Mohon tunggu...
Maulana M. Syuhada
Maulana M. Syuhada Mohon Tunggu... lainnya -

Founder Tim Muhibah Angklung https://www.angklungmuhibah.id Buku: 40 Days in Europe (2007), Maryam Menggugat (2013), The Journey (2019)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

The Journey: 1 - The Arrival

6 Maret 2019   08:25 Diperbarui: 15 Maret 2019   01:23 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ladies and gentlemen, we have just landed at Schiphol International Airport. Welcome to Amsterdam!"

Terdengar pengumuman dari cabin crew memenuhi ruangan kabin pesawat Garuda, GA 088, yang kami tumpangi. Saya memandang ke sekeliling. Terlihat para penumpang merapikan posisi duduk dan merapikan barang-barang pribadinya. 

Di sela-sela mereka bertebaran remaja-remaja paruh baya. Sebagian masih menggeliatkan badan, berusaha mengumpulkan nyawa yang sempat menghilang ketika mengudara selama belasan jam tadi. Sebagian terlihat celingak-celinguk, menoleh ke kiri dan ke kanan, seolah berkata, "Beneran nih, kita mendarat di Amsterdam?"

Ya, di perjalanan kali ini, saya membawa 31 remaja pemberani atau lebih tepatnya "remaja nekat". Ya betul "nekat", karena pemberani saja belum tentu bisa mengantarkan kami mendarat di Eropa. 

Sebagian besar adalah anak-anak SMA kelas 2 dan 3, ditambah beberapa gelintir mahasiswa tingkat 1. Kami menamakan diri kami, Tim Muhibah Angklung. Muhibah adalah kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab yang berarti "Cinta" atau "Kasih Sayang". Jadi Tim Muhibah Angklung adalah kumpulan anak-anak yang mencintai angklung atau bermain angklung dengan cinta atau menebarkan cinta lewat angklung.

Pada musim panas kali ini, kami akan berpetualang selama 32 hari, menyusuri kota-kota Eropa yang tersebar di antara Amsterdam di barat dan Istanbul di paling timur benua Eropa, seraya memanjakan penduduk Eropa dengan getaran bilah-bilah bambu yang akan kami mainkan di konser-konser angklung. Kami akan mengikuti dua folklore festival: di kota Aksehir, Turki dan kota Visoko, Bosnia Herzegovina. 

Selain itu kami juga akan mengikuti sebuah youth art competition di kota Sozopol, Bulgaria. Total perjalanan yang akan kami tempuh adalah sekitar 7.535 km, atau hampir sama dengan jarak dari Sabang sampai Merauke. Kami akan melewati 15 negara, dan semuanya akan kami tempuh lewat perjalanan darat dengan menggunakan bus.

Selain saya dan empat orang personil tim, tidak ada satu pun yang pernah menginjakkan kaki di Eropa. Wajar, jika sebagian mereka terlihat seperti Si Kabayan Saba Kota.

Walaupun Mbak pramugari telah mengumumkan agar tetap duduk sampai pesawat mencapai tempat parkir tujuannya, tetap saja ada yang berdiri, keluar dari bangku, bahkan bersiap-siap mengambil koper. Ya namanya juga Kabayan, mohon dimaklum saja lah. Biasa naek elf (elep) Bandung -- Garut, sekarang harus naek pesawat Jakarta -- Amsterdam. 

Wajarlah kalau terkena gegar budaya. Masih untung tidak ada yang memanjat kap pesawat untuk mengambil koper, karena kalau kita naek elf Bandung -- Garut, biasanya koper-koper ditaruh di kap atas mobil, kemudian diikat oleh tali rapia atau tambang. Itulah mungkin sebabnya maskapai penerbangan memiliki kebijakan yang sangat ketat terhadap barang bawaan yang overweight atau oversize, karena memang tidak mungkin ditaruh di atas kap pesawat, apalagi cuma diikat pake tali rapia.

Sebetulnya enam bulan yang lalu, saya sempat membawa tim ini ke benua Australia, untuk pemanasan, agar tidak syok ketika mengikuti perjalanan Eropa. Dan saya cukup terkejut ketika tahu bahwa ada personil tim yang bukan saja belum pernah naik pesawat, tapi belum pernah naik kereta dan belum pernah ke Jakarta, apalagi ke Australia. Momen naek kereta di Melbourne adalah momen bersejarah untuknya, karena itulah untuk pertama kali dalam hidupnya, ia naik kereta. Luar biasa!

Tapi Rivan, begitulah ia biasa dipanggil, tidak pernah merasa rendah diri. Orangnya kalem dan bersahaja. Ia cukup fashionable. Topi oranye kesayangannya dibalikkan ke belakang dengan poni rambut yang sedikit menjuntai ala "stock on you" (ga tau ya, rambut "stock on you" kaya apa? Susah jelasin nya, googling aja ya! ^_^ ). Ia juga seorang yang humoris. 

Namun selera humornya terlampau tinggi, sehingga seringkali anak-anak tidak mengerti dan menganggapnya "garing", padahal menurut saya ia adalah seorang yang jenius. Ia bisa berbicara dalam bahasa apapun dan kepada siapapun, bahkan bahasa binatang sekalipun (emangnya Nabi Sulaiman).

 Walau seringkali keduanya tidak saling paham (Nah ini bedanya). Kalaulah ia diberi kesempatan untuk mengikuti SUCI (Stand Up Comedy Indonesia) di Kompas TV, saya cukup yakin ia belum tentu bisa memenangkannya, karena masih banyak komedian-komedian lain yang lebih lucu dan berpengalaman. (Ngomong naon sih urang teh, asa teu nyararambung kieu :D)

Dibalik penampilannya yang sederhana dan polos, Rivan punya percaya diri yang tinggi. Ia adalah salah satu pemain kendang di tim. Kendang adalah salah satu alat musik kunci dalam sebuah orkestra angklung. Ia yang menentukan ritme dan tempo lagu. Kendang hanya bisa dimainkan oleh orang yang percaya diri karena ia berpengaruh besar terhadap kesuksesan penampilan sebuah tim. 

Kesalahan ritme dan tempo pada kendang bukan hanya bisa merusak lagu tapi juga bisa mengacaukan penari. Karena gerakan penari senantiasa berpatokan pada ketukan Kendang. 

Beruntung kami memiliki tiga pemain kendang yang handal, Oi, Yohan dan Rivan atau dikenal dengan sebutan "Trio Detektif", begitu saya menamainya, terinspirasi dar novel detektif "Alfred Hitchcock and the Three Investigators". Apa hubungannya detektif dengan kendang. Ya daripada dinamai "Trio Macan", lebih tidak nyambung lagi.

Namun Rivan sering kali over-confident, apalagi dalam masalah bahasa yang merupakan skill kebanggaannya, seperti yang terjadi ketika kami mendarat di Bandar Udara Internasional Melbourne setengah tahun yang lalu. Waktu itu Rivan diberi tanggung jawab untuk mengangkut peti-peti angklung yang berukuran besar. 

Sementara semua anak sudah keluar dan menunggu di selasar terminal kedatangan, tim logistik bersama peti-peti angklung belum juga muncul dari balik pintu kedatangan.

Setengah jam, satu jam, 1,5 jam berlalu sudah, belum ada tanda-tanda kemunculan peti. Tiba-tiba Audi, gegedug tim perlengkapan, setengah berlari datang menghampiri.

"Gawat, Rivan ditangkep custom (bea cukai)!" ujar Audi kepada anak-anak yang menunggu di selasar.
"Hah, ditangkep custom?" tanya anak-anak.
"Maksudnya, diperiksa custom!" ralat Audi.
"Kok bisa?"
"Itu dia. Dia kan bawa troli yang isinya peti-peti angklung. Pas mau keluar, ditanya petugas custom."

"Any goods to declare?" tanya petugas bandara kepada Rivan.
"Sorry?" tanya Rivan berusaha memahai pertanyaan petugas.
"Any goods to declare?" petugas mengulangi pertanyaannya.
"What? Good? Yes.. yes.. good .. yes good!" jawabnya dengan senyuman lebar.

"Nah dikira si Rivan, si petugas teh nanya kabar, dijawab we, 'Yes, good!'. Padahal maksudnya si petugas kan 'goods' alias 'barang', ujar Audi. "Udah lah itu mah, semua peti kita masuk ke pemeriksaan custom," sambungnya lagi sambil tertawa mangkel.

Kabayan, kabayan! Ini mah bukan kabayan saba kota lagi, tapi kabayan saba Melbourne!

***

Jam menunjukkan pukul 08.25 waktu Amsterdam. Pesawat sudah parkir dengan sempurna, para penumpang pun berdiri, berebutan mengambil koper-kopernya. Anak-anak ikut terbawa arus, mereka tidak kalah sigap dalam mengambil koper-koper, mengamankannya seraya berdiri mengantri di lorong pesawat.

1-pesawat-4-5c7f24dac112fe3b9b3e6f43.jpg
1-pesawat-4-5c7f24dac112fe3b9b3e6f43.jpg
"Gais, inget ya, waktu kita sangat tight! So, semua harus gercep, ga ada yang haha-hehe dulu! Semua langsung ambil bagasi dan tancap gas ke bus untuk loading!" ujar saya kepada anak-anak yang tampaknya masih terkena euphoria pendaratan pertama mereka di benua Eropa.

Konser pertama kami di Eropa adalah di Berlin, dan itu akan diselenggarakan malam ini. Ya, betul malam ini, jam 19.00 waktu Jerman, alias 10,5 jam lagi. Jarak Amsterdam -- Berlin adalah 714 Km atau sekitar 10 jam perjalanan dengan menggunakan bus. Kalau pun kita berangkat dari Amsterdam pukul 09.00, maka kita baru akan tiba di Amsterdam, pukul 19.00, bertepatan dengan waktu dimulainya konser. Karenanya kita semua telah sepakat untuk ganti kostum di dalam bus, dan begitu sampai, langsung unloading barang dan lari ke atas panggung untuk pentas.

Namun sebelum itu semua bisa terjadi, kami harus melewati tantangan pertama kami, meninggalkan Amsterdam secepat mungkin. Dan semuanya tergantung pada kecepatan proses pengambilan bagasi dan loading ke dalam bus. Supir bus sudah saya wanti-wanti untuk stand by di bandara jam 09.00. Tim loading yang diketuai Rizqie atau biasa dipanggil Qie akan menjadi kunci keberhasilan proses ini.

Antrian dalam pesawat masih belum bisa bergerak karena pintu pesawat belum dibuka.

"Gais, tolong semua gercep, dan ikuti instruksi Qie!" ujar saya kepada anak-anak.
"Qie, kamu ketua tim loading. Kalau loading kita gagal, maka itu berarti ketuanya!" ujar saya. Qie mengerutkan dahinya, ingin menyangkal, tapi tidak bisa.

"Tapi kalau kita berhasil on time, berarti semua berkontribusi terhadap kesuksesan ini. Kerja sama tim!" sambung saya. Anak-anak tertawa sementara Qie hanya bisa nyengir.

Tidak jauh di belakang terlihat Rivan yang berdiri santai dengan ransel di punggungnya. Mukanya terlihat berseri-seri masih terbius euphoria pendaratan Eropa perdananya. Untung dulu anak-anak sempat pemanasan ke Australia. Bisa dibayangkan kalau peti-peti angklung itu tertahan di bea-cukai Amsterdam seperti di Melbourne dulu, maka konser di Berlin hanya akan tinggal kenangan. Saat ini, setiap menit begitu berharga, karena konser taruhannya. Semuanya harus mulus alias zero mistake! Saya melambaikan tangan ke Rivan, memastikan kalau ia siap tempur.

"Van, any goods to declare?" seru saya kepadanya.
"Hah...?" jawabnya berusaha menangkap perkataan saya.
"Any goods to declare?" saya mengulanginya lagi.
"Sorry...?" jawabnya lagi.

"Wah enggeus ieu mah moal bener," ujar saya dalam hati.
"Qie, kawal si Rivan!" ujar saya kepada Qie yang tampak termenung, mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu, memikirkan nasibnya andaikan loading gagal. (Euh, saruana ieu!)

Pintu pesawat dibuka. Satu persatu penumpang mulai keluar dari pesawat.

Anak-anak ternyata cukup gercep dan terorganisir. Mereka sudah dibagi ke beberapa kelompok kecil. Ada yang mengumpulkan troli, ada yang mengambil koper-koper di ban berjalan, ada juga yang mapping situasi bandara, memastikan akses keluar pintu bandara lancar. Sementara itu Rivan dan tim perlengkapan menuju oversize baggage untuk mengambil peti-peti angklung dan instrumen lainnya. Total ada 16 peti atau soft case dengan berat total 300 kg, mulai dari peti angklung, peti kendang, peti akompanimen, peti bass drum, sampai hard case bas betot (contra bass) yang tingginya dua meter. Ditambah puluhan koper anak-anak, kami memang lebih terlihat seperti rombongan transmigrans yang akan mengadu nasib, membuka ladang tani di Belanda, daripada grup orkestra.

Saya bergegas menyambungkan HP ke wifi bandara untuk mengecek pesan WA (Whatsapp) dan email yang masuk. Sebelum boarding, saya sudah mengirim email kepada perusahaan bus, meminta mereka untuk memberikan nomor HP supir bus yang akan menjemput kami di bandara. Saya cek inbox, ternyata belum ada jawaban apapun dari perusahaan bus. Saya pun mengontak Rian, sahabat lama yang tinggal di Berlin.

Sewaktu saya kuliah di Hamburg (Jerman) dulu, Rian adalah salah satu personil pertama tim Angklung Hamburg Orchestra (AHO) yang didirikan oleh saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia di Hamburg. Waktu berlalu begitu cepat, Rian yang dulu masih SMP, sekarang sudah bekerja sambil kuliah di Berlin. Ia juga merupakan bagian dari Tim Muhibah Angklung. Di perjalanan ini ia akan bertugas sebagai sound recordist, memastikan semua konser dan pertunjukan kami terekam dengan baik.

"Yan, kita sudah mendarat di Schiphol. Bisa tolong hubungi perusahaan bus? Saya perlu no HP driver dan lokasi parkir mereka. Contact details-nya ada di email. Saya sudah forward tadi! Cek email ya!" tulis saya dalam pesan WA kepada Rian.

Kami menyewa bus dari perusahaan bus Jerman karena kebetulan harga yang mereka tawarkan paling kompetitif. Untuk menghemat ongkos, kami hanya menyewa bus untuk one way transfer saja. Artinya mereka hanya akan menjemput kami di bandara dan mengantarkannya ke tempat tujuan. Setelah itu tugas selesai.

Tak lama kemudian masuk pesan WA dari Rian,

"GAWAT KANG! BIG BIG BIG PROBLEM!"

Kemudian dia mengirimkan screenshot inquiry email yang saya kirim ke perusahaan bus. Tertulis di situ,

"We will be arriving at Schiphol Airport in Amsterdam on Friday, 29th July 2018 at 08.30 in the morning."

Sekarang masih bulan Juni, tepatnya 29 Juni 2018. Ya, saya salah tulis bulan, seharusnya Friday, 29 June 2018! Bus untuk kita memang sudah di-reserved dan disiapkan, tapi untuk bulan depan.

Perusahaan bus sudah mencoba menghubungi jaringannya di Jerman dan Belanda untuk mendapatkan bus pengganti. Namun untuk waktu yang begitu mendadak, tidak ada satu pun perusahaan bus yang sanggup, apalagi ini musim panas, dimana bus-bus sudah full booked berminggu-minggu sebelumnya.

Tak lama kemudian masuk pesan WA dari panitia konser di Berlin,

"Kang Maul, posisi dimana? Sudah otw Berlin? Insya Allah, kami sudah ready di sini, dan Pa Dubes sudah confirmed akan hadir nanti malam ke konser!"

JENG JENG....!!!

Bersambung ke wattpad https://www.wattpad.com/MaulanaSyuhada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun