"Nah dikira si Rivan, si petugas teh nanya kabar, dijawab we, 'Yes, good!'. Padahal maksudnya si petugas kan 'goods' alias 'barang', ujar Audi. "Udah lah itu mah, semua peti kita masuk ke pemeriksaan custom," sambungnya lagi sambil tertawa mangkel.
Kabayan, kabayan! Ini mah bukan kabayan saba kota lagi, tapi kabayan saba Melbourne!
***
Jam menunjukkan pukul 08.25 waktu Amsterdam. Pesawat sudah parkir dengan sempurna, para penumpang pun berdiri, berebutan mengambil koper-kopernya. Anak-anak ikut terbawa arus, mereka tidak kalah sigap dalam mengambil koper-koper, mengamankannya seraya berdiri mengantri di lorong pesawat.
Konser pertama kami di Eropa adalah di Berlin, dan itu akan diselenggarakan malam ini. Ya, betul malam ini, jam 19.00 waktu Jerman, alias 10,5 jam lagi. Jarak Amsterdam -- Berlin adalah 714 Km atau sekitar 10 jam perjalanan dengan menggunakan bus. Kalau pun kita berangkat dari Amsterdam pukul 09.00, maka kita baru akan tiba di Amsterdam, pukul 19.00, bertepatan dengan waktu dimulainya konser. Karenanya kita semua telah sepakat untuk ganti kostum di dalam bus, dan begitu sampai, langsung unloading barang dan lari ke atas panggung untuk pentas.
Namun sebelum itu semua bisa terjadi, kami harus melewati tantangan pertama kami, meninggalkan Amsterdam secepat mungkin. Dan semuanya tergantung pada kecepatan proses pengambilan bagasi dan loading ke dalam bus. Supir bus sudah saya wanti-wanti untuk stand by di bandara jam 09.00. Tim loading yang diketuai Rizqie atau biasa dipanggil Qie akan menjadi kunci keberhasilan proses ini.
Antrian dalam pesawat masih belum bisa bergerak karena pintu pesawat belum dibuka.
"Gais, tolong semua gercep, dan ikuti instruksi Qie!" ujar saya kepada anak-anak.
"Qie, kamu ketua tim loading. Kalau loading kita gagal, maka itu berarti ketuanya!" ujar saya. Qie mengerutkan dahinya, ingin menyangkal, tapi tidak bisa.
"Tapi kalau kita berhasil on time, berarti semua berkontribusi terhadap kesuksesan ini. Kerja sama tim!" sambung saya. Anak-anak tertawa sementara Qie hanya bisa nyengir.
Tidak jauh di belakang terlihat Rivan yang berdiri santai dengan ransel di punggungnya. Mukanya terlihat berseri-seri masih terbius euphoria pendaratan Eropa perdananya. Untung dulu anak-anak sempat pemanasan ke Australia. Bisa dibayangkan kalau peti-peti angklung itu tertahan di bea-cukai Amsterdam seperti di Melbourne dulu, maka konser di Berlin hanya akan tinggal kenangan. Saat ini, setiap menit begitu berharga, karena konser taruhannya. Semuanya harus mulus alias zero mistake! Saya melambaikan tangan ke Rivan, memastikan kalau ia siap tempur.