Oleh Maulana M. Syuhada
Beberapa jam setelah peristiwa pembunuhan massal di kota Christchurch yang menelan korban 50 Muslim, Perdana Menteri New Zealand, Jacinda Ardern, memberikan konferensi pers bahwa ini adalah "aksi terorisme" [21]. Ia menjelaskan bahwa banyak korban yang terbunuh adalah imigran atau bahkan pengungsi (refugee). Mereka memilih New Zealand sebagai rumah mereka. Dan ia menegaskan, "It is their home. They are us" (New Zealand adalah rumah mereka. Mereka adalah kami) [22][23]. Â Â
Ucapan belasungkawa pun berdatangan dari seluruh penjuru dunia, mulai dari presiden China, Xi Jinping [24], Ratu Elizabeth [25], hingga Pope Francis di Vatikan [26]. Menara Eiffel di Paris dipadamkan sebagai bentuk berkabung [27], menara Empire State Building di kota New York juga dipadamkan sebagai ekspresi duka cita [28], Opera House di kota Sydney menyalakan "Silver Fern" (daun pakis perak) yang menjadi simbol nasional masyarakat New Zealand [29], Â Jembatan bersejarah, Old Bridge, di kota Mostar, Bosnia Herzegovina diselimuti proyeksi gambar bendera New Zealand [30].Â
Umat Yahudi membuat barisan di sepanjang pintu masuk masjid, Islamic Centre New York University. Mereka memegang berbagai poster dengan tulisan, "We stand with you", "Jews New Yorkers mourn with our Muslim Brother and Sisters", "We support our Muslim Family", ''Jews support our Muslim neighbors", "Love your neighbor as yourself", dan sebagainya [33]. Momen belasungkawa (Vigil) dilakukan di seantero dunia sebagai ungkapan duka cita, solidaritas, dan dukungan untuk korban serangan teroris di New Zealand [34]. Â Dunia sedang berkabung. Â Â
Sehari setelah peristiwa terror ini, Superintendent (AKBP) Neila Hassan, perwira polisi muslim wanita tertinggi di New Zealand, memberikan pidatonya di hadapan ribuan warga New Zealand di kota Auckland [35]. Ia membuka pidatonya dengan salam, kemudian melanjutkannya dengan bacaan hamdalah dan sholawat.Â
Matanya berkaca-kaca menahan duka yang mendalam, suaranya parau, ia berhenti berkata menahan tangis, menarik nafas, menenangkan diri, dan menyelesaikan sholawat dengan suara yang terbata-bata. Namun sebagai seorang perwira polisi ia harus tegar. Naila Hassan tetap tegap, ia kesampingkan emosinya, dan berkata, "I am a proud Muslim and I am a leader in the New Zealand Police and I am horrified at the events in Christchurch!" [36]. Perlu 20 tahun bagi seorang Naila Hassan sebelum akhirnya ia berani mengungkapkan identitas keislamannya secara publik [37].Â
Perdana Menteri (PM) Jacinda Ardern mengenakan kerudung hitam sebagai bentuk solidaritas dan dukungan sang Perdana Menteri kepada rakyatnya yang sedang berduka [38]. Ia datang mengunjungi para keluarga korban dan memeluknya satu persatu [39]. Lebih jauh dari itu, ia masuk ke masjid, menyerap duka cita, mendengarkan keluhan, menawarkan bantuan, memastikan semua kebutuhan para korban, keluarga korban, dan komunitas Muslim di Christchurch terpenuhi [40]. Polisi dikerahkan untuk menjaga masjid, bukan hanya di Christchurh tapi di kota-kota lainnya di seantero New Zealand. Ia meyakinkan warganya bahwa negara hadir mencukupi kesejahteraan mereka dan memberikan perlindungan maksimal, menghadirkan rasa aman kepada warganya [41].Â