "Saya tidak punya dendam terhadapnya. Saya telah memaafkannya dan saya berdoa untuknya agar Tuhan membimbingnya dan kemudian suatu hari, dia akan menjadi penyelamat" [64].
New Zealand sebagai negara telah berhasil melewati salah satu masa tersulitnya. "One of New Zealand darkest days" sebagaimana dikatakan oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern. New Zealand berhasil mentransformasikan sebuah musibah menjadi kekuatan. Ia berhasil mengubah ancaman perpecahan menjadi persatuan, mengubah ancaman ketakutan menjadi solidaritas dan kebersamaan, mengubah benih-benih kebencian menjadi cinta.
Tak mengherankan ketika Donald Trump (yang dipuji oleh sang teroris sebagai 'symbol of renewed white identity and common purpose'[65]) menelepon Jacinda Ardern, menanyakan bantuan apa yang bisa Amerika Serikat berikan untuk New Zealand?" Jacinda Ardern menjawabnya, "Sympathy and love to all Muslims communities[66] ."
Saya kemudian merenung, membayangkan andaikan peristiwa pembunuhan ini terjadi di Indonesia, sebutlah minoritas Kristen yang sedang beribadah di gereja yang menjadi korban. Apakah warga muslim di Indonesia yang mayoritas akan mendatangi gereja, memeluk para keluarga korban, menjaga gereja dan memastikan umat Kristen bisa beribadah dengan aman?
Andaikan warga Kristen yang terbunuh itu kebanyakan adalah para imigran asal Cina dan India yang sudah menjadi warga negara Indonesia selama puluhan bahkan ratusan tahun, apakah kita akan tetap mendatangi keluarga mereka, memeluknya, dan berkata, "Ini adalah rumahmu. Kamu adalah kami!" seperti yang dikatakan Jacinda Ardern kepada para imigran Muslim yang telah menetap menjadi warga negara New Zealand.
Apakah para remaja kita di sekolah-sekolah di seantero Indonesia, akan keluar berkabung dan memberikan solidaritas dan penghormatannya seperti yang dilakukan oleh siswa-siswi New Zealand? Â
Apakah seminggu setelah penembakan, kita akan mendatangi gereja tersebut memberikan belasungkawa, dan mempersilahkan kom,unitas Kristen di sana untuk melakukan kebaktian di lapang terbuka dan menyiarkan kebaktian mereka secara langsung melalui TV dan Radio ke seluruh Indonesia?