Mohon tunggu...
Maulana M. Syuhada
Maulana M. Syuhada Mohon Tunggu... lainnya -

Founder Tim Muhibah Angklung https://www.angklungmuhibah.id Buku: 40 Days in Europe (2007), Maryam Menggugat (2013), The Journey (2019)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Trilogy Ahok: The Silent Majority (Bagian 3 - Habis)

19 Desember 2016   16:10 Diperbarui: 22 Januari 2017   17:22 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya yakin bahwa setiap kejadian pasti mengandung hikmah di dalamnya. Minimal, dengan kejadian ini, banyak rakyat Indonesia jadi tahu asbabun nuzul (latar belakang) atau konteks diturunkannya Surat Al-Maidah ayat 51, dan menjadi tahu bahwa hanya di negara Indonesia saja kata “Auliya” pada Al-Maidah 51 diterjemahkan “pemimpin”, sementara di negara-negara lain diterjemahkan, friends, allies, protectors, dsb. Dengan kejadian ini juga masyarakat Indonesia semakin mengenal Ahok. Bisa jadi, yang tadinya berprasangka buruk dan membenci Ahok (karena hoax dan fitnah yang beredar), mungkin jadi berbalik mengapresiasi Ahok setelah membaca dan mempelajari lebih dalam tentangnya. Seperti kata pepatah, “Tak kenal maka tak sayang.”

Sekarang semuanya terpulang kepada kita. Apakah kita akan diam saja, menjadi silent majority, atau kita bangkit dan berani menyatakan sikap kita. Buya Syafi’i Ma’arif telah memberikan keteladanannya. Ia tetap istiqamah menyampaikan kebenaran, menyuarakan hati nuraninya walau harus menentang arus perlawanan yang besar, walau harus dihujat dan dihina.

“Kebenaran itu tidak bisa dikalahkan dengan emosi. Saya akan sampaikan apa yang saya pandang benar. Bahwa saya harus berhadapan dengan banyak orang, dengan MUI. Saya tidak memusuhi mereka. Mari kita tegakkan persaudaraan dalam perbedaan. Kita bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan untuk menjaga kesatuan dan kebinekaan Indonesia.”[8] 


Setelah itu hinaan dan cacian oleh para netizen ditumpahkan kepada buya, mulai dari munafik, pikun, penjual akidah, ustad honorer, tentara setan, laknatullah, tua bangka, dajjal, dan banyak lagi.

Saya jadi teringat ketika saya melawan kampanye SAVE MARYAM yang diluncurkan oleh Mercy Mission UK, sebuah organisasi Muslim yang berbadan hukum yayasan (charity) di London, saya pun dihina dan digelari macam-macam, mulai dari pembela kafir, fasiq, munafik, antek JIL, dll. Apalagi waktu itu Ustad Salim A. Fillah sempat membela organisasi ini di twitter-nya. Namun ketika kampanye Save Maryam gulung tikar, websitenya tidak bisa diakses lagi, page FB-nya menghilang, dan belakangan pemerintah UK mencabut izin yayasan ini, semua yang gencar membelanya diam seribu bahasa. Uang ribuan poundsterling yang dikumpulkan oleh organisasi ini selama Ramadhan yang katanya untuk membangun TV Channel dan hotline di Indonesia entah kemana, tak terdeteksi, ikut menghilang bersama yayasannya. Artikel-artikel yang saya tulis di facebook untuk melawan kampanye Save Maryam kemudian dikumpulkan, dan diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul MARYAM MENGGUGAT: Menguak Propaganda Save Maryam (2013). Apalah artinya saya dibandingkan dengan Ustad Salim A. Fillah. Baik dari segi pengetahuan agama dan akhlak saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan beliau. Tapi setidaknya, saya lebih tabayyun dan teliti dalam kasus Save Maryam.

Saya merasa terpanggil ketika melihat Buya Ma’arif berdiri kokoh, memikul semua cacian dan hinaan kepada dirinya. Saya juga kagum dan berterima kasih kepada teman-teman yang dengan sabar dan tiada henti-hentinya berusaha menghalau fitnah, meluruskan hoax, dan menetralisir kampanye-kampanye hitam dengan bahasa yang santun, argumen-argumen yang logis dan mencerahkan. Semua itu perlu pengorbanan waktu, tenaga, pikiran yang tidak sedikit, di sela kesibukan mereka sehari-hari. Semoga Allah membalas segala pengorbanan teman-teman dengan kebaikan yang berlipat ganda.

5-10 tahun yang lalu orang tidak pernah berpikir Donald Trump akan menjadi presiden AS. Dahulu semua itu hanyalah isapan jempol belaka. Tapi hari ini semua itu nyata. Beberapa bulan yang lalu, ide Habib Rizieq menjadi presiden R.I. hanyalah isapan jempol belaka. Namun pasca aksi 411 dan 212, Habieb Rizieq naik daun dan mulai digadang-gadang sebagai calon presiden RI. 5-10 tahun lagi, isapan jempol ini bisa jadi kenyataan, jika kita terus berdiam diri melihat kaum intoleran bertindak sewenang-wenang tanpa bisa terjangkau hukum.

Saya melihat bahwa banyak yang datang ke aksi 411 dan 212 dengan tulus ikhlas, dengan niat yang baik. Banyak sahabat-sahabat saya yang pergi ke Monas, dan mereka adalah orang-orang baik. Mereka paham betul bahwa Islam adalah agama yang damai, santun, adil, dan menyejukkan, agama yang rahmatan lil’alamien, rahmat bagi alam semesta. Memang kita berbeda dalam menyikapi kasus Ahok. Itu semua adalah hal yang wajar. Seperti yang Buya Ma’arif katakan, “Mari tegakkan persaudaraan dalam perbedaan!” Karena tanpa kerja sama dan persatuan dari seluruh rakyat Indonesia, baik yang pro maupun kontra Ahok, kita tidak bisa menegakkan keadilan dan menghalau anarkisme dan intoleransi dari bumi Indonesia.

Jangan sampai ada lagi peribadahan yang dibubarkan. Jangan ada satupun manusia di Indonesia yang takut melaksanakan ibadahnya karena ancaman. Jangan sampai itu terjadi lagi. Karena beribadah adalah hak asasi setiap manusia!

Dari Bandung untuk Indonesia yang lebih baik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun