"Van, any goods to declare?" seru saya kepadanya.
"Hah...?" jawabnya berusaha menangkap perkataan saya.
"Any goods to declare?" saya mengulanginya lagi.
"Sorry...?" jawabnya lagi.
"Wah enggeus ieu mah moal bener," ujar saya dalam hati.
"Qie, kawal si Rivan!" ujar saya kepada Qie yang tampak termenung, mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu, memikirkan nasibnya andaikan loading gagal. (Euh, saruana ieu!)
Pintu pesawat dibuka. Satu persatu penumpang mulai keluar dari pesawat.
Anak-anak ternyata cukup gercep dan terorganisir. Mereka sudah dibagi ke beberapa kelompok kecil. Ada yang mengumpulkan troli, ada yang mengambil koper-koper di ban berjalan, ada juga yang mapping situasi bandara, memastikan akses keluar pintu bandara lancar. Sementara itu Rivan dan tim perlengkapan menuju oversize baggage untuk mengambil peti-peti angklung dan instrumen lainnya. Total ada 16 peti atau soft case dengan berat total 300 kg, mulai dari peti angklung, peti kendang, peti akompanimen, peti bass drum, sampai hard case bas betot (contra bass) yang tingginya dua meter. Ditambah puluhan koper anak-anak, kami memang lebih terlihat seperti rombongan transmigrans yang akan mengadu nasib, membuka ladang tani di Belanda, daripada grup orkestra.
Saya bergegas menyambungkan HP ke wifi bandara untuk mengecek pesan WA (Whatsapp) dan email yang masuk. Sebelum boarding, saya sudah mengirim email kepada perusahaan bus, meminta mereka untuk memberikan nomor HP supir bus yang akan menjemput kami di bandara. Saya cek inbox, ternyata belum ada jawaban apapun dari perusahaan bus. Saya pun mengontak Rian, sahabat lama yang tinggal di Berlin.
Sewaktu saya kuliah di Hamburg (Jerman) dulu, Rian adalah salah satu personil pertama tim Angklung Hamburg Orchestra (AHO) yang didirikan oleh saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia di Hamburg. Waktu berlalu begitu cepat, Rian yang dulu masih SMP, sekarang sudah bekerja sambil kuliah di Berlin. Ia juga merupakan bagian dari Tim Muhibah Angklung. Di perjalanan ini ia akan bertugas sebagai sound recordist, memastikan semua konser dan pertunjukan kami terekam dengan baik.
"Yan, kita sudah mendarat di Schiphol. Bisa tolong hubungi perusahaan bus? Saya perlu no HP driver dan lokasi parkir mereka. Contact details-nya ada di email. Saya sudah forward tadi! Cek email ya!" tulis saya dalam pesan WA kepada Rian.
Kami menyewa bus dari perusahaan bus Jerman karena kebetulan harga yang mereka tawarkan paling kompetitif. Untuk menghemat ongkos, kami hanya menyewa bus untuk one way transfer saja. Artinya mereka hanya akan menjemput kami di bandara dan mengantarkannya ke tempat tujuan. Setelah itu tugas selesai.
Tak lama kemudian masuk pesan WA dari Rian,
"GAWAT KANG! BIG BIG BIG PROBLEM!"
Kemudian dia mengirimkan screenshot inquiry email yang saya kirim ke perusahaan bus. Tertulis di situ,