"Kita ini tidak miskin, tapi dimiskinkan oleh sistem". Itu pernyataan Bung Karno. Gemanya menemukan relevansi saat ini, di ujung bulan September 2019, menjelang pergantian kursi dewan perwakilan rakyat.
Sejumlah produk legislasi nasional yang sudah dan akan disahkan pemerintah dan DPR diprotes publik. Dari mahasiswa, tokoh, lembaga hingga para pakar, semua entitas melebur dalam satu barisan kontra, menuntut pembatalan UU KPK.
Sengatan terik matahari beralaskan aspal semakin menyulut kegarangan gelombang massa bertubi-tubi, yang juga menyebar ke beberapa kota, setidaknya dua Minggu terakhir. Situasi benar-benar genting bagi stabilitas politik.
Kita patut bahkan wajib cemas jika produk undang-undang yang lahir itu tidak mengakomodir keperluan rakyat, itu artinya denyut demokrasi masih hidup. Naif sekali legislasi yang dihasilkan luput dari kebutuhan yang sesungguhnya.
Wakil rakyat itu, sudah seharusnya mengkaji betul apa yang benar-benar diinginkan rakyatnya. Bagaimana mungkin aturan diterapkan kepada mereka yang sama sekali tidak menginginkan? Alur berpikir ini keliru.
Situasi semacam ini jika terus berlangsung tanpa adanya perubahan mendasar, ibaratkan bom waktu, akan meledakkan amuk massa suatu waktu. Hal itu dilatari sikap kritis masyarakat yang mencurigi menjamurnya praktik-praktik oligarki di tubuh elite legislatif-eksekitif.Oligarki, sistem yang dikuasai oleh kelompok tertentu, adalah musuh laten penyelenggaraan negara, penyakit sistemik dari jalannya sebuah pembangunan luhur. Oligarki, memang kerap lahir di arena-arena kebijakan. Ada pulus, urusan mulus, mirip celotehan Alm. KH. Zainuddin MZ.
Wajar saja, para pemangku kepentingan, yang memiliki otoritas dan wewenang itu tak akan kesulitan mendesain jalannya pembangunan agar sesuai dengan kepentingannya. Mereka punya kuasa karena undang-undang menugaskan itu.
Jika para pendahulu menyusun peraturan untuk  mengendalikan dinamika politik, maka politisi sekarang menyetir undang-undang agar sesuai hajatnya. Begitu kekhawatiran Kang Komar, mantan Rektor UIN Jakarta.
Publik betul-betul kecewa dengan sikap elite politik saat ini. Oligarki, yang lahir dari produk legislasi, jelas membuat kecewa publik. Di sini, trust kepada pemerintah, yang merupakan pilar berbagsa-bernegara, menjadi goyah.
Yang paling ditakutkan dari oligarki tentu saja semakin memperburuk kualitas kehidupan. Ketimpangan, kebodohan, kemiskinan, semakin menurun tajam dan kesejahteraan, kemakmuran, hingga keadilan sulit dicapai. Aturan telah diatur sedemikian rupa.
Maka tidak mengherankan jika para penentang praktik oligarki lewat legislasi itu bermunculan dari pihak-pihak yang berlatar belakang berbeda-beda. Tujuannya tidak lain mencegah terwujudnya oligarki.
Saya punya dua usulan guna mencegah terjadinya kondisi mengerikan itu. Pertama, mengoptimalkan peran kelompok penekan (pressure group). Mereka adalah para mahasiswa, aktivis, jurnalis, serta LSM.
Dengan membawa idealisnya, Mereka lah corong yang sudah semestinya bersuara lantang menentang oligarki. Mereka harus terus mendidik masyarakat tentang bahaya oligarki, mengapa harus ditolak, dan bagaimana upaya mulia ini dapat berhasil.
Kedua, melalui enterprenuership. Karakteristik oligarki ialah persekongkolan kepemilikan suatu aset atau sumber daya. Karenanya, dunia wirausaha harus didorong agar masyarakat bisa mandiri, memiliki usaha sendiri, mengelola finansial sendiri, mengatur konsep dan sistem sendiri.
Muara dari praktik ini, adalah masyarakat tidak bergantung pada suatu sumber modal saja, seperti ikut dalam arus oligarki lantaran tidak ada pilihan lain, terjebak dalam permainan para cukong sebab sistemnya sudah diatur demikian.
Wirausaha harus dicetak sebanyak mungkin agar perputaran ekonomi tidak hanya digilarkan oleh mereka yang memegang kendali atas nama wakil rakyat, tetapi disebarluaskan, dapat dirasakan oleh banyak orang.
Rakyat harus jadi sebenar-benarnya raja, bukan wakilnya. Ke depannya, kondisi ini akan terus kita temukan di kehidupan politik. "jangan harap hasil berbeda jika dikerjakan dengan cara yang sama," begitu petuah Rizal Ramli.
Orang-orang di Senayan juga di Medan Merdeka Timur sana boleh berganti, Tetapi pola pikir yang membudaya diperparah minimnya aksi penentangan masyarakat sipil jelas tidak akan mengubah keadaan apapun.
Pada akhirnya, kehendak kita semua sama menentang praktik-praktik oligarki yang bertopeng itu, yaitu  untuk kesejahteraan yang merata hingga pelosok negeri, bukan pelosok elite.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H